Semenjak Nina gagal diruqyah, beberapa hari setelahnya berita perihal dirinya mulai tersebar di seisi kampung. Tentang seorang anak gadis yang mengalami hal hal aneh. Melihat sesuatu, mendengar banyak bisikan dan lain lain.
Banyak yang berspekulasi bahwa Nina diguna guna, ada orang yang tidak suka dengan Nina dan ingin mengganggu Nina. Banyak juga yang beranggapan bahwa bapak menyimpan "sesuatu" di dalam rumahnya selama ini. Hal hal itu tersebar kepenjuru kampung dengan sangat cepat. Bahkan tetangga tetangga yang tidak mengenal ibu pun menjadi sangat tahu dengan berita itu. Bahkan mungkin berujung sok tahu.
***
Pagi ini, di meja sarapan, ibu tak banyak bicara dengan Bagus. Sejak ucapan Bagus semalam, ibu merasa marah pada Bagus. Bagaimana bisa anak lelakinya itu mengira adiknya gila dan harus dibawa ke psikiater? Sudah jelas jelas ada yang salah dengan Nina. Tapi semuanya pasti ada hubungannya dengan dunia gaib. Ibu sangat yakin akan hal itu.
"Bu, jadi Nina harus diapakan?" tanya Bagus memecah keheningan.
"Nanti ibu cari tahu. Tapi ibu gak akan setuju sama kamu. Dia itu masih waras!"
"Bagus namung asih saran bu. ta sinten mangertos, nina pancen sanes pisakit amargi lelembat."
(Bagus cuma kasih saran bu. Kan siapa tahu, Nina memang bukan sakit karena jin.)
"Kalu bukan, kenapa dia selalu mendapat bisikan? Melihat sesuatu? Melihat bapak? Kenapa?"
"Makannya kita ke psikiater, siapa tahu ada sesuatu yang salah dalam kepalanya."
"Psikiater cuma buat orang gila! Bukan orang kena sihir!"
"Memangnya Nina betulan kena sihir?"
"Betul! Kata para tetangga juga begitu. Nina itu kena sihir! Santet! Guna guna! Ada orang yang benci sama keluarga kita dan mau mencelakai kita, Gus!!" nada suara ibu meninggi. Air mata memenuhi pelupuk matanya tapi ia segera menyekanya.
"Ibu tenang ya Bu. Bagus yakin semuanya pasti membaik. Maafkan Bagus kalau Bagus membuat ibu marah..."
***
Nina keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah meja makan. Bagus memperhatikannya dari atas ke bawah. Celana selutut, kaos yang warnanya sudah pudar, rambut yang tidak disisir, mata yang menghitam karena semalaman ia susah tertidur dengan tenang.
"Setidaknya cuci muka dulu, Nin. Kamu kayak orang yang gak keurus," ujar Bagus.
Nina tidak peduli. Ia fokus mengambil nasi dan lauk pauk lalu mulai makan dengan lahap. Nina makan dengan lahap tapi tidak seperti biasanya. Banyak nasi berserakan di meja hingga Bagus memperingatinya untuk makan dengan bersih. Tapi Nina tetap tidak peduli. Usai makan ia langsung kembali ke kamar dan menguncinya.
"Makin hari dia makin aneh Bu. Kita harus gimana?"
"Nanti ibu pikirkan. Oh iya. Sebetar lagi empat puluh hari kematian bapak. Ibu mau minta mengadakan tahlil."
"Iya Bu. Nanti Bagus ambil di tabungan Bagus."
***
Menjelang sore, dari luar terdengar suara ketukan pintu. Ibu berjalan kearah pintu dan membukanya. Di sana ada beberapa teman Nina yang hendak menjenguknya. Dengan senang hati ibu mempersilahkan mereka masuk. Ada dua orang perempuan dan dua orang laki laki. Mereka lekas masuk dan menatap sekeliling dengan heran.
Matahari masih terang di luar, tapi kenapa semua gorden harus ditutup? Pikir mereka berempat.
Satu persatu di antara mereka mulai duduk dan berbasa basi dengan ibu.
"Kami semua teman teman sekelas Nina. Mau menjenguknya karena sudah lebih dari seminggu Nina tidak masuk sekolah," tutur seorang perempuan.
"Nina sakit apa ya bu kalau boleh tahu?" seorang laki laki dengan rambut belah pinggir bertanya kemudian.
"Dia sakit..." ibu berpikir sejenak untuk mencari kata kata yang tepat. "Sakit demam dan suka pusing. Sebentar ya biar ibu panggilkan Nina."