Jam menandakan pukul 13:30 WIB. Aku sedang menonton sebuah film yang berjudul “Harry Potter And The Goblet Of Fire” sendirian di rumah, dengan kopi yang sudah tinggal setengah dan kipas angin yang berputar sangat kencang sampai membuatku kedinginan dan akhirnya pun masuk angin. Malam pun sudah menggantikan posisi senja dengan cepatnya.
“Aduh! Aduh! Perih Mah. Berhenti dulu bentar” Rintihku.
Saat itu aku sedang kesakitan karena sedang di kerok, itu karena tadi siang aku menyalakan kipas angin di level paling kencang serta mengarahkan nya padaku. Beginilah jadinya, harus menanggung perih dan punggungku ber-gambar seperti tulang-tulang ikan.
“Tadi buru-buru minta di kerokin! Sekarang minta berhenti. Yaudah kamu kerok sendiri” Ucapan beruntun itu keluar dari mulut Mamah.
“Yaudah-yaudah lanjutin lagi tapi pelan-pelan” Pintaku.
“Udah berisik nawar lagi. Orang lain kalau di kerok itu pake koin, ini malah pake bawang merah!!! Maneh teh enggeus badag (Kamu tuh udah gede)” Omel mamah yang saat itu mulai melanjutkan apa yang kupinta tadi.
“Eh namanya juga beda. Aku kan masih ingin mempertahankan budaya tradisional” Ucapku sambil merintih.
“Kalau lagi di bilangin suka ngejawab ajah”
“Maaf Mah” Ucapku dengan nada pelan.
“Udah tuh”
“Nuhun mah (makasih mah)”
Mamah ku lahir dan besar di Jakarta. Dan akhirnya setelah menikah dengan Bapak ia di boyong ke Bandung, dan menetap disana. Jadi wajar saja kalau Mamah berbicara suka di campur-campur. Dikarenakan ia belum bisa fasih berbicara dalam Bahasa Sunda.
Mamah adalah orang yang selalu ingin melihat anak-anak nya mandiri dan tidak manja. Ia selalu sederhana dan apa adanya dalam keadaan apapun, ia juga selalu baik kepada siapapun.
Walaupun Mamah tak pernah bilang “Kita harus baik kepada siapapun” secara langsung kepada anak-anaknya, tapi cukup dari tindakan dan perilaku nya yang membuatku sadar, tanpa perlu berbicara begini begitu cukup dengan sebuah tindakan kita bisa berbuat baik.
Contoh nya saja ketika sedang di dalam bis ada seorang pengamen yang telah bernyanyi beberapa lagu dan mengeluarkan bungkus permen yang cukup besar.
Disaat semua penumpang tak ada yang memberi nya uang sepeserpun, Mamah satu-satunya penumpang yang memberi pengamen tersebut uang, dan aku tau saat itu uang Mamah sedang pas-pasan dan tak ada uang kecil yang tersisa karena sudah habis di pakai olehku saat di rest area, untuk keluar masuk kamar mandi berkali-kali. Karena sakit perut yang tak kunjung mereda saat itu. Disini aku hanya bercerita saja tanpa bermakud apa-apa atau ingin disebut ini itu dan lain-lainnya.
Siang hari di sekolah, saat sedang jam istirahat dari jendela kelas ku melihat Rara sedang berjalan dari arah kantin yang sepertinya akan menuju ke kelasnya. Satu hal yang belum kuberitahu yaitu, kebetulan kelas ku berdekatan dengan kantin sekolah.
Kuberanikan diri untuk menghampiri nya, karena saat itu adalah pertama kalinya aku akan menyapa, bicara dan bertemu dengan nya secara langsung.
“Selamat pagi Rara” Kusapa dia.
“Eh Dit. Selamat pagi juga” Jawabnya kaget.
“Mau kemana?”
“Mau balik ke kelas barusan habis dari kantin” Ucapnya.
“Iya aku tadi liat dari jendela makanya langsung nyamperin kamu”
“Yaudah Rara duluan ke kelas”
“Eittt” Kuhalangi dia dengan sigap.
Ia menatapku dengan raut wajah yang cemberut.
“Adit minta maaf kalau tadi ngagetin kamu”
“Buat apa minta maaf kamu nggak salah apa-apa kok”
“Keliatan dari raut wajah kamu” Jawabku yang masih menghalangi nya.
“Bukan karena kamu. Rara lagi kesel ajah sama seseorang” Ia terdengar berkata jujur.
“Sini duduk dulu bentar. Nggak pegel tuh kaki dari tadi berdiri terus lagian bel masuk juga masih lama” Ajak ku.
Ia perlahan mendekat dan duduk di sebelahku, tetapi dengan jarak yang cukup jauh.
“Kenapa? Sok atuh cerita”
“Lagi bete sebel kesel marah pokonya semuanya deh” Sambil mengekspresikan dirinya sendiri.
“Iya ngerti. Tapi sebabnya karena apa bisa marah kayak gini?”
“Tadi nungguin temen. Dia bilang mau jemput tapi nggak dateng-dateng” Kesalnya.
“Marahin tuh temen nya hehehe” Candaku.
“Nggak ah. Nggak boleh gitu” Bantah nya langsung.
“Becanda Ra, yaudah maafin aja temen nya”
“Dia yang marah bukan aku. Kan kebalik” Ia menolak saranku.
“Nggak ada salahnya Ra buat minta maaf duluan”
“Yaudah deh aku mau minta maaf duluan” Terdengar tulus ucapan nya.