Adinda tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti ini dalam hidupnya.
Hari di mana dia duduk di ruang tamu rumahnya, berhadapan dengan Edmund, orang yang nyaris saja menculik dan membawa lari dirinya. Hubungan mereka telah melalui berbagai fase dari ketakutan dan ketidakpercayaan hanya dalam waktu kurang dari sehari, hingga menuju keadaan mengejutkan yang kini dapat diartikan sebagai komunikasi saling memahami.
Setelah mendengarkan penjelasan Edmund tentang alasan mengapa lelaki itu sampai nekat menemuinya, anehnya Adinda tidak jadi membenci lelaki itu. Alih-alih membenci, ia justru merasa ingin menggali lebih dalam lagi. Adinda tidak secara gamblang menyatakan bahwa ia prihatin akan kehidupan Edmund, tapi ia merasa tidak punya hak untuk menyalahkan atau menghakimi Edmund balik.
Yang bersalah dalam kasus delapan tahun yang lalu adalah ayah dari orang ini, bukan dirinya.
Tentu, masih ada ketegangan di udara.
Bagaimana mungkin tidak ada?
Edmund, dengan sikap tenangnya, duduk dengan raut wajah yang sulit ditebak. Seperti biasa, ia berbicara dengan kalimat yang terukur, penuh kehati-hatian. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Mereka tidak lagi membahas soal masa lalu dan alasan mengapa Edmund hampir menculik Adinda. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang jauh lebih mendesak dan membingungkan, sebuah paket misterius yang sempat diterima Adinda.
"Lalu, kenapa kau sampai mengirimkan burung mati kepadaku? Apa ada maksud tertentu?"
Edmund mengerutkan dahinya akan pertanyaan Adinda yang semakin terdengar tidak masuk akal.
"Aku tidak pernah mengirimkan apapun kepadamu," jawab lelaki itu yang sontak membuat Adinda terkejut bercampur kebingungan. Bukan Edmund yang mengirimkan paket misterius berupa burung mati di depan rumahnya?
“Jadi, kau benar-benar tidak tahu soal paket berisi kiriman burung mati itu?” tanya Adinda untuk kesekian kalinya, masih mencoba mencari kepastian di wajah Edmund.
Edmund menggeleng pelan.
“Kau pikir karena aku hampir menculikmu, maka aku juga adalah pelaku yang meneror rumahmu dengan paket menyeramkan seperti itu? Aku tidak pernah mengirim apapun padamu, Adinda. Mengapa aku harus melakukannya? Itu akan berbahaya, baik untukmu maupun untukku.”
Adinda menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Meski dia ingin percaya, ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya.
Sebuah paket berisi burung mati tiba di rumahnya beberapa hari yang lalu. Tanpa nama pengirim, tanpa petunjuk lain kecuali hewan yang tergeletak kaku dan rekaman CCTV buram yang tidak terlalu jelas. Saat pertama kali melihatnya, Adinda sempat berpikir Edmund terlibat. Namun, setelah pertemuan ini, semua teori itu tampak tidak relevan lagi.
“Lalu siapa yang melakukannya?” gumam Adinda, lebih kepada dirinya sendiri daripada Edmund.
“Itu bukan jenis pesan yang ingin dikirim oleh seseorang yang bertujuan baik,” kata Edmund perlahan.
“Mungkin ada seseorang yang ingin menakut-nakutimu, atau mengingatkanmu akan sesuatu. Tapi tanpa mengetahui siapa yang mengirimnya, sulit untuk menebak motifnya.”
Adinda menatap Edmund dengan mata yang penuh pertanyaan.
“Dan kau bisa membantuku menemukan siapa dia?”
"Tiba-tiba? Kenapa aku? Kau punya pengawal pribadi yang lebih dapat diandalkan," sahut Edmund yang melirik sekilas ke arah ruangan dalam, sepertinya Haidan belum kembali dari toilet. Adinda menghela nafasnya perlahan sembari memainkan jari jemarinya dengan gusar.
"Ia adalah orang asing yang sebenarnya tidak terlalu tahu apa-apa," jawab Adinda dengan suaranya yang terdengar sedikit pelan.
"Tapi kau, setidaknya kita punya satu tujuan yang sama. Bagaimana kalau paket misterius yang aku terima kemarin memiliki hubungan dengan kasus delapan tahun yang lalu?" lanjut gadis itu kembali membuat Edmund seakan terdiam berpikir sejenak.
“Baiklah, Aku bisa mencoba,” jawab Edmund dengan suara datar, meskipun ada kilatan niat baik di kedua matanya.
“Namun, kau tahu, ini bukan tanpa risiko. Mereka yang bermain dengan cara ini tidak akan berhenti begitu saja. Mereka ingin menakut-nakuti, atau lebih buruk lagi.”
Adinda tersenyum tipis, penuh kegetiran.
“Aku sudah pernah melalui yang lebih buruk, Edmund. Jika ada yang ingin melukaiku, aku akan siap.”
Edmund agak sedikit terkekeh mendengar jawaban gadis itu. Kenyataan bahwa ia hampir saja melukai Adinda dan lihat bagaimana gadis itu sekarang mengembalikan keadaan melalui ucapannya.
Mereka berdua kemudian beralih ke percakapan tentang bagaimana mereka bisa mulai menyelidiki. Adinda dengan cepat menyadari bahwa Edmund bukan sekedar orang yang memiliki nyali untuk menculik. Di balik semua kesalahan yang pernah dilakukannya, Edmund memiliki pengalaman dan keterampilan yang mungkin akan berguna dalam situasi ini.
Pengamatannya tajam, pikirannya cepat menangkap detail, dan dia mengerti bagaimana cara orang-orang berpikir terutama kaum orang-orang yang hidup di dunia gelap dan penuh dengan tipu muslihat.
“Pertama-tama, kita harus melihat semua kemungkinan siapa yang bisa saja ingin melakukannya,” kata Edmund.
“Apakah ada orang yang baru kau temui, seseorang yang tampaknya aneh atau mencurigakan?”
Adinda menggeleng.
“Tidak ada yang mencolok. Setelah insiden itu, aku menjalani hidup biasa saja. Tidak ada musuh, tidak ada masalah. Aku bisa dibilang hidup dengan normal.”
Edmund tampak merenung sejenak sebelum berkata, “Kadang-kadang, yang paling berbahaya adalah mereka yang kita anggap biasa. Mungkin seseorang di sekitarmu yang menyimpan dendam atau cemburu yang tidak kau sadari.”
Adinda terdiam, merenungkan kata-kata Edmund. Ia mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang mungkin menjadi pemicu masalah ini, tapi tidak ada yang menonjol. Semuanya terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan.
“Bagaimana dengan keluargamu? Teman-temanmu? Apakah ada sesuatu yang terjadi pada mereka akhir-akhir ini?” Edmund bertanya lagi, suaranya terdengar lebih tegas.
“Tidak, sejauh yang aku tahu, tidak ada apa-apa,” lanjut gadis itu lagi meskipun nadanya terdengar tidak cukup yakin.
Edmund mengangguk pelan, mencatat dalam pikirannya semua informasi yang diberikan Adinda.