Mi Jowo

Bla
Chapter #19

Cita-cita

Sejak hari itu, kami bertiga selalu bertemu setiap hari sepulang kuliah.

Dikarenakan Dimas harus membagi waktu antara kuliah dan bisnis, maka aku telah merekrut dua orang untuk menjadi koki di restoran. Yang satu untuk shift pagi, dan satu lagi untuk shift sore dengan Dimas sebagai kepala koki sekaligus mentor mereka.

Pada hari pertama mereka datang, Dimas segera mengajarkan cara memasak mie Jawa dan jujur saja, saat aku mencobanya, aku nyaris muntah.

Penampilan hidangannya sudah bagus, namun rasanya masih kurang.

Bahkan mie yang dibuat Adam dulu masih jauh lebih enak daripada ini.

Aku meminta kedua koki itu untuk mempelajarinya lagi hingga bisa.

Sedangkan Elizabeth menghabiskan waktu setiap hari dengan memesan perabotan secara online lalu saat sudah datang dia segera mengarahkan perabotan-perabotan itu sesuai di tempat yang aku mau.

Dalam hitungan hari, restoranku telah disulap menjadi restoran yang modern tapi juga terlihat wah, sesuai dengan yang aku inginkan.

Setelah beberapa hari berlatih, kedua koki tersebut menghidangkan mie buatan mereka di hadapanku.

Aku mengangkat sebelah alisku. “Sudah yakin? Apa aku bisa memakannya?”

Salah satu dari mereka menganggukkan kepala, terlihat gugup.

Dimas mengerucutkan bibir melihatku yang menjadi tegas. “Tidak mau dicoba? Ya sudah, aku saja yang makan kalau begitu.”

Tangannya menyentuh ujung piring, dan aku langsung menepuknya pelan.

“Enak saja, aku yang akan mencobanya,” semprotku kesal, membuat Dimas nyengir.

“Pasti enak. Sini, buka mulutmu.” Dia meraih sendok dan menyuapkan satu sendok mie lalu mengarahkannya padaku.

Tanpa berpikir, aku membuka mulutku dan menyantapnya.

“Bagaimana?” tanyanya dengan mata penuh harap.

Aku mengangguk dengan mulut penuh, lalu menelannya. “Enak.”

Kedua koki itu bersorak gembira, saling bertos-tosan lalu Dimas memeluk mereka dengan bahagia.

“YES!!” seru mereka, membuatku nyengir.

Dimas tertawa, tawanya yang mengangkat semangat ruangan. Wajahnya memiliki kelembutan bahkan ketika harus beristirahat, seolah-olah ia tidak memiliki kepahitan batin yang lain berkumpul di sini malam ini.

Dia tahu siapa dia dan dia nyaman dengan dirinya sendiri.

Dia mungkin satu-satunya pria yang pernah aku kenal yang bisa melihat cermin kebenaran dan hanya melihat bayangannya sendiri.

Rasa kagum yang aku pegang untuknya seperti keju tua. Menjadi lebih kuat dengan bertambahnya hari, lebih matang, lebih kuat.

Dia baik hati, dia selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Tidak peduli seberapa lelahnya dia, bahkan setelah kuliah, dia selalu melewati hari-hari dengan penuh semangat. Kekagumanku untuknya sangat dalam.

Lihat selengkapnya