TOK! TOK! TOK!
Terdengar suara ketukan di jendelaku dan aku nyaris pingsan saat melihat sosok yang muncul.
Dimas.
Dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.
Aku membuka jendela, berusaha untuk tetap tenang padahal sebenarnya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Apa yang dia lakukan di sini?
“Dimas! Apa yang kau lakukan di sini?” bisikku, takut ibuku akan mendengarku. "Ini lantai dua, kau memanjat pohon itu?!"
Dia terkekeh lalu melompat masuk dengan satu tangan, sementara tangan lain menenteng satu kotak besar pizza.
“Hehe, delivery istimewa untukmu,” ujarnya sambil menunjuk kotak pizza yang dia bawa.
Ada rasa kehangatan, jiwa dan nafas yang penuh rasa syukur.
“Ah, kau tidak perlu repot-repot,” ucapku.
“Bukalah.”
Aku membuka kotaknya dan menemukan secarik kertas yang tertempel di bagian atas.
Jari-jariku menelusuri tulisannya yang berbunyi, “Aku menyesal telah menyakitimu. Aku minta maaf, Mentari. Makanlah yang banyak, ya!”
Ini manis sekali, aku tersenyum kepadanya dan dia membalas senyumanku.
Jika aku bersyukur untuk setiap burung untuk menghiasi langit, maka rasa terima kasihku untuknya jauh lebih banyak. Syukur itu, emosi yang menggerakkan, paling baik diceritakan dalam musik atau tarian, karena tidak ada kata-kata yang diciptakan untuk menerjemahkannya pada sebuah halaman.
“Terima kasih,” bisikku.
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sama-sama,” dia balas berbisik.
"Um, jangan berbicara terlalu keras. Nanti ibuku akan tahu."
Dimas tertawa. "Ya, tentu."
Setelah pertengkaran tadi siang, aku benar-benar merasa bersalah padanya. Aku seharusnya menyemangatinya, bukan malah menyakitinya.
“Aku juga minta maaf. Sepertinya aku kelelahan sehingga aku kehilangan kesabaranku, menjadi emosi, tapi aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Maaf aku sudah mengguruimu, padahal kita baru saling kenal. Haha, aku berlagak seolah-olah sudah lama mengenalmu, ya?”
Rasa bersalah itu seperti bensin dalam nadiku. Bagian dalam tubuhku perlahan-lahan mati karena toksisitas, tidak membutuhkan percikan api untuk membuatnya terbakar. Api membakarku begitu parah sehingga tidak ada yang tersisa kecuali kulit, garis besar seseorang.
Satu detik berlalu.
Dua detik berlalu.