Bagus menjalankan motornya untuk mencari alamat yang diberitahukan ibu. Alamat itu hanya berbeda beberapa kampung, jadi Bagus cukup tahu di mana letak kampung itu. Hanya saja, ia tidak tahu tempat Mbah Naryo itu ada di mana. Ia pun memutuskan untuk bertanya pada seseorang yang lewat.
Bagus pun di beritahu ke mana arah yang harus ia tuju. Ia mengikuti petunjuk yang diucapkan oleh orang tadi. Ia pun sampai di sebuah rumah yang cukup terpencil. Jauh dari rumah warga lainnya. Seperti orang ini punya tanah yang sangat luas hingga hanya rumahnya saja yang ada di sana.
Meski begitu, sepertinya rumah ini cukup terkenal. Karena di depan ada banyak orang yang sedang mengantre.
Bagus memberhentikan motornya di depan rumah itu. Ia turun dan memperhatikan rumah itu dengan seksama.
Sebuah rumah tua dari kayu dengan banyak ukiran ukiran khas di beberapa tiang. Di belakang rumah banyak pohon pohon tinggi menjulang. Disekelilingnya banyak daun daun kering berceceran yang sesekali beterbangan karena tertiup angin. Entah si pemilik tidak punya sapu atau memang terlalu sibuk untuk membersihkan halaman.
Bagus, ibu dan Nina ikut mengantre bersama orang orang yang sedang duduk di sana. Ada seorang ibu dengan anak yang sangat pucat di pelukannya, seorang perempuan yang kelihatannya biasa biasa saja, tidak kelihatan sakit, tapi entah untuk apa ia datang kesini. Ada juga seorang bapak bapak bereajah pucat yang duduk di kursi roda bersama dengan seorang lelaki muda.
Kenapa ada orang lumpuh yang dibawa ke tempat sihir? Apakah si orang sakti itu akan mengganti kakinya? Atau membuat kakinya sekuat baja hingga pulih kembali seperti sediakala? Tempat ini sungguh tidak masuk akal. Pikir Bagus.
Satu persatu orang masuk dan keluar. Perempuan biasa tadi masuk ke dalam seperti tidak ada hal aneh darinya. Tapi kemudian, setelah keluar, ia memegangi wajahnya sambil tersenyum senyum senang seperti habis mendapat hadiah. Bagus hanya menatapnya heran karena tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam.
Anak yang pucat tadi pun masuk mendapat giliran berikutnta, dan tak lama kemudian, ia keluar dengan wajah yang agak segar. Ibunya pun membawa sebuah kendi dari tanah liat yang sepertinya isinya air. Entah itu air apa.
Yang lebih luar biasa, ketika si bapak dengan kursi roda yang tadi masuk. Saat keluar, tanpa diduga ia berjalan sendiri meski masih agak kesulitan. Bagus yang melihatnya pun tercengang sekaligus heran.
Apakah benar Mbah Naryo se sakti itu sampai ia bisa membuat orang lumpuh kembali berjalan? Keraguan Bagus mulai kabur. Sepertinya ia mulai percaya kalau Mbah Naryo ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Giliran mereka pun tiba. Ibu, Nina dan Bagus masuk ke dalam rumah itu. Di dalam sana cukup gelap karena memang tidak ada kaca jendela yang memungkinkan cahaya untuk masuk. Hanya ada lubang berbentuk persegi yang ditutupi oleh kayu kayu yang memanjang.
Di dindingnya terdapat banyak hiasan kepala hewan dan lukisan lukisan yang entah apa bentuknya. Disetiap sudut terdapat lilin lilin besar berwarna merah yang membuat ruangan itu agak terang.
"Ayo lungguh,"
(Silakan duduk,) ucap Mbah Naryo.
Mereka bertiga pun duduk di hadapan sebuah meja yang di atasnya terdapat berbagai macam kelopak bunga, kendi kendi dan mangkuk dari tanah liat. Di seberang meja itu, seorang laki laki tua dengan janggut dan rambut yang sudah berwarna abu abu, pakaian serba hitam, serta memakai ikat kepala batik duduk bersila dengan tangan yang ia letakkan di atas lutut seperti tengah berzikir.
Mereka yang ada di sana hanya terduduk diam.
Nina menatap sekeliling dengan takut. Ia memeluk ibu erat dan menyembunyikan kepalanya dibalik lengan ibu.
Bagus baru sadar kalau suasana di dalam ruangan itu agak panas hingga ia mengibas ngibaskan bajunya.
"Arep apa kowe kabeh menyang kene?"
(Mau apa kalian ke sini?) tanya Mbah Naryo.
"Anak saya, mbah. Dia selalu di ganggu oleh jin. Beberapa kali dia kesurupan. Kadang teriak teriak ketakutan. Saya mau minta bantuannya untuk membuat anak saya kembali pulih."
"Banyak!" tegas Mbah Naryo.