Semua orang menjadi sedih.
Anak-anak kami patah hati, teman-teman kami juga patah semangat, terutama Elizabeth dan Indra.
Sudah satu tahun sekarang. Sejak itu aku telah berusaha berbuat yang terbaik. Dimas mengurus semuanya. Dia membuat pengaturan untuk tinggalkan rumah dan pindah ke rumah sakit.
Dia menulis ulang surat wasiatnya dan menyegelnya. Dia bahkan sudah menyiapkan makamnya.
Aku tidak berani melihatnya.
Dan ketika dia selesai, dia mulai menulis.
Surat kepada teman dan anak-anak. Surat kepada saudara dan saudari sepupu. Surat kepada cucu, ibunya dan tetangga.
Dan sepucuk surat untukku.
Aku membacanya, ketika aku melakukannya, aku diingatkan pada masa-masa kami merintis bisnis bersama, tertawa bersama, momen saat kami menikah, menikmati setiap waktu bersama. Momen-momen indah bersama yang tidak akan pernah bisa kulupakan.
Hari-hari terasa berat bagi kami berdua.
Dia akan menatap foto-foto anak yang terlupakan, menyantap mie Jawa yang tidak mengilhami apa pun, dan tidak ada apa pun yang dapat membawa sukacita.
Dia akan melemah selama berjam-jam, tumbuh pucat, menjadi pahit dan mengakhiri hari lebih buruk daripada saat itu dimulai. Hari-hari kami hilang dan begitu juga dia.
Penyakitnya lebih buruk sekarang daripada di awal, meskipun Dimas berbeda dari kebanyakan orang.
Ada dua orang lain dengan penyakit di sini. Mereka, tidak seperti Dimas, mereka telah berada di stadium lanjut dari Alzheimer dan hampir sepenuhnya hilang ingatan.
Mereka bangun berhalusinasi dan bingung.
Jarang mereka mengenali orang-orang yang mencintai mereka.
Ini adalah penyakit yang mengerikan, dan inilah sebabnya sulit bagi anak-anakku untuk datang berkunjung.
Dimas, tentu saja, memiliki masalah sendiri. Dia mandi dengan rela tetapi tidak mau makan secara teratur.
Dia kurus sekarang, terlalu kurus menurutku, dan aku telah berusaha yang terbaik untuk menggemukkannya.
Tapi di sinilah kesamaan berakhir. Inilah sebabnya mengapa Dimas dianggap sebagai keajaiban, karena kadang-kadang, setelah aku membuatkan mie Jawa untuknya dan berceloteh tentang masa-masa kami dulu, kondisinya tidak terlalu buruk.
Tidak ada penjelasan untuk ini.
"Itu tidak mungkin," sahut si dokter, "dia tidak bisa menderita Alzheimer." Tapi dia melakukannya. Hampir setiap hari seperti ini.
Tetapi mengapa, mengapa kondisinya berbeda? Kenapa dia terkadang berubah setelah menyantap mie Jawa? Aku hanya percaya satu hal; mukjizat.
Maka dari itu, setiap hari aku berusaha melakukan sesuatu untuk membuatnya teringat padaku. Dan malam ini aku memutuskan untuk menyiapkan makan malam untuknya.
Sudah diatur untuk kami makan di kamar rumah sakit, seperti biasanya pada hari-hari seperti ini, dan aku tidak bisa menolak. Aku ingin mengajak Dimas jalan-jalan tapi itu tidak mungkin.
Lampu redup, ruangan diterangi oleh dua lilin di atas meja tempat kami akan duduk, dan musik diputar lembut dari ponselku.
Hidangan mie Jawa di hadapannya serta gelas diisi dengan es teh -kesukaanya, semuanya seperti saat kami pertama kali berkencan setelah menikah.