"Langit biru, angin yang kencang. Sebuah udara baru untuk kehidupan baru yang memang sudah lama aku dambakan. Aku melihat beberapa orang keluar masuk rumah kami, sepertinya mereka adalah petugas pembawa barang. Aku senang, peralatan dan interior rumah persis seperti apa yang aku harapkan. Aku ingin membuatkan beberapa gelas teh untuk para pekerja yang sudah berusaha keras, tapi mereka akan tidak senang jika melihatku. Gosip tentang diriku sudah beredar di beberapa perumahan sebagai wanita yang tidak baik, aku mengerti dan tidak merasa keberatan. Toh, mereka semua hanya sekumpulan orang-orang berpikiran dangkal."
"Terkadang aku merasa seperti penjara, ah bukan, rumah ini terlalu sempit. Dari luar kelihatan luas dan megah, namun tetap saja terasa sempit untuk diriku yang tidak bisa melakukan apa-apa.Ya, rumah ini membuatku sesak. Semua yang kulihat hanyalah bayangan dari apa yang pernah ada. Mereka berbicara padaku, tapi aku tak bisa menjawab. Aku mencoba berbicara pada mereka, namun mereka semua pura-pura tidak mendengarkan. Situasi macam apa ini? Aku tahu terlalu banyak, tapi tak seorang pun yang mau mendengar."
"Kalau bukan karena aku yang berbaik hati, kalian semua sudah pasti menjadi tumbal persembahan dan meninggal dalam keadaan kehabisan nafas sampai benar-benar mati. Lihat saja sampai dimana batas kesabaranku ini. Jika aku sudah tidak tahan lagi, aku akan pulang dan mengadukan semuanya. Saat itu terjadi, percayalah padaku, bahkan orang-orang hebat seperti kalian tidak akan bisa melakukan apa-apa."
Adinda kembali membaca buku catatan tua itu dan mengulang-ulang setiap untaian kata dan kalimat yang tertulis di setiap halamannya, mencoba meresapi curahan hati yang sang penulis coba curahkan di sana.
Setelah mendengarkan cerita Stefani, sekarang segala catatan tua ini terasa begitu masuk akal.
Pernah ada seorang wanita yang kesepian dan memendam perasaan amarahnya di ruangan kamar lantai atas Palm Green Residence, rumah lama milik ayahnya.
Tumbal.
Persembahan.
Kehabisan nafas.
Mati.
Adinda menandai setiap penggalan kata-kata yang berada di buku tersebut dalam diamnya. Kata-kata yang mungkin adalah petunjuk dari apa yang dirinya cari selama ini.
"Nona," sebuah suara serak tiba-tiba saja terdengar membuat Adinda refleks berbalik menolehkan kepalanya dengan cepat. Ada sosok Haidan yang berdiri di sisi pintu kamarnya, memandang gadis dengan gaun piyama berwarna biru muda itu dengan sorot matanya yang terlihat hangat.
Malam itu langit di luar jendela kamar Adinda terlihat gelap pekat, seolah menyembunyikan rahasia yang belum terungkap. Haidan berdiri di sisi pintu, sebenarnya sejak tadi kedua matanya tak lepas menatap Adinda yang tengah duduk di meja kerja pada ruangan kamar, memperhatikan ekspresi mengernyit Adinda saat menatap buku catatan tua di hadapannya.
Adinda, gadis itu ternyata masih menganalisa buku catatan tua itu hingga selarut ini.
Ruangan itu diterangi cahaya lampu yang lembut, namun bayangan-bayangan yang terpancar dari cahaya itu seakan menambah beban yang telah Adinda tanggung sepanjang hari. Misteri yang mereka coba pecahkan terasa semakin mendekat namun juga semakin menjauh, membuat ketegangan di udara begitu nyata.
Haidan menarik napas panjang. Sudah terlalu lama Adinda terjaga, dan ia tahu gadis itu sangat kelelahan, meskipun tak pernah mau mengakuinya. Ia melangkah mendekat, suaranya lembut tapi tegas saat meminta gadis itu untuk mengakhiri penyelidikannya sejenak.
"Nona Adinda, sudah malam. Waktunya beristirahat."
Adinda menoleh dengan tatapan yang penuh kelelahan, namun tekad yang sama tampak jelas di matanya.
"Aku belum bisa, Haidan," gumamnya pelan, jarinya menyentuh sampul buku catatan itu dengan perasaan tertekan.
"Aku belum menemukan apa yang aku cari. Buku ini... ada sesuatu di sini, aku hanya belum tahu apa."
Haidan menghela napas, lalu menunduk, menyamai tinggi tubuh Adinda yang tengah duduk di depan meja kerja.
"Kau sudah cukup berusaha untuk hari ini. Tidak ada gunanya memaksakan diri. Kau tidak bisa menemukan jawaban kalau terlalu lelah untuk berpikir jernih," ucapnya dengan nada yang bukan hanya memberi nasihat biasa melainkan ada penekanan nada khawatir di sana, dan Adinda nampaknya menyadari hal itu.
"Aku takut, Haidan," Adinda akhirnya mengakui, suaranya hampir berbisik.
"Setiap kali aku mencoba tidur... mimpi itu datang lagi. Tentang penyekapan di Palm Green Residence. Delapan tahun berlalu, tapi rasanya seperti kemarin. Aku tidak bisa lari dari mimpi itu."
Haidan menatap gadis itu dalam-dalam. Ingatannya pun melayang memikirkan peristiwa kelam yang pernah menghancurkan kehidupan Adinda. Ia bisa memahami betapa beratnya trauma yang masih menghantui Adinda.
"Nona," ucapnya lembut, "Aku ada di sini sekarang. Tidak perlu takut. Tidak akan ada yang bisa menyakiti Nona lagi selama aku berada di sisi Anda."
Adinda mendesah, jelas tidak sepenuhnya yakin.
"Kau selalu bilang begitu, Haidan. Tapi mimpi itu tidak bisa dicegah. Seakan-akan setiap kali aku menutup mata, maka itu berarti aku akan kembali ke sana, kembali ke ruangan itu, kembali pada kejadian itu..."
"Tapi kau sudah keluar dari sana, Adinda," sela Haidan, menggunakan nama gadis itu yang jarang ia gunakan, berharap bisa membuat Adinda merasa lebih dekat.
"Kau bukan gadis yang sama seperti delapan tahun lalu. Kau jauh lebih kuat sekarang. Dan mimpi itu... mimpi itu hanyalah refleksi bayangan dari masa lalu yang tak akan bisa menyentuhmu lagi."
Adinda terdiam sejenak. Ia menatap buku catatan itu dengan ragu, sebelum akhirnya menutupnya perlahan.
"Apa aku benar-benar bisa tidur tanpa mimpi buruk itu malam ini?"
"Aku yakin kau bisa," jawab Haidan, suaranya penuh keyakinan.
"Aku akan berada di sini sepanjang malam. Jika ada mimpi buruk, aku akan membangunkanmu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, aku akan ada di sampingmu. Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian."
Adinda menatap Haidan, ragu dan lega bercampur di wajahnya. Ia tahu, di balik semua ucapan Haidan, ada rasa peduli yang mendalam, rasa aman yang selalu ia berikan semenjak datang kemari. Perlahan, gadis itu berdiri dari kursinya, menyerah pada kelelahan yang mulai menarik tubuhnya ke tempat tidur.
"Kau benar. Mungkin aku memang butuh istirahat," Adinda akhirnya mengaku, dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia berjalan menuju tempat tidurnya yang sudah rapi, dan Haidan mengikutinya dengan langkah tenang, memastikan gadis itu nyaman di atas bantal yang empuk.
Saat Adinda berbaring, ia masih menatap Haidan yang berdiri di sisi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan penuh perhatian.
"Kau akan tetap di sini, kan?" tanya Adinda lirih, matanya sudah mulai menutup, tapi masih ada kekhawatiran yang tersisa.
Haidan mengangguk, sebuah senyuman samar terlihat di wajahnya.
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Nona. Aku di sini untuk menjaga. Tidurlah," ucap suara serak yang anehnya terdengar cukup lembut menghanyutkan.
Dengan keyakinan itu, Adinda menutup matanya perlahan. Namun setelah memejamkan matanya untuk waktu beberapa detik ia kembali membukanya, memastikan bahwa Haidan masih berada di sana dan tidak meninggalkannya seorang diri.
"Aku masih di sini, Adinda."
Adinda tertawa kecil mendengarkan suara serak nan berat Haidan yang menyadari bahwa ia masih belum tidur sepenuhnya. Ia merasa seperti seorang gadis kecil yang sedang bertingkah iseng dan itu membuatnya merasa lucu sendiri, entah mengapa.
"Aku... lumayan suka kalau kau memanggilku dengan namaku sendiri tanpa harus ada embel-embel 'Nona' dan sebagainya. Rasanya, kita benar-benar telah menjadi dekat. Lagipula, jarak umur kita tidak terlalu jauh, bukan?"
Adinda tidak tahu mengapa ia tiba-tiba berkata seperti itu. Ucapannya terdengar seperti gadis yang sedang meracau dalam tidur dan itu membuatnya malu.
"Lupakan saja. Aku benar-benar akan tidur sekarang," ujar gadis itu lagi dengan cepat sambil menarik selimutnya ke atas kepala dan menutup kedua matanya dengan rapat berharap bahwa rasa kantuk yang ada benar-benar sudah akan membawanya tidur begitu saja.