Hari ini babak final kompetisi The Next Big Resto.
Dimas dan aku tidak lagi membicarakan mengenai kencan kemarin dan kembali fokus kepada kompetisi.
Di atas panggung, Indra sudah mulai memasak.
Dia bergerak seolah-olah dia memiliki opera pribadinya sendiri, bermain dengan anggun. Kadang-kadang dia bergerak seolah-olah dia adalah busur cello, mantap dan dalam. Di lain waktu dia adalah biola dalam tarian cepat.
Namun ritme apa pun yang mengalir dalam jiwanya dari menit ke menit, baik itu laut yang tenang atau prahara, apa yang dia buat begitu surgawi.
Aku menelan ludah dan terus berdoa bahwa kami akan menang.
Saraf lelahku melompat bersama-sama, dan ke arah yang berbeda. Jantungku berdegup kencang dan keringat mengalir di sekujur tubuhku.
Indra mengambil pisau dan memotong sayuran menjadi korek api yang sempurna di waktu yang dibutuhkan kebanyakan orang hanya mengupas wortel.
Setiap gerakan tepat dari pengulangan yang intens dan dia membanggakan diri pada kesempurnaan bentuk seperti mesin. Semuanya genap, seragam, sempurna.
Hanya mie yang bisa dipikirkan Indra. Mie basah yang panjang menari-nari di otaknya, mie dengan topping yang kaya. Dia secara mental mencampur dan mencocokkan bahan-bahannya seperti seorang pembelanja profesional memilih pakaian.
Dia seperti berada di dunianya sendiri ketika dia membuat mie, aku bisa melihatnya membangun dunia baru dalam imajinasinya saat dia mengaduk dan mengukur.
Seolah-olah kebebasan koreografi tindakannya, bebas namun tertib, melakukan hal yang sama untuk otaknya.
Dan ketika dia membuat mie, dia sering tersenyum, terlihat bahagia.
“Waktu habis!” seru pembawa acara dan kedua koki yang tersisa segera mengangkat tangan tinggi di udara.
Makanan yang dihidangkan segera diambil dan diserahkan kepada juri.
Stres menyebar di pikiranku seperti tinta di atas kertas. Aku mengambil napas dalam-dalam, tak beraturan sebelum meletakkan tanganku, tertutup bersama, di depan dada.
“Mentari, ya?” tanya sebuah suara. Ternyata Alvenia.
Dia berdiri tepat di sampingku, dengan raut wajah serius.
“Hebat sekali kau sebagai orang yang tidak memiliki latar belakang di bidang bisnis maupun kuliner bisa masuk final seperti ini.”
Aku mendesah, berusaha menatap lurus ke depan. “Aku hanya beruntung.”
“Sebentar lagi pengumumannya, bagaimana perasaanmu?”
“A-aku…” aku tidak mampu berkata-kata sebab aku tahu dia berusaha memancingku.
“Kau harus tahu bahwa dalam membuat suatu hidangan, banyak hal yang harus diperhatikan; rasanya, kualitas bahannya, penampilannya…dan agar sebuah restoran menjadi sukses itu kau harus memiliki sebuah tim yang kompak. Tapi, untuk seseorang sepertimu…”
Aku menarik napas dalam-dalam, aku benar-benar sudak muak dengannya yang selalu meremehkanku. Bukankah kami berada di kompetisi yang sama? Bukankah kami berdua berada di babak final? Bukankah itu berarti levelku sudah setara dengannya?
“Alvenia, mungkin aku memang masih baru dalam bidang ini, tapi bukan berarti aku tidak kompeten. Aku percaya aku akan bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Maka dari itu, jika para juri mengatakan masakan restoranku enak, maka itu sudah cukup bagiku.”
Lalu aku mendekatkan bibirku ke telinganya. “Dan pastinya restoranku akan menang.”
“Mohon perhatiannya! Saatnya pengumuman untuk pemenang dari kompetisi The Next Big Resto!” seru pembawa acara.
Alvenia terdiam, mungkin lebih tepatnya dia tertegun dengan ucapanku. Sebenarnya, bagiku menang atau kalah merupakan hal biasa. Kalah bukan berarti buruk, hanya tidak beruntung saja. Selama aku menikmati prosesnya dan memiliki teman-teman baik yang selalu mendukungku, bagiku aku sudah menang.