Terhimpit

litareea
Chapter #8

WANITA-WANITA DALAM LINGKARAN HIDUP DANIEL SOEHARSO

Kenangan itu selalu membayanginya, seolah terus berputar seperti rekaman lama yang tak pernah selesai. Adinda berdiri di depan jendela besar Palm Green Residence, memandang ke halaman yang dulunya dipenuhi tawa mereka bertiga. Ya, setelah kemarin berhasil mengunjungi rumah itu lagi setelah sekian lama, entah bagaimana Adinda menguatkan hati dan batinnya untuk kembali melihat rumah itu sepulang dirinya berkuliah.

Tentu saja ia meminta kepada sang pengawal pribadi, Haidan, untuk membawanya kemari. Haidan tidak masalah, asal itu memang permintaan hati Adinda sejak awal tanpa paksaan atau bujukan apapun dari dirinya. Sudah cukup ia melihat bagaimana rapuh dan tak kuasanya Adinda kemarin. Namun, pada hari itu berbeda dari kunjungan mereka sebelumnya. Adinda datang kembali ke rumah itu dengan membawa segudang rindu yang sudah lama ia pendam dengan sekuat tenaga.

Rindu akan rumah itu.

Rindu akan mendiang ayahnya.

Rindu akan dua saudarinya.

Indira, Nalena, dan dirinya. Dua kakaknya, meskipun berbeda ibu, tak pernah membuatnya merasa terasing. Mereka adalah saudari-saudarinya, lebih dari sekadar hubungan darah. Palm Green adalah saksi dari begitu banyak kenangan indah yang mereka ciptakan bersama, sekaligus saksi bisu dari tragedi yang merenggut segalanya.

Ayahnya, Daniel Soeharso, seorang pengusaha yang begitu disegani, adalah pusat dari kehidupan mereka bertiga. Namun, di balik sosok sukses itu, kehidupan pribadinya tak pernah sederhana. Hubungannya dengan Bunda Laksmi, istri pertamanya sekaligus ibu dari Indira dan Nalena, berakhir dengan perceraian yang pahit. Semua orang tahu apa penyebabnya. Sahwa Yulia, sekretaris pribadi yang menjadi istri kedua Daniel sekaligus ibu dari Adinda. Meskipun pernikahan baru itu kerap menjadi bahan pembicaraan di lingkungan sosial mereka, Daniel tak pernah membiarkan perpecahan terjadi di antara anak-anaknya. Ia memastikan bahwa Indira, Nalena, dan Adinda tetap tumbuh dengan kasih sayang yang sama, bahkan ketika keluarga mereka sudah terbagi menjadi dua.

Indira, si sulung yang penuh wibawa dan sering kali menjadi penengah, selalu berusaha menjaga agar hubungan mereka tetap harmonis. Nalena, lebih ceria dan spontan, kerap menjadi penghibur di antara mereka bertiga. Dan Adinda, meskipun masih muda saat pernikahan kedua Daniel terjadi, merasa beruntung karena tidak pernah diperlakukan berbeda oleh kedua kakaknya. Mereka bertiga adalah saudari yang erat, meskipun sering kali dunia luar memandang mereka dengan skeptis.

Ada jarak usia dan kenyataan bahwa mereka lahir dari rahim yang berbeda, tetapi bagi mereka bertiga, itu semua tak pernah menjadi masalah. Setiap liburan, mereka akan berkumpul di Palm Green Residence, menghabiskan waktu bersama ayah mereka yang pada dasarnya memang adalah sosok ayah yang penyayang untuk semua putrinya.

Palm Green Residence adalah tempat di mana waktu seolah berhenti. Di sana, mereka akan berbagi cerita, bermain di kolam renang, atau hanya duduk di teras menikmati matahari senja. Bagi Adinda, setiap sudut rumah itu penuh dengan kenangan yang hangat. Ia masih bisa membayangkan suara tawa Indira yang lembut dan tawa riang Nalena yang tak pernah gagal membuatnya tersenyum. Ia ingat bagaimana ayahnya akan duduk di ruang keluarga dengan koran di tangan, tersenyum melihat ketiga anaknya bermain. Saat-saat seperti itu membuatnya merasa bahwa segala perbedaan yang pernah ada di antara mereka telah larut dalam kebahagiaan yang mereka ciptakan bersama.

Namun, kenangan itu juga membawa Adinda kembali ke hari itu, hari ketika semuanya berubah menjadi kelabu. Hari yang dingin dan sunyi, yang kemudian dipenuhi dengan kekacauan dan ketakutan.

Rumah itu, yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan mereka, berubah menjadi tempat yang mencekam. Perampok datang dengan brutal, menyekap mereka di berbagai sudut rumah. Adinda masih bisa merasakan rasa takut yang menggigit saat ia mendengar suara dua kakaknya yang seperti diikat di ruangan terpisah, sementara ayah mereka dibawa ke ruangan lain oleh para penjahat. Ia tak tahu apa yang terjadi setelah itu, hanya ingatan samar tentang teriakan dan suara langkah kaki yang tergesa-gesa.

Semuanya... terjadi dengan begitu cepat.

Adinda teringat bagaimana ia sendiri dibawa ke kamar pembantu di lantai satu, di mana ia dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah kamar mandi sempit yang terasa begitu sesak. Ia bisa mendengar suara Nalena dan Indira yang berusaha melawan, berteriak meminta tolong. Ia juga ingat suara ayahnya yang berusaha menenangkan situasi, meskipun dengan nada putus asa.

Tetapi semua itu sia-sia.

Ketika hari mungkin telah berganti, Adinda menemukan dirinya dalam kegelapan, kehabisan tenaga untuk berteriak atau bergerak. Hampir dua hari yang terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir. Hampir hari yang merenggut nyawa dua kakak tersayangnya, serta ayahnya yang selalu berusaha menjaga mereka.

Kini, bertahun-tahun kemudian, Adinda berdiri di tempat yang sama, tetapi tanpa tawa dan canda yang pernah mengisi rumah itu. Hanya ada keheningan yang menyakitkan, seolah rumah itu pun berduka bersama dirinya. Ia merasakan dinginnya angin yang menerpa di bawah kakinya, dingin yang mengingatkannya pada kegelapan pada hari itu.

Ayahnya, Indira dan Nalena meninggal di kamar mandi pembantu yang tak terlalu besar, tempat mereka terhimpit tanpa ruang untuk bergerak, tanpa udara untuk bernafas. Kenangan itu begitu jelas di kepalanya, seolah baru terjadi kemarin meskipun kenyataannya delapan tahun telah berlalu.

Meskipun Adinda berhasil selamat, ia tahu bahwa ia tak pernah benar-benar lepas dari hari itu. Setiap kali ia menutup mata, bayangan kakaknya selalu muncul, dengan senyum mereka yang dulu, dengan tawa mereka yang riang. Ia merindukan mereka, lebih dari kata-kata yang bisa ia ucapkan.

"Adinda, kau harus berani. Saat orang-orang mengolok-olok pakaianmu yang lebih bagus, itu tanda kalau mereka sedang iri. Jangan pedulikan mereka. Tetap pakai gaunmu yang cantik itu dan tunjukkan pada mereka kalau kau adalah bagian dari kami, Soeharso bersaudari. Soeharso bersaudari, tidak pernah takut akan apapun dalam hidup ini."

Indira yang selalu bijak, Nalena yang ceria, dan ayahnya yang selalu ada di tengah-tengah mereka. Mereka adalah bagian dari hidupnya, bagian dari dirinya. Tetapi takdir telah mengambil mereka, meninggalkannya dengan kenangan yang tak bisa ia lupakan.

Palm Green Residence kini menjadi monumen bisu dari segala yang pernah mereka miliki. Setiap sudut rumah itu mengingatkan Adinda akan apa yang telah hilang. Namun, ia tahu bahwa kenangan itu juga adalah kekuatan yang membawanya bertahan hingga hari ini.

Ia adalah satu-satunya yang tersisa dari mereka bertiga, dan dengan setiap langkah yang ia ambil, ia membawa bagian dari Indira dan Nalena bersamanya. Meski mereka tak lagi ada di dunia ini, dalam hatinya... mereka akan selalu hidup.

"Ayah, Indira dan Nalena. Kalau benar ada misteri yang besar terselubung dari alasan kematian mereka... aku tidak akan pernah tinggal diam," gumam gadis itu secara tiba-tiba setelah cukup lama terdiam dan seperti sedang mengkhayalkan sesuatu membuat Haidan agak cukup tersentak dibuatnya.

"Ayo antar aku ke rumah Bunda Laksmi," lanjut gadis itu kembali setelah memutar tubuhnya dan memberikan instruksi kepada sang pengawal pribadi bahwa sudah cukup baginya untuk melepas rindu dengan rumah ini. Ucapan itu tentu saja semakin membuat Haidan terkejut setengah mati.

"Serius? Kau masih tidak ingin berhenti?" Haidan bertanya dengan nada memastikan membuat langkah gadis itu perlahan terhenti bersamaan dengan angin yang datang berhembus entah darimana.

"Aku... tidak akan pernah membiarkan keluargaku meninggal dalam keadaan sia-sia," jawab gadis itu dengan penuh nada penekanan yang membuat hati Haidan bukan hanya tersentak namun juga berdesir pada saat yang bersamaan.

Wajah jutek dan ekspresi serius milik Adinda Soeharso itu lumayan candu bagi dirinya.

***

Adinda berdiri kaku di depan gerbang rumah megah milik Bunda Laksmi, didampingi Haidan, pengawal pribadinya yang setia. Mereka berdua sudah jauh-jauh datang ke tempat ini, tetapi kedatangan mereka tidak disambut dengan hangat.

Kedua mata Adinda menyapu halaman besar yang tertata rapi, penuh dengan pohon-pohon hijau dan bunga-bunga yang pernah ia lihat dalam kenangan masa kecilnya. Rumah itu tetap sama seperti dulu, megah, tenang, namun kali ini terasa dingin dan asing. Ada rasa berat di dada Adinda, meski ia telah mempersiapkan dirinya, namun pertemuan ini tetap menakutkannya.

Bunda Laksmi, istri pertama ayahnya, Daniel Soeharso, telah lama menolak untuk bertemu dengannya.

Delapan tahun sudah berlalu sejak tragedi di Palm Green Residence yang mengubah segalanya. Kejadian penyekapan yang merenggut nyawa dua saudari tirinya, Indira dan Nalena, masih membayang-bayangi kehidupannya. Adinda adalah satu-satunya korban selamat dari kejadian itu, dan Bunda Laksmi seakan tidak pernah bisa memaafkannya. Bukan karena Adinda secara langsung bersalah, tetapi karena kenyataan bahwa ia selamat, sementara kedua putri Bunda Laksmi tidak.

Ketika pintu rumah terbuka, sosok tinggi dan anggun Bunda Laksmi muncul di ambang pintu. Wajahnya dingin, tanpa sedikit pun senyum yang terpancar. Adinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Di sebelahnya, Haidan tampak waspada, meski tak menunjukkan ekspresi apapun.

“Kenapa kau datang ke sini?” suara Bunda Laksmi terdengar pelan namun tajam. Matanya menatap Adinda dengan tatapan penuh kebencian yang membuat Adinda hampir mundur.

“Saya… saya hanya ingin bertemu, Bunda,” kata Adinda dengan suara gemetar. Ia menundukkan kepala, tak sanggup menatap langsung ke mata wanita itu.

Bunda Laksmi mendekat dengan langkah tegas, tangannya yang kurus namun kuat melayang cepat dan menampar wajah Adinda.

'PLAK!!!'

Suara tamparan itu menggema di antara mereka bertiga, yang membuat Adinda langsung terhuyung ke belakang. Tangannya secara refleks memegang pipinya yang mulai memerah sementara Haidan langsung dengan sigap menahan tubuh Adinda dengan wajah terkejut bukan main. Nonanya baru saja ditampar oleh wanita paruh baya ini.

“Kau punya keberanian untuk memanggilku Bunda?” tanya Bunda Laksmi dengan nada sinis.

“Dari semua orang, kau yang selamat. Kau, anak dari wanita itu! Sementara Indira dan Nalena… mereka mati. Mereka… mereka…” suaranya terputus oleh tangis yang tertahan. Mata wanita itu berkilat penuh dendam.

Adinda menelan ludah, air matanya menggenang namun ia berusaha keras menahannya. Ia tahu ini akan sulit, tetapi tidak pernah membayangkan akan sesakit ini.

“Bunda, aku… aku tidak bermaksud untuk melukai perasaanmu. Aku hanya ingin...”

“Kau tidak seharusnya datang ke sini!” bentak Bunda Laksmi.

“Kehadiranmu hanya mengingatkanku pada semua penderitaan itu. Kau pikir aku bisa menerima kehadiranmu dengan senang hati? Kau pikir aku lupa bagaimana dua putriku pergi, dan kau tetap hidup?”

Bunda Laksmi membalikkan tubuhnya, lalu berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah cepat. Adinda hanya bisa berdiri terpaku, merasakan perih di pipi dan hatinya. Haidan, yang sejak tadi diam, akhirnya bergerak mendekati Adinda, menatapnya dengan mata penuh simpati.

“Mungkin kita harus pergi sekarang,” katanya pelan.

Adinda menggeleng, meskipun seluruh tubuhnya ingin menyerah dan melarikan diri dari tempat itu.

“Tidak, Haidan. Aku harus melakukan ini. Aku harus bicara dengannya, meskipun itu sangat menyakitkan.”

Haidan menatapnya ragu, namun akhirnya mengangguk.

“Baiklah, aku akan menunggu di sini. Tapi jika kau butuh apa-apa, panggil aku.”

Adinda melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada masa lalu, ketika ia masih kecil dan sering bermain bersama Indira dan Nalena. Mereka adalah saudari tirinya, tetapi hubungan mereka sangat baik. Indira adalah kakak yang penyayang, selalu merawatnya seperti adik kandung. Nalena, meski terkadang jauh pecicilan, selalu melindungi Adinda dari masalah. Semua kenangan itu terasa jauh dan hancur, seperti pecahan kaca yang tidak bisa direkatkan kembali.

Di ruang tamu yang luas, Bunda Laksmi duduk di sofa, tangannya meremas-remas sebuah sapu tangan. Mata wanita itu kosong, seperti sedang menatap jauh ke masa lalu yang kelam. Adinda duduk di seberang, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

“Kami… dulu sangat dekat,” kata Adinda akhirnya, suaranya bergetar.

“Aku ingat Indira dan Nalena selalu menjagaku. Mereka… mereka baik padaku, Bunda. Dan aku tidak pernah ingin mereka pergi.”

“Jangan sebut nama mereka,” potong Bunda Laksmi tajam.

“Kau tidak berhak menyebut nama mereka.”

Adinda merasakan kepedihan yang lebih dalam mendengar kata-kata itu, tetapi ia tidak bisa berhenti sekarang. Ia harus mencoba.

“Bunda, aku tahu kehadiranku hanya membuatmu marah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku pun merasakan kehilangan yang besar. Aku kehilangan dua orang yang sangat aku cintai. Aku kehilangan keluarga yang dulu aku pikir akan selalu ada untukku.”

“Jangan bicara soal kehilangan padaku, Adinda!” teriak Bunda Laksmi, suaranya gemetar.

“Kau tidak tahu apa-apa tentang kehilangan. Kau masih hidup! Sementara mereka, Indira dan Nalena, pergi meninggalkanku. Setiap hari, setiap malam, aku memikirkan mereka. Mengapa bukan kau yang mati di sana? Mengapa bukan kau? Anak dari wanita yang berwajah tebal itu? Kenapa?”

Kata-kata dan segudang pertanyaan yang tajamnya bukan main itu menusuk hati Adinda seperti pisau tajam. Ia tahu bahwa Bunda Laksmi sangat terluka, tetapi mendengar wanita itu berkata bahwa ia seharusnya mati di sana membuatnya sulit bernapas. Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya mengalir. Ia tidak bisa menahan lagi rasa sakit yang selama ini ia simpan dalam diam.

“Bunda…” Adinda berusaha berbicara di tengah isakannya.

“Aku tidak bisa mengubah apa yang terjadi. Aku juga tidak bisa menghilangkan rasa sakitmu. Tapi aku ingin kita bisa saling memaafkan. Aku ingin kau tahu bahwa aku mencintai mereka, dan aku tidak pernah ingin ini terjadi. Aku ingin menjadi bagian dari keluargamu lagi, seperti dulu.”

Lihat selengkapnya