Terhimpit

litareea
Chapter #7

PALM GREEN RESIDENCE

Adinda menginjakkan kaki di depan gerbang Palm Green Residence, rumah besar yang dulu menjadi tempat kenangan sekaligus trauma yang tidak pernah bisa ia lupakan. Bangunan itu masih berdiri megah di antara pepohonan rindang, meskipun kini tampak usang dan ditelan waktu. Cat tembok dan pagarnya mulai memudar, serta jendela-jendela rumah besar itu yang tertutup rapat penuh debu.

Adinda menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk. Di sampingnya, Haidan, pengawal pribadinya, menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. Mereka berdua tahu ini bukan keputusan yang mudah, terutama bagi Adinda.

Palm Green Residence adalah tempat di mana delapan tahun yang lalu, sebuah tragedi kelam terjadi. Sepuluh nyawa melayang di dalam rumah ini. Ayahnya, beberapa pembantu dan satpam, saudari serta teman-temannya yang saat itu sedang menginap, semuanya tewas mengenaskan di kamar mandi sempit milik salah satu pembantu di lantai satu.

Adinda adalah satu-satunya yang selamat dari kejadian mengerikan itu. Ia tak pernah bisa melupakan bagaimana sesak dan gelapnya kamar mandi sempit itu, dengan tubuh-tubuh orang yang ia kasihi bertumpuk di sekitarnya, sekarat karena kekurangan oksigen. Itu adalah sumber dari segala mimpi buruk yang masih sering menghantuinya.

Namun hari ini, ia kembali ke rumah itu dengan satu tujuan. Demi mencari simbol misterius yang ditemukan di kamar Alif, adik Haidan, pemuda yang tewas bunuh diri dengan cara tragis di jembatan kota. Alif menggantung dirinya di jembatan kota beberapa waktu lalu, dan di kamar pemuda itu ditemukan sebuah simbol jalan menyempit yang aneh. Haidan percaya bahwa ada kaitan antara simbol itu dengan peristiwa yang terjadi di Palm Green Residence delapan tahun lalu.

Awalnya, Adinda enggan untuk kembali ke rumah tersebut. Namun dorongan untuk menemukan kebenaran tentang simbol itu lebih kuat daripada rasa takut yang menghantuinya. Atau lebih tepatnya, bujukan Haidan yang mempengaruhi dirinya. Dengan berat hati, ia setuju untuk kembali ke Palm Green Residence, meskipun dengan satu syarat, ia tidak akan pernah memasuki kamar pembantu di lantai satu, tempat di mana ia pernah disekap.

Mereka berdua melangkah melewati pintu masuk yang besar dan berat. Kunci rumah ini Adinda dapatkan setelah berusaha menggeledah lemari perlengkapan ibunya. Untungnya, wanita itu sedang berada di luar kota kalau tidak ia mungkin akan sedikit berdebat terlebih dahulu dengan ibunya sebelum akhirnya benar-benar berhasil kembali ke rumah ini.

Interior rumah itu masih sama seperti yang Adinda ingat terakhir kali, namun kini tampak lebih suram dan tertutup debu tebal. Semua furnitur masih ada di tempatnya, namun berlapis koran yang menandakan tak ada yang mengurusnya selama bertahun-tahun. Suasana rumah terasa sunyi, hanya ada suara langkah mereka yang menggema di ruangan yang luas.

Haidan memperhatikan ekspresi Adinda dengan seksama.

“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya pelan.

Adinda mengangguk pelan, meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Aku baik-baik saja. Aku hanya... ingin segera menyelesaikan ini.”

Mereka berdua melangkah lebih dalam ke rumah, menuju lantai atas tempat kamar lama Adinda berada. Itu adalah kamar yang dulu sering ia gunakan saat kecil. Di sanalah, menurut ingatannya, simbol misterius itu pertama kali terlihat, meskipun saat itu ia tidak menyadari betapa pentingnya simbol tersebut.

Kini, kamar itu telah berubah fungsi menjadi gudang setelah perceraian ayah dan ibunya. Adinda berhenti di depan pintu kamar, merasakan gelombang emosi mengalir dalam dirinya. Begitu banyak kenangan masa kecil yang datang membanjiri pikirannya.

Dengan tangan gemetar, Adinda membuka pintu kamar itu.

Ruangan di balik pintu tampak gelap dan berantakan, dipenuhi barang-barang yang tidak lagi digunakan. Namun meskipun tertutup debu, Adinda segera melihat apa yang ia cari. Di dinding kamar itu, tersebar simbol-simbol tanda peringatan jalan menyempit, persis seperti yang ada di kamar Alif. Simbol-simbol itu tampak acak namun teratur terpampang mengelilingi ruangan, seolah-olah ada makna tersembunyi di baliknya.

“Ini dia,” bisik Adinda, menunjuk ke arah dinding. Haidan mendekat, matanya terpaku pada simbol-simbol tersebut.

“Simbol yang sama,” gumam Haidan.

“Sama seperti di kamar Alif, simbol tanda jalan menyempit.”

Mereka berdua berdiri di sana, mengamati simbol-simbol aneh itu dengan penuh perhatian. Adinda merasa bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang sangat tidak wajar tentang simbol-simbol tersebut.

Padahal itu hanyalah simbol peringatan tanda jalan biasa. Namun entah mengapa saat melihat simbol-simbol itu kembali kali ini, sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman perlahan menelisik tanpa diminta. Perlahan-lahan, potongan-potongan ingatan dari masa lalu mulai muncul di benaknya.

Ia teringat bagaimana simbol itu dulu selalu berada di sana, namun ia tidak pernah memperhatikannya. Apakah simbol ini terkait dengan kejadian mengerikan yang menewaskan ayah dan keluarganya? Ataukah ada hubungannya dengan kematian Alif?

“Saat masih kecil dulu, aku merasa kalau itu hanya simbol biasa. Seperti sebuah pajangan dalam kamar yang normal. Apa menurutmu ada hubungannya?” tanya Adinda dengan suara pelan.

Haidan mengangguk perlahan.

“Aku tidak tahu pasti, tapi ini terlalu kebetulan. Simbol ini muncul di dua tempat yang terhubung dengan tragedi. Aku merasa kita harus mencari tahu apa makna sebenarnya dari simbol ini.”

Adinda mengalihkan pandangannya dari dinding dan menghela napas berat.

“Aku tidak tahu apakah aku siap untuk mengetahui jawabannya, otakku tidak cukup pintar untuk mengerti kalaupun benar ada misteri yang terjadi,” katanya jujur.

“Terlalu banyak kenangan buruk di sini," lanjut gadis itu kembali sambil mengatur nafasnya pelan.

Haidan menatapnya dengan lembut.

“Kita bisa berhenti kapan saja. Tidak ada yang memaksamu untuk melanjutkan. Berani sampai kemari saja, kau sudah sangat hebat.”

Namun Adinda menggeleng.

“Tidak, ini sudah terlalu jauh. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi delapan tahun lalu. Dan aku yakin, simbol ini adalah kuncinya.”

Mereka memutuskan untuk memeriksa lebih jauh, mencari petunjuk lain yang mungkin tersembunyi di ruangan itu. Mata Haidan menyisir sudut-sudut ruangan dengan teliti, sementara Adinda mencoba mengingat-ingat hal-hal kecil dari masa lalunya yang mungkin bisa membantu.

Setelah beberapa saat, Adinda merasa seperti ada yang aneh dengan salah satu lemari kayu di sudut ruangan. Meskipun terlihat biasa saja, lemari itu tampak seperti belum tersentuh selama bertahun-tahun. Namun ada sesuatu yang memanggilnya untuk mendekat.

Dengan hati-hati, Adinda membuka pintu lemari itu. Di dalamnya, tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama, ada sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang kusam. Tangan Adinda gemetar saat ia mengangkat buku itu dan membukanya.

Di dalamnya, terdapat sekumpulan catatan-catatan dengan tulisan indah miring yang terlihat khas, namun ada sesuatu yang aneh. Di setiap halaman, di pojok kanan bawah, tertera simbol jalan menyempit yang sama seperti di dinding. Seolah-olah seseorang telah menandai setiap catatannya tanpa sepengetahuannya.

“Apa ini?” tanya Adinda bingung, menunjukkan buku itu kepada Haidan.

Haidan menatap buku itu dengan alis berkerut.

“Sepertinya ini milik seseorang yang berada di rumah ini. Tapi siapa?”

Adinda merasakan bulu kuduknya merinding. Pertanyaan itu mengapung di udara, meninggalkan mereka dengan lebih banyak teka-teki daripada jawaban.

***

Adinda dan Haidan memutuskan untuk menyimpan dan membawa buku catatan tua itu setelah meninggalkan ruangan. Mereka berdua turun menelusuri tangga rumah dalam diam, seakan sedang berjibaku dengan pikiran masing-masing. Pencarian bukti di Palm Green Residence ini masih meninggalkan segudang tanda tanya besar dalam benak mereka berdua.

Sampai di lantai satu, langkah Adinda yang awalnya gontai perlahan terhenti begitu saja. Gadis itu tanpa sadar memalingkan wajahnya ke arah sudut ruangan, tempat dimana kamar pembantu lamanya dulu berada. Kilasan ingatan masa lalu yang mencekam itu mau tidak mau langsung muncul saja dalam pikiran Adinda tanpa diminta.

Kilasan ingatan itu datang begitu tiba-tiba, menyelinap di antara kesadaran Adinda seperti mimpi buruk yang tak diundang. Dia tiba-tiba saja melangkah pelan dan terdiam di depan pintu kamar pembantu yang sempit, hawa lembab ruangan tua itu terasa menusuk kulitnya, membawa kembali aroma besi dan keringat dan juga darah.

Matanya terpaku pada lantai keramik yang retak, seakan dari sana memancar bayang-bayang masa lalunya yang kelam, masa yang terus menghantuinya hingga hari ini. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Lalu, semuanya berputar, ingatan itu menariknya kembali ke hari yang mengerikan itu.

Hari paling mengerikan dalam sejarah hidupnya.

Suara-suara langkah berat dan hentakan pintu terdengar menggema di benaknya. Hari itu, Adinda dan keluarganya sedang berkumpul di rumah lama mereka di Palm Green Residence, menikmati waktu liburan musim panas bersama dalam ketenangan yang sekarang terasa sangat jauh dari jangkauan.

Palm Green Residence adalah rumah lama milik ayahnya, tempat dimana mereka sering mengadakan pertemuan dan liburan, ditambah beberapa teman dekat Adinda yang ikut menginap di sana pada waktu itu. Hari itu sebenarnya terasa begitu damai, hingga ketenangan itu dihancurkan oleh derap langkah sekumpulan orang asing yang masuk ke dalam rumah, membawa kekacauan dan rasa takut yang tak bisa dihindari.

Pada saat itu, Adinda seperti tidak bisa membedakan mana kenyataan dan halusinasi. Semuanya terjadi dengan begitu cepat, menyisakan luka besar dalam ingatannya yang sepertinya amat sulit untuk dapat diobati.

Adinda ingat bagaimana dia dipaksa berdiri, lengan tangannya digenggam kasar oleh seseorang yang tak dikenalnya, sosok tinggi berjaket hitam dengan wajah tertutup topeng. Setelah sempat dipukuli beberapa kali, ia bukan orang pertama yang diseret ke lantai satu, ke kamar pembantu yang sempit itu.

Lihat selengkapnya