Kami memiliki waktu satu minggu sebelum babak final dan Dimas malah mengajakku untuk pergi menonton film pada hari Sabtunya.
Aku setuju-setuju saja.
Pada malam Sabtunya aku memutuskan menginap di rumah Elizabeth karena aku benar-benar merasa tidak nyaman berada di rumah dengan ibuku yang masih bermuram durja.
Aku baru saja selesai mandi lalu menjatuhkan diriku ke kasur. Elizabeth memainkan ponselnya sebentar sebelum memandangiku.
“Apa?” tanyaku.
"Kau tahu Dimas sempat menulis buku?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala. "Belum. Wah, kalau begitu, dia hebat sekali!"
Elizabeth mendesah. "Aku yakin banyak sekali gadis di kampus yang menyukainya."
"Pasti," sahutku.
Dia lalu memandangiku lagi, membuatku merasa canggung. "Apa?" tanyaku lagi.
“Aku sebenarnya sudah lama ingin bertanya…perasaanmu terhadap Dimas itu bagaimana? Kamu menyukainya, bukan? Lalu ka-”
BRUAK!
Aku melempar bantal tepat di wajahnya dan dia tertegun, diam membeku.
“Suka sekali!” seruku asal, membuatnya menggeram dan melemparkan bantalnya ke arahku.
“Serius, Mentari,” geramnya. “Aku perhatikan kalian sering bersama. Aku hanya penasaran saja, apalagi besok kalian akan pergi menonton film bersama.”
Aku mendesah. “Aku dekat dengannya bukan hanya karena bisnis ini…”
“Lalu?”
Aku mendongak menatap langit-langit, membayangkan momen-momen bersama Dimas. “Bagaimana, ya? Dimas itu baik sekali, kau tahu dia tulus membantuku dalam bisnis ini dan dia memaklumi tingkahku yang terkadang aneh.”
Elizabeth nyengir. “Ya, kau memang terkadang sedikit aneh.”
“Aku tahu, tapi Dimas menghargaiku apa adanya. Dia memaklumi setiap kekuranganku.”
“Jadi?”
“Yah, kau tahu bahwa wanita yang terlalu ambisius sepertiku ini sulit mencari laki-laki…tapi Dimas itu berbeda…dia terus menyemangatiku dan selalu sabar mendengarkan ide-ideku.”
Elizabeth manggut-manggut setuju. “Dan, apa kau mau lebih dari sekedar berteman dengannya?”
Aku berpura-pura memasang raut wajah polos. “Apa maksudmu?”
Dia mencubit pipiku dengan gemas. “Tidak perlu berpura-pura polos seperti itu!”
Aku tertawa. “Iya, iya. Hmm, aku sudah nyaman seperti ini. Lagipula, aku masih trauma mengenai pacaran. Kau tahu maksudku? Aku masih memikirkan Adam dan aku takut kejadian seperti itu terjadi lagi.”
“Tapi kalau ternyata Dimas menyukaimu, bagaimana?” tanya Elizabeth penasaran lalu mencondongkan tubuhnya semakin dekat denganku.
Aku memejamkan mata lalu menghela napas panjang. “Aku tidak mengharapkan apa pun darinya. Hubungan seperti ini sudah cukup bagiku, di mana kami bekerja sama dalam bisnis ini, saling mendukung, rasanya menyenangkan.”
Elizabeth menarik napas dalam-dalam dan ikut berbaring di sampingku. “Kau benar, hubungan di mana saling menghargai, mendorong kita untuk menjadi lebih baik, dan membuat kita lebih menyayangi diri sendiri itulah hubungan paling indah. Tapi…”
Dia bangkit, membuatku membuka mata, dan dia menatap mataku lekat-lekat. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau menyukainya?”
Aku tersenyum, jujur saja aku tidak mampu menjawabnya. Aku tidak tahu, aku masih bingung dengan perasaanku sendiri.
Biarkan waktu yang menjawabnya.
“Ayo, tidur!” ajakku lalu bersembunyi di balik selimut.
“Ah, dasar pelit!” seru Elizabeth.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah untuk berdandan.
Di cermin, aku melihat sosok gadis yang cantik. Dia memiliki warna rambut cokelat keemasan dan kulit putih pastel yang membuat bibirnya yang merah muda dan indah terlihat menonjol. Pipinya memerah dan dia mengenakan celana jins hitam dan kemeja abu-abu.
Penuh percaya diri, seksi yang memberitahu dunia, "Aku cantik."
Rambut coklat keemasan sempurna dan mata cokelatnya yang bisa menelan galaksi.
Kulitnya yang sempurna yang terlihat sangat rapuh namun begitu lembut dan jumlah bintik-bintik di hidungnya. Pipi warna mawar merah muda dan bulu mata yang indah. Dan tubuhnya di luar dunia ini menarik perhatianku, pinggang kecil yang disembunyikan di bawah atasannya dan pinggul melengkung yang begitu pas di celana jins hitamnya.
Aku sudah siap.
Dengan penuh semangat, aku beranjak keluar kamar menuju pintu depan.
Walaupun aku berpamitan pada ibuku, dia sama sekali tidak menjawab dan berpura-pura sibuk di depan komputer.
Lalu pergi menghampiri mobil Dimas yang sudah menungguku.
Aku tertegun saat menutup pintu depan dan melihat sosok laki-laki di hadapanku.
Dia menatap kakinya seperti anak remaja yang gugup, tangannya diselipkan di saku celana jinsnya. Matahari meluncur turun, menghadirkan surai tembaga dengan garis-garis madu yang melewatinya. Wajahnya dibayangi sehingga matanya tampak seperti hijau hutan tidak seperti hijau pudar yang menakjubkan.