Mi Jowo

Bla
Chapter #25

Langkah Baru

“Ibu, aku hanya ingin memiliki bisnis sendiri,” aku berusaha menjelaskan.

“Kenapa?! Apa untungnya dari itu?! Kenapa kau malah main-main seperti itu dan bukannya belajar?!” bentaknya, tidak lagi mampu menahan rasa kecewanya.

Seketika kesedihan membanjiri dirinya dan air mata diam mengalir di wajahnya yang dingin.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku…ini passion aku.”

“Itu saja? Jadi maksud kamu kita buang saja semua rencana yang sudah dibuat sejak kau masih kecil, buang beasiswanya dan menjadi seorang pemilik restoran kecil? Menjual makanan seperti itu?”

Membungkuk di hadapannya, aku tidak mampu berkata-kata. Aku tahu aku telah merusak hubungan kami, itu tidak hanya rusak, tetapi hancur menjadi pecahan yang lebih banyak daripada bintang-bintang.

“Nak, kau seperti tidak memahami apa yang sedang kau lakukan. Ibu dulu terlahir miskin, maka dari itu sekarang ibu berjuang untuk membesarkanmu dengan baik.”

Aku menunduk. Sebanyak ibuku mencoba menahannya, rasa sakit keluar seperti keributan dari tenggorokannya dalam bentuk teriakan bisu. Butiran-butiran air mata mulai berjatuhan satu demi satu, tanpa ada tanda berhenti. Isak tangis teredam di dadanya. “Kamu itu cerdas. Cerdas sekali. Ibu tidak pernah menyangka kamu akan menjadi seperti ini.

“Nak, ibu tidak pernah mengajarimu untuk menjadi seperti ini. Kamu mau diejek oleh teman-temanmu? Oleh tantemu?”

Aku ingin memohon, berlutut dan memberitahunya bahwa hidupku di restoran itu memiliki makna, bahwa perjuanganku memiliki makna, tetapi aku tahu wajah itu.

Itu yang ibuku kenakan ketika telinganya tertutup dan pikirannya telah memasang penghalang untuk semua informasi baru.

Jadi, apa pun yang aku katakan, itu hanya akan mendorongnya semakin jauh.

“Aku tahu, ibu tidak pernah mengajariku untuk berbohong. Aku tidak bermaksud berbohong. Ibu mengajariku untuk melakukan hal yang benar dan untuk terus berjuang menggapai mimpi. Dan ini mimpiku! Aku tidak akan menjadi pemilik restoran biasa, aku bertekad memiliki sebuah kerajaan restoran, memiliki cabang dimana-mana.”

Ibuku menggelengkan kepalanya, bibirnya bergetar dan bahunya naik karena emosi, tidak mau mundur.

Bulu matanya yang kelam dipenuhi air mata; tangannya mengepal, dalam pertempuran putus asa melawan kesedihan.

Satu air mata mengalir di pipinya, dan begitu saja, pintu air terbuka.

Dia menangis, air mata mengalir dari matanya yang dalam, nyaring, isak tangis yang keluar dari tenggorokannya,. “Mimpimu terlalu tinggi. Kembalilah belajar dengan rajin dan dapatkan nilai yang bagus agar beasiswamu tidak hangus. Kau harus mempertahankan beasiswa itu, belajarlah bertanggung jawab!”

Kepahitan meningkat seperti empedu ke mulutku dan ketika ibuku menatapku dengan tatapan sedih, aku tidak punya alasan untuk menelannya lagi.

“Ini hidupku, ibu. Aku berhak mengambil pilihan yang aku mau. Aku ini cerdas, aku akan sukses, ibu.”

Ibuku menggelengkan kepala dan menyeka air mata di pipinya.

“Ibu telah membesarkanku dengan baik. Aku jauh lebih hebat daripada yang ibu bayangkan. Aku akan membuat ibu bangga.” Aku menatap mata ibuku lalu tersenyum tulus.

Ibuku tidak mendengarkan, dia telah tenggalam dalam kepedihan dan memilih pergi, meninggalkanku sendiri.

***

Selama beberapa hari berikutnya, aku fokus dalam persiapan untuk kompetisi The Next Big Resto.

Aku masih menyempatkan diri untuk membereskan tugas-tugas kuliahku dan belajar, aku telah berjanji pada ibuku bahwa aku akan mempertahankan nilaiku dan tidak akan gagal seperti kemarin lagi.

Sayangnya, ibuku masih belum mau berbicara padaku, dan jujur saja rasanya sungguh menyakitkan.

Rumah terasa sepi tanpa celotehannya, rasanya seperti tidak ada kehidupan.

Kami selalu makan dalam diam, pergi ke kamar masing-masing dan melakukan kegiatan masing-masing.

Tidak ada sapaan, tidak ada obrolan, tidak ada apa-apa.

Yang ada hanya kehampaan.

Aku menggelengkan kepala. Sekarang bukan saatnya untuk bersedih.

Sejak beberapa hari yang lalu, Indra selalu datang kemari untuk membantu. Awalnya aku menolak, tapi dia mengatakan bahwa dia tertarik dengan bisnis ini dan ingin membantu sebisanya.

Dia sama sekali tidak mengharapkan imbalan, dan itu membuatku terkesan.

Lihat selengkapnya