Sepulangnya dari rumah Mbah Naryo, Bagus membaringkan Nina di tempat tidur dan menyelimutinya. Sementara ibu, ia sudah berjalan dengan tergesa gesa ke kamar mandi. Mengambil seember air dan mencampurkannya dengan air yang diberikan oleh Mbah Naryo.
Ibu mengelilingi rumah sambil menyiram nyiramkan air ke tanah seperti sedang memagarinya. Bagus melihatnya melalui kaca. Ia masih tak habis pikir kenapa ibunya bisa percaya pada dukun itu.
"Sampun Bu?"
(Sudah Bu?) tanya Bagus ketika ibu tengah berjalan masuk sambil membawa ember kosong.
"Sudah, Gus."
"Apa dukun itu benar benar bisa kita percaya?"
"Isa gus. tekan kapan kowe arep takonke perkara iki? Dheweke kuwi wis kenal. Wis mesti isa panitaya."
(Bisa Gus. Sampai kapan kamu mau tanyakan hal ini? Dia itu sudah terkenal. Sudah pasti bisa dipercaya.)
"Terkenal bukan berarti punya kemampuan, Bu."
"Dia terkenal karena kemampuan hebatnya."
"Kemampuan apa? Kemampuan minta bantuan jin?"
"Sudahlah Gus. Yang penting Nina sembuh!"
Ibu berjalan dengan gegas ke kamar mandi. Karena terlanjur gerah, ia memilih untuk mandi dan membersihkan tubuhnya.
***
Bagus berjalan menghampiri Nina di kamarnya. Nina masih tak sadarkan diri. Ia masih terkulai lemas di atas kasur dengan mata yang terpejam dan tubuh yang dibalut selimut.
Bagus duduk di sebelah Nina, tepat di ujung kasurnya. Ia menatap Nina dengan tatapan sedih karena tidak bisa menjadi kakak yang baik untuk adiknya.
"Nin, Mas mau sekali membantu kamu. Mas sedih setiap kali kamu menangis ketakutan, berlari dan berteriak, Mas sangat sedih. Tapi sekarang Mas gak bisa berbuat apa apa..."
"Kalau benar dukun sakti itu bisa menyembuhkan kamu, entah Mas harus mengaminkan dan berdoa pada Tuhan atau tidak. Ibu sangat percaya dengan dia."
"Mas takut kamu gak bisa sembuh. Takut sekali. Kalau kamu gak bisa disembuhkan oleh tukang sihir itu, Mas akan bawa kamu ke psikiater. Apa pun yang terjadi. Fahri pasti akan bantu kamu."
***
Setelah adzan maghrib berkumandang, Ibu dan Bagus shalat berjamaah. Kali ini mereka hanya berdua. Tidak dengan Nina yang masih sakit itu.
Bagus menjadi imam. Disetiap rakaat shalat itu, ibu dan Bagus berdoa dengan khusyuk. Sampai mereka berdua selesai, mereka terduduk dan menadahkan tangan untuk berdoa.
Dalam doanya, ibu tidak berhenti meminta kesembuhan untuk Nina. Anak perempuan yang paling ia sayangi.
Sementara Bagus, dalam doanya ia tidak nerhenti meminta maaf. Meminta maaf karena ia telah membawa ibunya ke tempat dukun itu dan menduakan Tuhannya.
"Ya Tuhan, maaf karena aku sudah membawa ibu ke tempat yang penuh ke musyrikan itu. Dan tolong, tolong sembuhkan adikku dari segala penyakit yang menimpanya. Tolong kembalikan ia seperti sedia kala. Saat ia masih ceria dan banyak bicara."