“Indra~~~” panggil Elizabeth dan dia segera berjalan dengan riang menuju dapur.
“Aku ingin mencicipi masakanmu, boleh?”
Hari ini Dimas tidak masuk dan Indra dengan senang hati mau membantu. Tidak kusangka, masakan Indra hampir sama dengan masakan Dimas sehingga mau tidak mau aku meminta bantuannya.
“Ya ampun! Lezatnya! Kau hebat, Ndra!” puji Elizabeth dengan mata berbinar-binar.
Indra menggosok hidungnya lalu menyeringai lebar. “Hehe, siapa dulu?”
“Tapi tetap lebih enak masakan Dimas,” celetuk Elizabeth sambil mengambil satu suap mie lagi.
Mata Indra langsung berkilat-kilat. “Hei! Bukan salahku! Ini baru pertama kalinya aku mencoba memasak mie Jawa, kau tahu!”
Elizabeth terkikik. “Iya, iya.”
Aku menjatuhkan buku catatanku di atas meja dapur lalu bersedekap. “Karena kalian membahas Dimas, aku jadi ingin membahasnya juga…dia sudah dua hari tidak masuk. Ke mana dia?”
Elizabeth menyenggol siku Indra. “Hei, bukannya kau akrab dengannya?”
“Ih, kenapa bertanya padaku? Aku sempat mengunjungi kosannya, bahkan sampai memanggilnya dengan julukan Dim dim, Dum dum, Dam, dam, tapi dia tidak menjawab. Aku sampai bertanya sampai kapan dia akan mengurung diri di kosan dan hasilnya malah aku ditendang keluar dari sana.”
Aku mendesah. “Tabunganku sudah terkuras untuk bisnis ini, aku tidak ingin sampai gagal hanya karena masalah pribadi.”
Elizabeth manggut-manggut setuju. “Kita sudah berjuang sejauh ini. Lagian, kau bekerja lebih lama daripada aku, Mentari. Apa kamu yakin tidak lelah? Seharian kuliah lalu datang ke sini. Berapa jam kau tidur dalam sehari?”
Seluruh tubuhku bergetar, tulang-tulangku berderak ketakutan terus-menerus akan masa depan yang menjulang di depanku.
Apa yang harus kulakukan jika Dimas benar-benar tidak ingin kembali?
Jantung berdebar begitu kencang ke tulang rusukku saat nadiku menekan ke luar, menyentak nadi di dalam.
“Apa itu tidur?” kataku dalam suara serak.
Elizabeth memutarkan bola matanya. “Ya ampun.”
“Serius, aku lelah. Tugas kuliahku juga semakin banyak! Hampir semua tugasku harus dikumpulkan minggu depan, bayangkan! Sekarang ditambah masalah Dimas, aku benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih.”
“Telpon dia,” usul Elizabeth.
“Apa?” tanyaku bingung.
Elizabeth meraih ponsel di sakunya lalu memberikannya padaku. “Telpon.”
Aku mengambil ponselnya dan mencari nomor Dimas dan tanpa ragu mendekatkan ponsel ke telingaku.
Dia langsung menjawab pada dering pertama. “H-halo?” Suaranya serak.
“Halo, Dimas! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu, kau sudah dua hari tidak ke restoran.”
“Ah, iya…” bisiknya.