Terhimpit

litareea
Chapter #4

ANAK SALAH SATU PELAKU

"Saya akan berjaga dan memastikan bahwa Nona Adinda sekeluarga dalam keadaan aman, jadi Nona tidak usah khawatir."

Adinda masih mengingat bagaimana Haidan mengatakan hal itu kepadanya tadi pagi. Ia ingin berteriak memanggil nama lelaki itu agar segera berbalik memutar mobil dan menolongnya, namun situasi gadis itu jelas tidak memungkinkan.

Seseorang yang tidak dikenal baru saja menyeret dan membawa lari dirinya dengan cepat. Belum lagi orang misterius itu sekarang menyimpan mulutnya rapat-rapat, membuat Adinda seakan tidak memiliki celah dan kesempatan untuk meminta tolong kepada siapapun.

Apakah ini aksi penculikan?

Siapa orang yang sedang berusaha menculiknya dengan sedemikian rupa?

Adinda membatin seperti itu di dalam hatinya, namun tubuhnya sudah terlalu lemas untuk dapat memberikan reaksi. Gadis itu sudah akan memilih pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya, sampai akhirnya ia melihat sosok berjas hitam tengah berlari secepat kilat ke arah dirinya dan menghantam sosok misterius yang tengah membelenggu dirinya dalam batas pandangannya yang semakin samar.

***

Haidan, seorang pengawal pribadi yang sudah lama mengabdi, dikenal sebagai pria yang tegas dan selalu siaga. Dengan tubuh tinggi dan perawakan kurus menjulang seperti tiang listrik, nyatanya lelaki itu memiliki otot kekar yang terlatih, ia tampak seperti bukan hanya tiang listrik berjalan namun juga benteng yang tak tergoyahkan.

Hari itu, di bawah langit senja yang mulai meredup, dia mengawal Adinda dari rutinitas kampus yang biasa gadis itu lakukan sehari-harinya. Jalan-jalan kota yang biasanya ramai kini mulai lengang, dan hanya beberapa pejalan kaki yang terlihat. Saat itu, Haidan berpikir bahwa senja pada hari itu akan sama seperti biasanya. Meskipun begitu, insting peka yang hidup dalam diri lelaki kurus namun bertubuh tegap kekar itu mengatakan sebaliknya.

Haidan mengamati sekeliling dengan waspada. Hidungnya menangkap aroma yang biasa, campuran asap kendaraan dan parfum mahal. Namun, sesuatu terasa salah. Di belakang mobil yang sedang ia kemudikan, ada bayangan yang bergerak cepat dan mendekat dengan langkah ringan. Haidan tetap berusaha tenang. Saat ia melihat bagaimana Adinda turun dari mobil dengan wajah malas, instingnya mengatakan bahwa mengisyaratkan untuk lebih cepat memarkir mobil yang sedang ia bawa.

Namun, sebelum ia selesai memarkir mobil di gerbang satunya, sosok laki-laki misterius itu muncul dari balik bayangan, wajahnya tertutup masker hitam. Dengan satu gerakan cepat, ia mencoba meraih Adinda dan membawa gadis itu pergi tanpa perlu berbasa-basi.

Haidan menyadarinya ketika ia berbalik dan melihat gerbang rumah sebelah masih tertutup rapat dari arah luar, pertanda bahwa Adinda sama sekali belum membukanya barang sedikitpun. Mengetahui hal itu, tentu saja Haidan segera bereaksi. Ia memutar kembali mobil dengan cepat menuju ke arah jalan sebaliknya. Kedua mata elangnya sibuk mencari sosok misterius yang membawa lari Nonanya. Seharusnya, mereka masih tidak pergi jauh. Saat ia menemukan sosok misterius yang sedang berusaha menyeret seorang gadis di ujung jalan tanpa banyak berpikir ia langsung menghadang si penculik dengan tatapan tajam yang seolah-olah bisa menembus jiwa.

“Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau tidak akan bisa menyentuhnya,” suara Haidan dingin, penuh ancaman tepat saat ia keluar dari mobil dan langsung menghantam sang penculik tanpa rasa takut.

Lelaki misterius itu hanya tersenyum di balik maskernya, seperti tidak terintimidasi sedikit pun. Ia melangkah maju, menyerang Haidan dengan kecepatan yang luar biasa. Haidan menghindar dengan cekatan, namun lelaki itu terus menerjang, menggunakan gerakan yang tampak seperti terlatih dengan baik.

Pukulan pertama mendarat di bahu Haidan, tapi dia menahan rasa sakitnya. Sebagai pengawal pribadi, dia sudah terbiasa dengan pertarungan fisik. Haidan mengayunkan tinjunya ke arah lawan, mengenai perut si penculik dan membuatnya terdorong mundur. Namun, lelaki itu kembali dengan lebih agresif, memukul wajah Haidan dengan siku yang keras.

Darah menetes dari sudut bibir Haidan, tapi dia tidak mundur. Setiap kali si penculik mencoba mendekati Adinda yang jatuh tersungkur dengan lemas, Haidan selalu berada di hadapannya, seperti tembok yang tak bisa ditembus. Mereka bertarung di jalan perumahan yang sepi itu, meninggalkan setiap gerakan mereka menghasilkan suara benturan keras yang menggema di antara dinding bangunan.

Meskipun lawannya kuat, Haidan bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Dia terus menyerang dengan strategi yang terukur, mencari celah dalam pertahanan lelaki itu. Akhirnya, ketika si penculik mencoba melakukan tendangan ke arah kepala Haidan, dia menangkap kaki lelaki itu dan memutarnya dengan kekuatan penuh, melemparkannya ke dinding.

Suara benturan keras terdengar ketika tubuh si penculik menabrak dinding bata. Haidan tidak memberinya waktu untuk pulih. Dia segera menghujani lelaki itu dengan pukulan bertubi-tubi, memastikan dia tidak akan bangkit lagi. Ketika lelaki misterius itu akhirnya terjatuh dan tidak bisa lagi bergerak, Haidan menghela napas panjang, kelelahan namun waspada.

Ia menoleh ke belakang, melihat Adinda yang sudah berusaha bangkit sedang mencoba berdiri dengan raut wajah penuh ketakutan. Matanya berbinar dengan campuran rasa lega dan syok. Tanpa berkata-kata, Haidan berjalan mendekatinya, memastikan agar gadis itu tidak terluka.

“Maafkan saya, Nona, karena lengah dan ceroboh membiarkan Anda masuk rumah tanpa penjagaan yang semestinya,” kata Haidan dengan nada penuh penyesalan, meskipun dia tahu itu bukan kesalahannya namun sebuah kecerobohan ternyata membiarkan gadis itu turun dari mobil dan berusaha masuk ke dalam rumah seorang diri.

Adinda menggelengkan kepalanya pelan, matanya masih sedikit berkaca-kaca.

“Tidak, Haidan. Kau telah menyelamatkanku. Aku… aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini.”

Haidan hanya mengangguk, memaksa senyum tipis muncul di wajahnya yang lelah.

“Yang penting Anda selamat. Lalu, bagaimana dengan orang ini?"

Haidan menunjuk ke arah sang penculik yang sedang terkapar dan merintih kesakitan.

"Bawa dia ke rumah," jawab gadis itu yang langsung membuat Haidan terkejut hingga menautkan alisnya. Bukannya memanggil polisi, gadis itu malah ingin membawa orang yang hampir mencelakakan dirinya ke rumah?

"Aku ingin bicara dengannya. Aku ingin tahu alasan kenapa ia menyerangku. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari diriku," lanjut Adinda dengan suara agak bergetar tertahan.

Tanpa membuang waktu, Haidan menggenggam tangan Adinda lagi dan membawa gadis itu berjalan memasuki mobil. Cahaya senja yang tersisa memudar, menggantikan ketegangan dengan ketenangan malam. Haidan, tetap siaga memastikan sang Nona Muda dalam keadaan yang aman. Setelah itu, ia mengeksekusi sosok penculik yang nampaknya belum pulih dan masih merasakan kesakitan akibat aksi serangan baliknya.

Haidan menarik nafasnya perlahan setelah selesai mengikat sang penculik, memastikan Adinda baik-baik saja dan memutar mobil kembali menuju ke arah rumah.

Sebagai pengawal pribadi berbagai ancaman memang selalu dapat mengintai, dalam berbagai sisi dan situasi.

Haidan, harus bisa lebih waspada lagi.


***

Ruangan itu hening, hanya diisi dengan suara detak jarum jam yang monoton. Haidan berdiri tegap di sudut ruangan, menatap tajam ke arah lelaki misterius yang duduk terikat di kursi. Wajah lelaki itu masih tertutup bekas pukulan yang ia terima dalam pertempuran beberapa jam yang lalu.

Sementara itu, Adinda yang nyaris menjadi korban penculikan tengah berada di lantai atas rumahnya, mencoba menenangkan diri akan aksi penyerangan yang nyaris baru saja terjadi pada dirinya.

Cahaya lampu yang redup memantulkan bayangan gelap di dinding, menciptakan suasana tegang. Haidan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang dipenuhi pertanyaan.

Siapa lelaki ini? Mengapa dia mencoba menculik Adinda? Dan yang terpenting, apa ada orang yang mengirimnya kemari mengingat kemunculannya yang terkesan cukup tiba-tiba?

Haidan memulai dengan suara rendah tapi penuh ancaman.

"Katakan siapa kau dan apa tujuanmu. Jangan buat aku harus menggunakan cara yang lebih kasar. Aku bisa membuat tubuhmu babak belur, lebih dari tadi."

Lelaki itu, meski tubuhnya terikat dan wajahnya penuh luka, hanya menatap balik Haidan dengan senyum sinis.

"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku," katanya dengan dingin.

"Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membuatku berbicara."

Haidan tidak terkejut dengan respons ini. Dia tahu lelaki semacam ini adalah seseorang yang sudah dilatih untuk menahan interogasi, tipikal orang yang menyukai permainan tarik ulur. Namun, Haidan juga tahu bahwa semua orang memiliki titik kelemahan

"Begitu?" Haidan mendekat, menunduk sedikit sehingga wajahnya sejajar dengan lelaki itu.

"Tapi kau tidak berbicara denganku saja. Kau berbicara dengan orang yang bisa membuat hidupmu jauh lebih buruk dari yang kau bayangkan."

Lelaki itu mendengus, mencoba menunjukkan ketenangan yang mulai goyah.

"Kau tidak tahu apa-apa. Aku bukan anak kecil yang bisa kau ancam begitu saja."

Haidan tersenyum tipis.

"Aku tahu lebih dari yang kau kira," katanya, sambil mengeluarkan sebuah dompet cokelat dari balik sakunya. Ia menunjukkan dompet cokelat itu tepat dan depan wajah lelaki misterius itu.

"Ini punyamu, bukan? Aku mengambilnya saat kau tidak sadar dan lebih betah merintih kesakitan tadi."

Untuk pertama kalinya, Haidan melihat ekspresi lelaki itu berubah. Matanya menyipit, lalu terbuka lebar seakan mencoba menyangkal apa yang dilihatnya.

"Bagaimana kau…"

"Jangan anggap remeh apa yang bisa kulakukan," Haidan memotong.

"Aku bisa menggali banyak hal dari balik dompetmu ini. Misalnya seperti identitas atau bahkan... keluarga dan asal usulmu. Jadi, lebih baik kau mulai berbicara."

Ada ketegangan dalam udara, ketika lelaki itu mencoba mengendalikan emosinya. Dia tahu dia terpojok, tapi tetap berusaha mempertahankan harga dirinya.

"Kau pikir ancaman murahan ini akan membuatku menyerah?"

Haidan menatapnya dengan tajam, melihat ke dalam mata lelaki itu, berusaha menembus kedalamannya.

"Aku tidak perlu ancaman murahan untuk mendapatkan kebenaran. Aku hanya perlu waktu. Dan percayalah, aku punya banyak waktu."

Mereka saling berpandangan selama beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, sampai akhirnya lelaki itu meruntuhkan pertahanannya.

"Baiklah," katanya dengan suara serak.

"Aku akan berbicara. Tapi janjikan satu hal, jangan usik keluargaku lebih jauh lagi setelah ini."

Haidan mengangguk.

Lihat selengkapnya