22 tahun kemudian…
Aku masih ingat saat aku berhasil menandatangani kontrak dengan investor pertamaku. Betapa bahagianya aku saat membuka cabang restoran pertamaku.
Lalu setiap bulan kami membuka satu cabang lagi hingga sekarang sudah mencapai enam ratus cabang baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Aku masih ingat saat aku lulus tepat waktu dengan IPK 3.92 dan akhirnya dapat membuat ibuku tersenyum lagi.
Sangat mengharukan aku dapat lulus bersama Elizabeth dan kami berhasil membuktikan pada dunia bahwa kami bisa sukses dalam bidang akademi dan juga bisnis.
Dimas dan Indra sudah lulus terlebih dahulu dengan IPK sempurna dan aku bangga sekali kepada mereka.
Adam dan aku tetap berhubungan baik, bahkan Alvenia telah meminta maaf padaku. Aku lega telah berhasil membuktikan pada mereka bahwa aku kompeten dalam bidang bisnis.
Namun hal yang tidak bisa kulupakan adalah saat Dimas melamarku pada malam harinya.
Dia datang malam-malam melalui jendelaku, membawa buket bunga dan sekotak cincin.
Dia berdiri di depanku, raut wajah serius.
"Oh, tidak," aku tersentak ketika dia meluncur ke satu lutut.
Aku menghela napas panjang.
"Mentari?" Dia menatapku melalui bulu matanya yang sangat panjang, mata hitamnya lembut membuat lututku menjadi lemas. "Aku berjanji untuk mencintaimu selamanya - setiap hari selamanya. Maukah kau menikah denganku?"