Nina terbangun di pagi hari dengan napas terengah engah. Kemudian ia menatap ke arah pintu dan langsung berlari ke sana. Ia bergegas membukanya.
Saat pintu terbuka, ia mendapati lantai rumahnya memiliki retakan. Sedikit demi sedikit retakan itu membesar dan makin memanjang. Dari lantai menjalar menuju tembok. Makin lebar dan lebar. Kemudian, ruangan yang ia lihat terbelah dua dengan lubang yang begitu dalam dan gelap.
Nina terbangun dengan napas terengah engah. Sepertinya kejadian barusan hanya mimpi. Itu tidak nyata. Iya. Itu pasti hanya mimpi.
"Kau sudah bangun ternyata," ucap sebuah suara.
"Cepat mandi dan sarapan bersama ibumu! Kasihan dia sudah menunggu!"
"Nah ada yang datang! Cepat sembunyi. Dia pasti orang jahat!"
"Teriak! Biar ada orang yang datang menolong!"
"Jangan... orang jahat itu bisa tahu keberadaanmu. Keluar melalui jendela!"
Bagus mendapati Nina sedang bersembunyi dibalik selimut sambil menangis. Ia pun berlari menghampirinya dan membuka selimut itu. Nina semakin menjadi. Ia berteriak dan meronta ronta. Bagus yang keheranan mencoba menyadarkannya. Mengguncang tubuhnya sambil berteriak teriak memanggilnya.
"Nin! Ada apa?! Ini mas Bagus!"
Nina berteriak dan menendang nendang Bagus sambil memukulnya. Bagus memeluknya. Mencoba untuk menanangkannya.
"Hey... dia pasti berniat jahat padamu."
"Tidak ada yang bisa dipercaya. Kau harus segera pergi dari sini. Tempat ini tidak aman," satu persatu suara itu terus mengganggu pendengaran Nina. Sementara Bagus, ia keheranan karena tidak mengerti kenapa Nina terus menjerit dan meronta ronta. Berusaha melepaskan diri darinya.
"Bu... cepat kesini!" teriak Bagus.
Ibu berlari cepat. Ia melihat Bagus sedang memeluk Nina yang meronta ronta dan berteriak kencang.
"Ambil tali Bu!" teriak Bagus.
"Kamu sudah gila?!"
"Cepat Bu!"
Ibu yang mendengar itu sontak berlari mencari tali yang bisa mengikat Nina. Setelah menemukannya, ia kembali ke kamar Nina dan memberikan tali yang sedang dipegangnya pada Bagus. Bagus mengikatkan tali itu ke tangan Nina dan mengikatkannya pada ranjang.
Nina terus menjerit dan meronta. Bagus mengeluarkan teleponnya dan hendak memanggil Fahri.
"Mau nelepon siapa kamu?" tanya ibu.
"Bagus mau telepon Fahri. Kita harus minta bantuan dia."
Ibu menyambar ponsel Bagus dan mematikannya.
"Jangan telepon dia!" tegas ibu dengan tatapan tajam.
"Terus kita harus bagaimana Bu?"
"Ibu akan pergi menemui Mbah Naryo."