Terhimpit

litareea
Chapter #9

SANG ISTRI PERTAMA

Stefani Kenanga duduk di ruang tamu besar yang sepi, hanya ditemani suara jam antik yang berdetak pelan namun pasti. Kediaman rumah pribadinya yang dulu selalu ramai kini sunyi, sama seperti dirinya yang sudah lama kehilangan semangat untuk hidup.

Rambut hitam kecokelatannya yang dulu selalu terurai sempurna kini hampir selalu ia biarkan terikat sembarangan di belakang kepala. Pikirannya melayang, mengingat tragedi delapan tahun lalu, ketika suaminya, Daniel Soeharso, meninggal dalam tragedi penyekapan di Palm Green Residence. Sebuah tragedi yang tak hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga merampas dirinya yang dulu.

Pintu rumah besar itu tiba-tiba diketuk, membuyarkan lamunan Stefani. Dia jarang menerima tamu, bahkan pelayan yang tinggal bersamanya sudah terbiasa dengan kesendiriannya.

Siapa yang datang di hari seperti ini?

Ragu-ragu, wanita itu bangkit dan berjalan menuju pintu meskipun dengan raut wajah tidak bersemangat yang terkesan ogah-ogahan.

Ketika pintu dibuka, di depannya berdiri seorang gadis muda dengan seorang pria bertubuh tinggi kurus di sampingnya. Wajah gadis itu tampak tak asing bagi Stefani, matanya mencerminkan sesuatu yang tak bisa ia lupakan. Dan saat otaknya menyadari siapa gadis tersebut, Stefani tersentak dalam sebuah keterkejutan yang amat sangat.

"Adinda?" Stefani bertanya, suaranya terdengar sedikit bergetar.

Gadis muda itu mengangguk pelan.

"Stefani," jawabnya dengan nada halus.

"Lama tidak bertemu. Aku... datang kemari untuk membicarakan sesuatu yang penting."

Stefani menatap pria yang berdiri di samping Adinda. Pria itu berbadan tegap, dengan pandangan tajam yang mencerminkan kewaspadaan.

"Dia siapa?" tanya Stefani sambil menatap pria itu dengan tatapan lusuhnya.

"Ini Haidan, pengawal pribadiku," jawab Adinda cepat, seolah tahu bahwa Stefani akan bertanya lebih jauh.

"Dia bersamaku untuk memastikan keamanan."

Suatu hal yang wajar. Stefani nampaknya langsung paham mengapa gadis ini memiliki pengawal pribadi yang datang bersama dirinya. Tipikal sesuatu yang memang akan dilakukan keluarga Soeharso.

Stefani menarik napas panjang, menatap Adinda dengan tatapan yang sulit untuk dapat diartikan. Adinda, gadis kecil yang dulu hanya ia temui sesekali dalam setiap kesempatan, sekarang sudah beranjak dewasa. Waktu berlalu begitu cepat. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Adinda, apalagi dalam situasi seperti ini. Dalam keadaan dirinya yang seperti ini.

"Ayo masuk," ujar Stefani akhirnya, mengundang mereka masuk ke dalam ruang tamu.

Setelah duduk, keheningan melingkupi ruangan itu untuk beberapa saat. Stefani menatap Adinda yang tampak ragu, sementara Haidan berdiri tegak di belakangnya, seolah siap melindungi Adinda dari apa pun.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Adinda?" tanya Stefani akhirnya, memecah keheningan.

Adinda langsung merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan tua. Dia meletakkannya di meja, di antara mereka. Stefani menatap buku itu dengan alis terangkat, tak mengerti akan maksudnya.

"Kami menemukan ini di Palm Green Residence," kata Adinda, suaranya terdengar lebih serius sekarang. Mendengar itu, Stefani agak sedikit tercengang. Gadis ini memiliki nyali untuk kembali menginjakkan kaki ke Palm Green Residence? Setelah apa yang pernah ia lalui di sana?

"Aku dan Haidan... menemukan banyak hal yang aneh dalam buku ini," lanjut Adinda lagi dengan suaranya yang semakin terdengar mantap.

Stefani terdiam.

Nama Palm Green Residence selalu membuatnya merasa tercekik, mengingatkannya pada hari mengerikan itu, hari ketika ia kehilangan Daniel, suaminya.

"Kami tidak hanya menemukan buku ini," lanjut Adinda, membalik beberapa halaman dengan jari telunjuknya yang ramping.

"Di dalamnya terdapat simbol-simbol aneh... salah satunya ini."

Ia menghentikan jarinya di satu halaman. Stefani mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat. Simbol yang ada di halaman itu adalah gambar jalan menyempit, mirip dengan rambu lalu lintas.

"Saat kami menemukannya, aku merasa ada sesuatu yang familiar," kata Adinda, tatapannya berubah menjadi lebih intens.

"Kemudian aku mengecek akun social media milikmu dan... aku menemukan tanda simbol yang sama ada pada dirimu."

Stefani tetap diam, namun jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu apa yang akan dikatakan Adinda, tetapi mencoba menahan emosi yang mulai mengaduk di dalam dirinya.

"Simbol ini," Adinda melanjutkan dengan perlahan, "sama seperti tato di pergelangan tanganmu."

Stefani menatap pergelangan tangan kirinya, lalu kembali menatap Adinda. Dengan gerakan pelan, ia menarik lengan bajunya, memperlihatkan tato di pergelangan tangannya. Tato kecil yang hampir tidak terlihat, sebuah simbol yang persis sama dengan yang ada di halaman buku itu.

"Ya," gumam Stefani.

"Aku punya tato ini," jawabnya dengan nada yang terdengar santai di balik wajah lesunya.

"Kenapa?" tanya Adinda dengan nada bingung.

"Apa artinya? Kenapa kau membuat tato itu? Kenapa kau memiliki tanda simbol yang misterius itu pada tubuhmu?" Adinda langsung mencecar wanita itu dengan berbagai pertanyaan.

Stefani menarik napas panjang, matanya terpejam sejenak sebelum akhirnya menatap Adinda, masih dengan pandangan lesu dan wajah kuyunya.

"Tato ini," kata Stefani perlahan.

"Aku membuatnya karena jatuh cinta pada ayahmu," lanjut wanita itu sambil mengelus tato bergambar simbol tanda jalan menyempit di pergelangan tangannya itu dengan pelan.

Adinda terdiam, tatapannya terlihat semakin bingung.

"Apa maksudmu? Apa hubungan simbol ini dengan ayah?"

Stefani menatap jauh ke arah jendela, seolah sedang berusaha menemukan kata-kata yang tepat.

"Kau mungkin akan sulit untuk mengerti," jawab wanita itu lagi dengan suaranya yang semakin terdengar pelan hampir mirip seperti sebuah gumaman.

Adinda tampak semakin tak sabar.

"Apa maksudmu? Apa yang kau coba sembunyikan?"

Stefani menundukkan kepalanya, mengusap keningnya dengan tangan gemetar.

"Aku tidak mencoba menyembunyikan apa-apa, hanya saja... ada beberapa hal yang tidak ingin aku ungkit kembali."

"Hal apa?" desak Adinda seakan omongan Stefani tadi tidak menyurutkan niatnya untuk terus bertanya.

"Aku berhak tahu. Ini tentang ayahku, keluargaku dan aku harus tahu!"

Stefani mendesah, lalu menatap Haidan yang sejak tadi diam namun penuh perhatian.

"Apa kau bisa beranjak sedikit?" tanya Stefani, suaranya sedikit tajam seakan hanya ingin membicarakan hal ini dengan Adinda berdua saja.

Namun Haidan dengan cepat menggeleng.

"Tugasku adalah melindungi Adinda. Apa pun yang terjadi," balas lelaki itu dengan suara yang tidak kalah tajamnya.

Stefani menghela nafasnya kembali.

Dua anak yang keras kepala datang bertamu ke rumahnya. Mau apa lagi. Wanita muda itu pada akhirnya menghela nafasnya perlahan dengan pasrah.

Stefani menatap Haidan beberapa detik, lalu kembali menatap Adinda.

"Simbol ini," katanya sambil menunjuk tato di pergelangan tangannya, "adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang berkaitan dengan rahasia keluarga Soeharso."

Adinda terdiam, lalu perlahan menunduk menatap simbol itu dengan tatapan serius.

"Apa ada yang ayah sembunyikan dariku?" bisiknya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Stefani terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Kematian ayahmu bukan kesengajaan belaka, Adinda. Ada alasan kenapa Palm Green Residence menjadi tempat terkutuk. Simbol ini... adalah petunjuk, tapi bukan petunjuk yang bisa kau pecahkan dengan mudah."

"Apa maksudmu?" tanya Adinda, suaranya kini bergetar. Adinda terlihat kebingungan bercampur perasaan takut. Takut akan kenyataan yang mungkin akan datang bersamaan dengan penjelasan dari istri ketiga ayahnya ini.

Stefani menatap dalam-dalam ke mata Adinda.

"Kau harus siap menerima kebenaran, apa pun itu. Mungkin kau tidak akan suka dengan apa yang kau temukan."

Keheningan kembali mengisi ruangan itu. Haidan berdiri kaku di belakang Adinda, sementara gadis itu tampak tenggelam dalam pikirannya.

Stefani bangkit dari duduknya dan berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan pandangan yang kosong. Dia tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari pengungkapan rahasia yang sudah lama terkubur. Rahasia yang mungkin akan menghancurkan segalanya.

"Adinda," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan, "kadang kebenaran lebih menyakitkan daripada kebohongan."

Adinda hanya bisa menatap punggung Stefani, tanpa kata. Dunia yang dulu dikenalnya, mungkin, akan segera berubah selamanya bersamaan dengan cerita yang akan Stefani ceritakan kepada mereka berdua.

***

Sembilan tahun yang lalu.

Stefani Kenanga menatap keluar jendela mobil yang bergerak lambat di tengah keramaian jalan malam kota. Langit yang gelap dihiasi lampu-lampu kota yang berkedip, seolah-olah mereka tahu rahasia yang ia simpan dalam hati.

Daniel Soeharso duduk di sampingnya, tangannya menggenggam kemudi dengan ketenangan seorang pria yang telah menghadapi segala macam badai kehidupan. Usianya terpaut lebih dari dua dekade darinya, namun setiap kali Stefani melihat wajah pria matang itu yang tenang dan penuh pengalaman. Ada sesuatu yang membuncah di dalam hatinya, campuran antara kekaguman dan rasa yang ia tak berani sebut cinta.

Malam itu, adalah pertemuan mereka yang tak terduga di sebuah acara perayaan ulang tahun salah satu brand fashion ternama. Stefani hadir sebagai model lepas, seorang gadis muda yang sedang merintis kariernya, sedangkan Daniel Soeharso hadir sebagai tamu kehormatan, pengusaha sukses yang dikenal banyak orang. Namun bagi Stefani, pertemuan mereka lebih dari sekadar kebetulan. Itu adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Lihat selengkapnya