Mi Jowo

Bla
Chapter #24

Dilema

"Mentari?"

"Seriuslah, Dimas. Kompetisi The Next Big Resto? "

Dimas menunjukkan post sebuah kompetisi antar restoran di media sosial lalu meletakkan ponselnya dengan lembut di atas meja depanku lagi.

"Aku pikir kamu akan tertarik untuk mengikuti ini, ” katanya. "Hadiahnya juga sangat besar. Selain itu, ini saat yang tepat untuk branding nama kita sekaligus networking. Siapa tahu dari sini kita bisa melebarkan sayap restoran kita."

Dia mengeluarkan senyuman lembut yang dia tahu dapat membuat aku tidak bisa menahan diri.

Aku menarik napas panjang melalui hidungku.

"Aku akan membiarkanmu membayar biaya sewa tempat ini setelah enam bulan, ”janjinya. "Bagaimana? "

"Ini kompetisi besar. Apa kau tahu berapa banyak restoran baru yang akan mengikuti kompetisi ini? Aku tidak bisa membayangkan jika aku gagal, pasti Alvenia dan Adam akan menghinaku. Ugh. Mengapa kita mengadakan diskusi ini lagi? "

"Tolong isi saja aplikasinya, Mentari? Tidak ada salahnya kita mencoba. "

Rahangku tertekuk. "Kamu tahu apa? Aku tidak akan mengisinya."

Aku meraih ponselnya, berencana meletakkanya jauh dari jangkauanku agar Dimas berhenti mengoceh, tetapi dia mengambilnya dari tanganku. Aku menatap meja kosong sejenak, lalu memukul Dimas.

Dia nyengir dan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" aku menuntut.

"Aku yang akan mengisinya jika kau tidak mau. Akan kuberitahu Elizabeth mengenai ini, dia pasti senang sekali.”

“Oh, tidak. Kau tidak akan memberitahunya.”

Wajahnya yang kesakitan tampak menegang. "Mentari -"

"Elizabeth tidak akan setuju jika aku tidak setuju,” aku mengingatkannya dengan lembut.

Dimas mendesah. “Apa masalahmu dengan kompetisi ini? Bukankah kau ingin bisnis kita menjadi besar dan sukses? Ini kesempatannya. Terkadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk bisa meraih kesuksesan. Kau tidak bisa terus-menerus berada di tempatmu, kau harus berani dan mengambil resiko.”

"Aku akan memikirkannya terlebih dulu."

"Apa yang perlu kau pikirkan? Apa yang kau takutkan? Selama ini kau selalu berani dan optimis, mengapa sekarang kau seperti ini? "

Aku menghela napas. “Entahlah, aku hanya takut jika kita gagal maka…maka aku akan mempermalukan diriku sendiri dan Alvenia pasti puas menertawakanku.”

"Kita tidak akan kalah," dia bersikeras.

Aku memelototinya. Tidak akan kalah? Tentu.

Mengapa dia menjadi optimis seperti ini? Ada begitu banyak restoran di kota ini dan aku yakin ada yang jauh lebih hebat daripada kami. Aku juga yakin pasti ada restoran yang memiliki koki lulusan sekolah memasak atau jurusan tata boga.

Sedangkan kami semua hanyalah anak-anak kuliah yang mempelajari semua ilmu bisnis dan kuliner melalui internet.

Kami bukan ahlinya.

Saat aku membuka restoran ini, aku hanya terobsesi untuk mendapatkan Adam kembali. Tapi sekarang, aku tidak ingin merusak reputasiku jika gagal dalam suatu kompetisi bergengsi seperti ini.

Sentakan tajam kegelisahan menusuk perutku saat aku menyadari betapa kacaunya aku selama ini.

Seharusnya dari dulu aku tidak pernah membuka restoran ini. Lihat betapa banyak orang yang aku korbankan hanya untuk mendapatkan Adam kembali.

Tapi laki-laki itu tidak pernah kembali.

Dia sudah pergi.

"Mentari," gumam Dimas, wajahnya memelintir ketika dia membaca raut wajahku yang menjadi pucat dan kosong. "Kita tidak akan kalah. Kita pasti bisa. Ini kesempatan kita. "

"Bagaimana kau bisa seyakin itu bahwa kita akan menang?" bisikku, tersenyum lemah, mencoba membuat lelucon tentang itu.

"Apa yang membuatmu seyakin itu?”

Giginya mengepal; dia berbicara melalui mereka. "Karena aku percaya pada tim kita. Aku percaya pada keahlian tim kita, keahlianku. Aku percaya dan yakin kita bisa."

Kami berdua terdiam sesaat, lalu jarinya berada di bawah daguku, mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk. Ekspresinya jauh lebih lembut sekarang.

“Percayalah padaku,” bisiknya.

Aku menghela napas panjang. “Aku akan membicarakannya dengan Elizabeth.”

Dia menjatuhkan tangannya dan mendesah, berusaha untuk tenang. Wajahnya penuh perhatian saat dia mencerna kata-kataku. Setelah beberapa saat dia tersenyum menggoda.

“Ayo, kita tanyakan padanya sekarang,” ujarnya sambil meraih tanganku dan kami berjalan keluar dapur.

Elizabeth sedang berada di pojok sambil mengutak-atik ponselnya, sepertinya sibuk mengurus media sosial restoran kami.

Akhir-akhir ini banyak sekali DM dan Elizabeth sibuk melayani berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan.

Berkat kegigihan dan keahlian Elizabeth, dalam beberapa minggu restoran kami sudah meraih seratus ribu followers. Aku benar-benar kagum dengan keahliannya.

Lihat selengkapnya