Hari pertama berjalan dengan lancar, begitu pula dengan hari kedua dan hari ketiga.
Namun setelah itu, sesuai yang kutakutkan, jumlah pelanggan yang datang mulai berkurang.
Padahal pagi kemarin itu pecah seperti melodi manis seekor burung hitam, penuh janji, kesegaran, dan kebaruan yang akan datang. Sekarang duduk seperti secangkir kopi dingin menunggu untuk dikeringkan.
Ketika rasa frustrasi muncul dan aku pikir aku akan meledak - aku mengambil napas dalam-dalam. Aku ingin berteriak, mengamuk dan memukuli tanganku di tanah seperti anak kecil. Aku ingin melampiaskan, membiarkannya keluar, tapi aku tidak ingin mengatakan kata-kata yang tidak kumaksud, menyakitkan. Sangat mudah untuk menjadi kejam pada saat itu dan kemudian kerusakan terjadi. Berkali-kali aku ingin berlari dari sini dan kembali menjadi si mahasiswi culun yang selalu di rumah, tapi aku tidak bisa kabur. Aku harus belajar bagaimana menghadapinya, tetapi perlahan.
Aku pikir semua orang harus tahu bahwa tidak apa-apa jika gagal. Begitu banyak orang takut kegagalan yang bahkan tidak mereka coba. Sebaliknya mereka bergabung dengan mereka yang percaya bahwa mereka tidak mampu melakukan apa yang ingin mereka capai. Tidak ada yang mustahil jika aku bisa berpikir aku bisa melakukannya.
Kebanyakan orang telah mencapai kesuksesan terbesar mereka hanya satu langkah di luar kegagalan terbesar mereka. Mereka yang mencoba melakukan sesuatu dan gagal melebihi lebih dari mereka yang tidak melakukan apa-apa dan berhasil.
Setiap kegagalan dalam hidup harus menjadi batu loncatan untuk membangun. Aku bisa dengan jujur mengatakan bahwa aku paling bangga dengan berkat yang telah Tuhan berikan kepadaku. Tuhan memberiku visi untuk melihat bahwa aku bisa jatuh, tetapi masih bangkit kembali. Aku akan belajar dari kesalahanku dan memiliki kesempatan untuk memperkuat dan meningkatkan hal berikutnya yang aku lakukan.
Dan kesalahan aku adalah…
“Kita kurang engage dengan pelanggan sekaligus kurang memasarkannya lewat media sosial,” sahut Dimas.
Kami semua terdiam, duduk melingkar di meja di tengah-tengah restoran, mencoba mencari solusi.
Kedua koki dan kedua pelayanku duduk berdampingan tepat di hadapanku, tidak tahu harus mengatakan apa.
“Lalu apa yang ingin kau usulkan?” tanya Elizabeth kepada Dimas.
Aku yang duduk di tengah mereka semua hanya berusaha mendengarkan selama jauh di dalam diriku aku mulai panik.
Dimas menuangkan secangkir besar kopi dan berkata, “Klik situs ulasan teratas. Sebanyak intel yang dikumpulkan selama pesta, pengulas akan menyumbang rating tinggi dan rendah yang sebenarnya secara online. Cari media sosial untuk hashtag dan sebutan lainnya. Kita harus menanggapi semuanya, terutama yang negatif, umpan balik pelanggan adalah cara gratis untuk belajar bagaimana mengembangkan bisnis kita.
“Untuk membuat orang kembali datang, kita harus terus berinteraksi dan memberikan insentif.”
Elizabeth menjilat bibirnya, terlihat bingung. “Insentif? Seperti apa?”
Dimas mengangkat bahu. “Kita bisa memulai program loyalitas. Tidak harus yang berlebihan. Kartu gesek dan program berbasis aplikasi keduanya cukup populer, tetapi check-in di media sosial adalah sentuhan baru pada pendekatan tradisional terhadap imbalan konsumen.”
Elizabeth manggut-manggut setuju. “Mungkin ditambah dengan memperbarui pengikut melalui email dan media sosial? Aku telah mendapatkan informasi para tamu selama grand opening dan mendorong mereka untuk mendaftar buletin digital melalui situs web restoran kita.”
“Bagus,” pujiku.
“Lalu, kita harus memperkuat hubungan dengan komunitas. Memberi untuk mendapatkan. Itu berarti mengeksplorasi peluang penggalangan dana dan sponsor dan memberikan sumbangan kepada organisasi yang berharga. Kita bisa mengajak organisasi ini ke dalam acara liburan atau buat happy hour lebih bermakna dengan memperdagangkan barang-barang dari organisasi tertentu untuk makanan pembuka. Mendorong niat baik adalah usulan yang saling menguntungkan. Apa kalian paham maksudku?”
Kami semua menganggukkan kepala. Hanya satu hal yang menggangguku: begitu banyak yang harus kami kerjakan. Seperti yang kukatakan sebelumnya, ini baru permulaan. Membuka restoran itu mudah, tapi menjaga loyalitas para pelanggan itulah yang sulit.
Aku melirik jam dan sebentar lagi restoran akan buka. “Ayo, kembali bekerja. Elizabeth, ayo kita periksa media sosial.”
Hari ini hari Sabtu dan aku memutuskan untuk menghabiskan seharian di ruang belakang restoran bersama Elizabeth.
Dimas juga memutuskan untuk mengambil shift hingga malam agar bisa bekerja di dapur, ingin menemani anak-anak buahnya katanya.
Aku men-scroll media sosial lalu menemukan satu post yang menarik perhatianku.
Dua sosok laki-laki, dan aku sangat mengenali keduanya.
Yang satu rambut hitamnya acak-acakan namun tebal dan berkilau sehingga membuatnya terlihat menawan. Matanya coklat tua yang memukau, bintik-bintik cahaya keperakan terlihat di hidungnya. Wajahnya kuat dan tegas, seolah-olah wajahnya dibentuk dari granit. Dia memiliki alis mata gelap, yang miring ke bawah dalam ekspresi serius serta rahang, dagu, dan tulang pipi yang tajam.