"Jadi, sudah berapa kali kau memimpikan hal yang sama dalam kurun waktu sebulanan ini?"
Pertanyaan yang diajukan oleh pria berjas putih nan rapi itu membuat lamunan seorang gadis yang sejak tadi terlihat memainkan jari jemarinya di atas kursi pasien langsung buyar seketika.
"Mimpi?"
Gadis itu malah balik bertanya kembali.
"Mimpi buruk yang baru saja kau ceritakan tadi. Sudah berapa kali, mimpi buruk itu datang kembali?"
Lelaki berjas putih itu memperjelas pertanyaannya tanpa banyak berbasa-basi, membuat sang gadis langsung menarik nafasnya sejenak.
"Oh, mimpi buruk yang itu..."
Gadis itu tidak langsung melanjutkan ucapannya, seakan ada sesuatu yang menahan tenggorokannya begitu saja. Padahal ia sudah berusaha untuk bersikap biasa saja dan mencoba tidak terlalu memikirkannya.
Namun, jika harus membahas tentang mimpi buruk itu... rasanya suaranya bisa tercekat kapanpun juga tanpa ia bisa kendalikan.
Mimpi buruk itu... adalah satu-satunya hal yang masih melekat dalam dirinya bahkan setelah hari, bulan dan tahun berganti.
Mimpi buruk sama yang terus berulang entah berapa kali seperti sebuah kaset kusut dalam ingatannya.
Mimpi buruk yang nampaknya... sudah ia hafalkan di dalam hati, otak dan juga pikirannya.
Gadis itu menutup kedua matanya sejenak untuk menjernihkan perasaannya yang sedang terasa kalut saat sedang membahas persoalan ini di depan dokter pribadi milik keluarganya.
Namun anehnya, saat baru beberapa detik ia mencoba untuk memejamkan kedua matanya yang ia rasa mulai agak penat, kilasan ingatan itu menyelinap kembali menelisik ke dalam akar ingatannya hingga mengagetkan naluri yang ia punya.
Kilasan ingatan kejadian delapan tahun yang lalu.
Awal dari segala mimpi buruk gadis itu.
"Adinda, kau tidak apa-apa?"
Gadis itu buru-buru membuka kembali kedua matanya dan menemukan dokter Frans yang sudah berdiri di belakang dirinya, menggoncang kedua bahunya dengan wajah setengah panik setelah melihat pasiennya itu tiba-tiba saja nyaris kehilangan nafas setelah memejamkan kedua matanya.
"Saya... baik-baik saja, dok," jawab gadis itu meskipun dengan nada suara yang masih terdengar tercekat dan agak sedikit bergetar.
Namun dr. Frans malah menggelengkan kepalanya pelan sambil melangkahkan kakinya kembali menuju kursi kerja miliknya seraya memperhatikan pasiennya itu dengan ekspresi yang sulit untuk dapat dijelaskan.
"Kau tidak sedang baik-baik saja, Adinda. Melihat reaksimu barusan, itu menunjukkan bahwa kau memang masih memerlukan pertolongan dari pihak kami, rumah sakit. Dan itu adalah hal yang wajar."
Gadis itu terdiam mendengarkan ucapan dr. Frans yang ditujukan untuk dirinya.
Lelaki berjas putih itu menunjukkan ekspresi prihatin bercampur rasa kasihan. Ekspresi sama persis seperti apa yang lelaki itu berikan pada dirinya saat ia baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit pasca insiden itu terjadi delapan tahun yang lalu.
Orang-orang menyebut insiden itu dengan sebutan 'Palm Green Residence'.
Delapan tahun yang lalu, sebuah tragedi penyekapan brutal terjadi di kompleks perumahan elit 'Palm Green Residence'. Sebuah rumah yang tidak beruntung pada hari itu tiba-tiba saja disambangi oleh sekelompok orang asing yang menyekap seluruh penghuni rumah yang ada pada waktu itu, menyiksa mereka satu persatu lalu menyeret mereka semua ke sebuah kamar mandi yang berada di lantai paling bawah.
Semua penghuni rumah... ditumpuk dan dikuncikan oleh para pelaku penyekapan dalam sebuah ruangan kamar mandi sempit nan pengap milik seorang pembantu.
Sepuluh dari sebelas nyawa yang ditumpuk berdesakan dalam satu ruangan sempit dengan udara seadanya melayang secara bergantian karena pembuluh darah yang pecah dan kekurangan asupan oksigen setelah disekap selama dua puluh empat jam lebih lamanya.
Satu-satunya korban yang berhasil selamat adalah gadis itu. Gadis yang tidak dapat mengontrol suara tercekatnya. Gadis dengan jari jemari yang selalu terlihat resah. Gadis yang sejak tadi berhadapan langsung dengan dr. Frans.
Gadis itu... Adinda Cempaka Soeharso.
Putri bungsu dari Daniel Soeharso, pemilik rumah yang menjadi target berdarah pada insiden 'Palm Green Residence' delapan tahun lalu sekaligus satu-satunya korban yang berhasil selamat dan bertahan hidup dari tragedi penyekapan menyesakkan itu.
***
Sepulang dari rumah sakit, Adinda langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa banyak bicara. Ia mengeluarkan beberapa bungkus obat dari dalam tasnya. Beberapa obat diantaranya adalah pil penenang yang sudah diresepkan oleh dokter pribadinya, dr. Frans.
"Mungkin, gejala parasomnia yang sempat kau alami itu kambuh kembali. Itu dapat terjadi akibat stress, gangguan kecemasan, depresi atau bahkan trauma yang penderitanya alami. Banyak-banyak beristirahat, minum obat yang sudah aku resepkan dan kembali melakukan psikoterapi. Aku sudah menjadwalkan pemeriksaan dan pertemuan janji medis kita selanjutnya. Adinda... parasomnia ini harus bisa kau lawan dari dalam."
Adinda mengingat kembali ucapan dr. Frans untuk dirinya saat di rumah sakit.
Parasomnia.
Sebuah gangguan yang tidak bisa membuatnya tidur dengan tenang selama bertahun-tahun lamanya.