Adinda duduk pada bangku kayu yang terletak di pojok taman belakang rumahnya, tempat favoritnya untuk berpikir. Udara sore yang sejuk berhembus lembut, namun tidak mampu meredakan kegelisahan yang berkecamuk di hatinya. Sejak pagi tadi pikirannya terus berputar-putar, mencoba merangkai kepingan puzzle yang baru saja ia temukan.
Masih segar ingatannya tadi pagi di kampus saat Emir menunjuk ke arah pengawal pribadinya dan mengatakan bahwa orang itulah yang ternyata mengirimkan paket mengerikan seperti itu ke rumahnya.
Adinda terperangah mendengar kata-kata itu.
Selama ini, ia tidak pernah curiga terhadap Haidan, pengawal pribadinya yang selalu tenang dan penuh perhatian. Haidan adalah sosok yang tak banyak bicara, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa kehadirannya memang selalu dapat membuat Adinda merasa lebih aman, apalagi setelah kejadian tempo hari meskipun ujung-ujungnya kejadian tersebut ternyata tidak terlalu membahayakan juga untuk dirinya.
Tapi, tetap saja.
Mengapa dia... dari semua orang, yang mengirimkan sesuatu mengerikan seperti itu?
Dan apa maksudnya?
Apa ada sesuatu yang lelaki itu inginkan dari dirinya?
Pikiran Adinda langsung bercabang-cabang, mencoba untuk mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah semakin banyaknya timbunan pertanyaan.
Haidan tidak terlihat sebagai orang yang penuh rahasia. Setiap hari, ia menjalankan tugasnya dengan sempurna. Mengantar Adinda ke kampus, menemaninya dalam berbagai acara, bahkan sesekali menungguinya di perpustakaan hingga larut malam. Ia benar-benar terlihat seperti sosok pengawal pribadi pada umumnya. Namun, Adinda tidak bisa mengabaikan perasaannya bahwa mungkin saja ada sesuatu yang disembunyikan Haidan dari dirinya.
Selama ini, Adinda tidak pernah benar-benar bertanya mengapa keluarganya mempekerjakan Haidan sebagai pengawal pribadinya.
Kenapa harus Haidan? Padahal ada banyak pengawal di luar sana?
Beberapa pertanyaan baru lagi yang semakin membingungkan.
Itu terasa seperti keputusan yang wajar, sebuah langkah pengamanan ekstra setelah insiden delapan tahun yang lalu. Tapi sekarang, dengan informasi baru yang ia terima, Adinda merasa bahwa ada lebih dari sekadar alasan keamanan di balik kehadiran Haidan. Kemunculan lelaki itu yang tiba-tiba saja datang dan menjadi pengawal pribadinya bisa dibilang bukan hanya kebetulan semata.
Setelah percakapan dengan Edmund saat di kampus tadi, Adinda memutuskan untuk menanyakan langsung sekali lagi kepada Emir, kurir yang dimaksud. Saat jam kuliah berakhir, ia menemui Emir lagi di lorong kampus dengan terburu-buru.
"Emir, aku ingin bertanya sesuatu. Masih mengenai paket yang kau antar ke rumahku waktu itu. Apa benar Haidan yang mengirimkan paket berisi burung mati itu?" tanya Adinda dengan suara tegas, meski hatinya berdebar kencang.
Emir tampak ragu sejenak sebelum mengangguk perlahan.
"Hm, iya. Aku sih tidak ingin mencampuri urusan pribadi kalian, tapi waktu itu aku lihat sendiri bagaimana orang itu menitipkan sendiri paket itu dan menyuruhku untuk mengirimkannya ke alamat situ. Aku juga merasa ada yang aneh, tapi aku pikir itu bukan urusanku," jawabnya dengan nada menjelaskan sedemikian rupa. Suaranya terdengar rendah, seolah takut membuat Adinda resah lebih jauh lagi.
Mendengar itu, Adinda merasakan kegelisahan yang semakin menghantamnya.
Ia merasa harus segera mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan segenap keberanian yang tersisa, Adinda memutuskan untuk menghadapi Haidan. Sore itu juga, setelah cukup lama berpikir dan mengumpulkan keberanian Adinda pada akhirnya memanggil Haidan untuk menemuinya di ruang tamu.
"Haidan, aku perlu bicara denganmu. Ada hal yang ingin kutanyakan," kata Adinda sambil menatap Haidan lurus-lurus.
Haidan yang biasanya tenang, kali ini tampak sedikit tegang meskipun ia masih betah memasang wajahnya yang terkesan biasa-biasa saja. Lelaki itu mengangguk pelan dan duduk di hadapan Adinda, menunggu dengan sabar.
"Aku tahu kau yang mengirim paket berisi burung mati itu ke rumahku. Pura-pura tidak tahu dan melarangku menghubungi polisi, padahal kau yang melakukannya," ujar Adinda tanpa berbasa-basi, langsung mengatakan sesuatu yang tentu saja membuat ekspresi wajah Haidan langsung panik dalam hitungan detik.
Haidan terdiam sejenak, kedua matanya yang tajam dan dalam menatap Adinda dengan intensitas yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu. Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Haidan?" lanjut Adinda, suaranya bergetar meski ia berusaha keras menenangkan dirinya.
Haidan menarik napas panjang, seolah sedang berjuang dengan dirinya sendiri sebelum akhirnya berbicara.
"Nona Adinda, ada banyak hal yang tidak Anda ketahui. Saya tidak pernah berniat menyakiti Anda, tapi saya memang punya alasan kuat untuk melakukan semua ini," katanya, suaranya terdengar tenang namun ada nada kepahitan yang tersembunyi di baliknya.
Adinda menunggu, menahan napas, berharap Haidan akan melanjutkan ceritanya. Dan benar saja, setelah jeda yang terasa seperti seabad, Haidan mulai berbicara lagi.
"Saya tidak tahu bagaimana memulainya, tapi Anda pasti pernah mendengar tentang kejadian bunuh diri di jembatan kota beberapa waktu lalu," katanya kali ini dengan nada lebih rendah.
Adinda secara refleks mengangguk, ingatannya segera kembali ke peristiwa tragis itu. Itu adalah peristiwa yang pernah Barir dan Indri bahas sebelumnya.
Seorang pemuda ditemukan gantung diri di jembatan kota.
Media memberitakan peristiwa itu selama beberapa hari, tapi tidak banyak informasi yang diberikan tentang siapa pemuda itu atau alasan dia mengambil langkah nekat tersebut.
"Pemuda itu," lanjut Haidan dengan suara serak, "adalah adik saya."
Satu pengakuan yang mampu membuat kedua bola mata Adinda membulat sempurna.
Adinda terkejut, tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Ia memandang Haidan dengan mata lebar sementara lelaki itu mulai melayangkan pandangannya ke atas langit-langit rumah, seakan mencoba untuk mengingat sesuatu yang dalam
***
Haidan Siagaan adalah lelaki dengan kekuatan fisik dan mental yang kuat. Dua hal yang ia kembangkan sejak usia muda, saat masih harus berjuang keras demi membantu ayahnya menghidupi keluarga.
Hidupnya penuh kesulitan, namun ia selalu memandang segala sesuatu dengan kepala tegak. Ayahnya mengajarkan untuk tidak menyerah meski keadaan tidak berpihak. Itulah yang mengantarkannya menjadi tulang punggung keluarga saat ayahnya meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Beban hidup itu jatuh di bahunya, dan sejak saat itu, Haidan melakukan segala hal yang bisa membuat ia dan keluarganya untuk dapat bertahan hidup dan menanggung biaya hidup yang mencekik dalam dunia nan keras ini, terutama untuk para adik-adiknya yang masih muda, termasuk si bungsu, Alif Siagaan.
Haidan mencoba berbagai pekerjaan mulai dari petugas keamanan, penagih hutang, hingga bekerja dengan gangster yang bergerak di perusahaan besar. Tidak ada pekerjaan yang Haidan anggap terlalu kotor atau terlalu berat. Selama itu bisa mengisi perut keluarganya, selama adik-adiknya bisa tetap bersekolah dan hidup layak, Haidan akan mengambil risiko sebesar apa pun.
Sebagai anak pertama, ia merasa memiliki tanggung jawab penuh atas nasib keluarganya. Beban yang tak pernah ringan, namun ia hadapi dengan penuh keteguhan.
Alif Siagaan, adik bungsunya, adalah sosok anak yang Haidan banggakan. Dari semua adiknya, Alif adalah yang paling dekat dengan Haidan. Meskipun ada perbedaan usia yang cukup jauh, keduanya memiliki ikatan emosional yang dalam. Alif adalah anak yang pintar, kritis, dan selalu punya pendapat kuat tentang banyak hal, meski ia masih duduk di bangku SMA. Tidak seperti dirinya yang memang sejak awal tidak peduli akan pendidikan, Alif berbanding sebaliknya.
Pemuda itu bercita-cita besar, selalu membicarakan masa depan, kuliah, dan pekerjaan apa yang ingin ia kejar. Haidan sering kali melihat diri mendiang ayahnya dalam diri Alif, namun dengan versi yang lebih halus dan idealis. Jika ayahnya adalah sosok yang harus bertarung dengan kerasnya hidup sejak dini, Alif seperti berlian yang terus diasah untuk bersinar lebih terang. Dan itu membuat Haidan rasanya ingin bekerja semakin keras. Setiap pengorbanan yang Haidan lakukan terasa sepadan jika melihat senyum dan masa depan cerah yang Alif impikan.
Namun, kehidupan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Hari itu, Haidan sedang dalam perjalanan pulang dari pekerjaan terakhirnya sebagai penagih hutang. Kepulangan yang seharusnya menjadi momen biasa dalam rutinitas hidupnya, namun hari itu menjadi berbeda. Ya, benar-benar berbeda.
Ponselnya bergetar, panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Awalnya ia enggan mengangkat, mengira itu hanya panggilan iseng atau pekerjaan lagi. Namun, firasat buruk perlahan menyelinap di benaknya.
"Halo, ini Haidan Siagaan?" suara dari ujung telepon terdengar kaku dan formal.
Haidan menjawab singkat, "Iya, benar. Siapa ini?"
"Kami dari pihak kepolisian. Kami ingin memberitahukan dan mengkonfirmasi bahwa adik Anda, Alif Siagaan, ditemukan meninggal dunia."
Seutas kalimat itu seakan membekukan Haidan di tempat. Dunia terasa runtuh di sekelilingnya. Pikirannya berputar-putar mencari makna dari kalimat itu. Alif? Adik bungsunya yang penuh dengan cita-cita dan semangat hidup?
Meninggal dunia?
"Bagaimana... bagaimana bisa?" Haidan akhirnya bisa merangkai kalimat, suaranya terdengar berat.
"Adik Anda... ditemukan tergantung di jembatan kota. Tampaknya ini adalah kasus bunuh diri."
Kata-kata itu menghantam Haidan seperti palu yang memukul keras ke dalam hatinya. Alif, anak yang selalu ceria dan penuh impian, memilih mengakhiri hidupnya? Tubuhnya gemetar, matanya mendung dengan air mata yang mulai menggenang.
Tidak mungkin.
Ini pasti salah.