Terhimpit

litareea
Chapter #11

BUKIT SUNYI

Indri, Barir, dan Adinda tiga serangkai yang terlihat duduk di bangku kayu panjang di halaman kampus, di bawah rindangnya pohon flamboyan yang baru saja mulai berbunga. Hawa panas matahari siang tak begitu terasa di sini, terlindungi oleh bayangan pohon-pohon besar dan angin yang sesekali menyapu dedaunan kering di tanah.

Indri menatap tajam layar ponselnya, membaca pesan pengumuman dari dosen tentang karyawisata jurusan mereka yang akan dilaksanakan sebentar lagi.

"Wah, jadwal karyawisatanya udah keluar! Seru banget, kayaknya! Nggak sabar, deh!" pekik Indri dengan semangat, matanya berbinar saat membayangkan perjalanan yang sebentar lagi akan mereka lalui bersama teman-teman sejurusan. Setelah beberapa semester ini pusing memikirkan tugas dan seminar, karyawisata adalah jawaban bagi para mahasiswa yang harus akan liburan.

Barir, lelaki berkacamata yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk setuju.

"Akhirnya kita bisa karyawisata juga, setelah ditunda-tunda terus gara-gara pandemi. Aku sih udah lama pengen jalan-jalan, refreshing otak. Kalian tahu kan, kampus bikin kepala mau pecah dengan tugas-tugasnya," celetuk Barir sambil meregangkan otot-otot punggungnya yang tegang setelah berjam-jam di depan laptop mengerjakan tugas kuliah.

Namun, Adinda yang duduk di seberang mereka hanya terdiam. Wajahnya murung, tatapannya kosong menatap dedaunan yang tertiup angin. Indri yang menyadari keheningan Adinda, akhirnya memandang ke arah temannya itu dengan alis terangkat.

"Din, kok kamu diem aja sih? Lo kan biasanya yang paling semangat kalau ada acara jalan-jalan begini. Emangnya nggak tertarik?" tanya Indri, sedikit heran dengan sikap Adinda yang berbeda dari biasanya.

Adinda menarik napas panjang, kemudian perlahan-lahan ia menggeleng.

"Kayaknya... aku nggak bisa ikut karyawisata kali ini," jawabnya pelan, suaranya terdengar berat. Indri dan Barir saling berpandangan, bingung dengan perubahan suasana hati temannya itu.

"Kenapa, Din? Ada masalah?" Barir bertanya, nadanya penuh perhatian.

Meskipun ia selalu terlihat santai dan ceria, Barir adalah teman yang sangat peka terhadap perasaan orang lain, terutama sahabat-sahabatnya.

Adinda mengangkat bahu, mencoba tersenyum namun jelas terlihat bahwa senyum itu dipaksakan.

"Ada yang harus aku selesaikan terlebih dahulu, masalah keluarga," jawab gadis itu dengan nada datar.

"Ada hal penting yang belum selesai, dan aku nggak bisa tenang kalau nggak segera diberesin," lanjut Adinda lagi yang tentu saja memancing rasa penasaran dalam diri dua sahabat karibnya itu.

Indri mendekatkan tubuhnya, penasaran dengan apa yang sedang dihadapi Adinda.

"Urusan keluarga? Urusan keluarga apaan? Mungkin kita bisa bantu?" tawarnya, meskipun dalam hati Indri juga merasa bahwa masalah ini mungkin lebih rumit dari yang terlihat di permukaan.

Adinda terdiam sejenak, seakan berpikir apakah ia harus membicarakan hal ini dengan Indri dan Barir. Setelah beberapa detik, ia akhirnya bicara.

"Ini soal... istri pertama ayahku," katanya dengan nada rendah. Indri dan Barir langsung menajamkan pendengaran mereka. Satu teh baru. Sejak awal mereka tahu bahwa keluarga Adinda memang cukup rumit, tetapi cerita ini sepertinya belum pernah mereka dengar.

"Istri pertama ayahmu?" tanya Barir, agak kebingungan.

Adinda mengangguk perlahan sambil memandang dedaunan yang jatuh bersamaan dengan semilir angin.

"Ya, istri pertama ayahku namanya Turminah Suryokusumo. Aku juga baru tahu soal dia. Dan keluargaku tidak pernah benar-benar membicarakannya dengan terbuka. Aku bahkan nggak tahu pasti apakah ayah dan Turminah masih terikat pernikahan atau sudah bercerai. Selalu ada misteri di sekitar hubungan mereka. Istri pertama ayahku ini... menghilang begitu saja."

Indri semakin penasaran.

"Menghilang? Menghilang gimana maksudnya?" tanyanya, kini benar-benar tertarik dengan cerita yang perlahan-lahan mulai terbuka.

Adinda menghela napas panjang.

"Dia benar-benar menghilang. Suatu hari, dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Keluargaku tidak pernah membahasnya secara terbuka, seolah-olah itu adalah rahasia besar yang harus disimpan rapat-rapat. Tapi belakangan ini, aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang Turminah. Dan aku menemukan beberapa hal yang... jujur saja, sangat mengganggu."

Barir bersandar ke bangku, merasa percakapan ini semakin menarik.

"Menemukan apa?" tanyanya dengan singkat namun seakan cukup larut dalam pembicaraan

Adinda menatap mereka berdua dengan ragu-ragu.

"Aku menemukan petunjuk tentang keterlibatan Turminah dengan sebuah sekte misterius. Sekte itu... sepertinya punya hubungan dengan tragedi penyekapan yang terjadi delapan tahun lalu di Palm Green Residence."

Indri dan Barir terkejut mendengar ini.

"Palm Green Residence? Itu kan kasus yang dulu sempet lo alamin, Din! Ingat banget gue waktu itu seluruh kota heboh karena penemuan beberapa orang yang disekap di sana," ujar Indri dengan suara penuh ketidakpercayaan.

"Apa hubungannya dengan keluargamu, Din?" Barir mengajukan pertanyaan kembali dengan wajah serius berbanding terbalik dengan Indri yang tidak bisa mengatur ekspresi pada wajah hebohnya.

Adinda mengangguk, sorot matanya juga kelihatan ikut serius.

"Aku juga nggak tahu pasti apa hubungannya. Tapi beberapa petunjuk yang aku temukan, semuanya mengarah ke sana. Aku baru tahu belakangan ini bahwa Turminah pernah tinggal di Palm Green Residence, rumah lama yang aku tempati. Dan... dari apa yang kudengar, sekte yang dia ikuti mungkin ada kaitannya dengan penyekapan itu."

Barir memandang Adinda dengan ekspresi campuran antara rasa penasaran dan kekhawatiran.

"Jadi, kamu sekarang mencoba mencari tahu tentang sekte itu? Bukannya itu berbahaya, Din? Kalau mereka terlibat dalam kasus kriminal, sebaiknya kamu hati-hati."

Adinda menunduk, memainkan ujung bajunya dengan gelisah.

"Aku tahu ini berbahaya, tapi aku nggak bisa mundur sekarang. Aku sudah terlalu dalam mencari informasi tentang sekte itu, dan aku merasa ada sesuatu yang harus aku ungkap. Mungkin ini alasan kenapa Turminah menghilang. Mungkin dia menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya orang ketahui. Atau... mungkin dia bagian dari semua ini."

Indri menggigit bibirnya, merasa khawatir dengan keputusan Adinda.

"Tapi, Dinda, lo sendirian dalam hal ini? Apa nggak sebaiknya lo kasih tahu polisi atau siapa gitu yang lebih berwenang? Lo kan nggak tahu apa yang akan kamu hadapi."

Adinda menggeleng.

"Aku nggak bisa melibatkan polisi sekarang. Aku butuh bukti yang lebih kuat sebelum aku bisa membawa ini ke pihak berwajib. Kalau tidak, mereka hanya akan menganggap ini sebagai spekulasi tanpa dasar. Aku nggak mau ambil risiko itu. Ini tentang keluargaku juga, aku harus berhati-hati," jawab gadis itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas seakan sedang menatap langit.

"Tapi tenang aja, aku nggak sendiri kok. Ada orang yang mendampingi aku dalam memecahkan kasus ini, hampir setiap saat," lanjut gadis itu lagi yang membuat Indri dan Barir langsung merasa lega mendengarnya.

Meskipun begitu Barir tetap menghela napas panjang, kemudian menatap Adinda dengan mata penuh kekhawatiran.

"Kita ngerti kalau kamu merasa ini semua tanggung jawabmu. Tapi, Din, kita ini temenmu. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa cerita sama kita. Kita mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi setidaknya kamu nggak sendirian."

Adinda tersenyum tipis mendengar kata-kata Barir.

"Thanks, Barir. Thanks, Indri..Aku tahu kalian peduli. Tapi ini sesuatu yang harus aku selesaikan sendiri. Setidaknya sampai aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Indri mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya ia masih khawatir.

"Ya udah, kalau memang itu keputusan yang lo ambil. Tapi, Din, tolong hati-hati, ya. Jangan gegabah. Kita semua peduli sama lo. Kita nggak mau lo kenapa-kenapa. Kalau ada yang bisa kita lakuin, jangan sungkan buat kasih tahu gue atau Barir. Kita berdua pasti bakal bantuin lo, Din."

Adinda kembali tersenyum setelah mendengarkan celotehan Indri, kali ini dengan sedikit lebih tulus.

"Iya, Indri. Terima kasih sudah peduli."

Percakapan itu berakhir dengan keheningan sejenak. Indri dan Barir saling berpandangan, merasa bahwa masalah yang dihadapi Adinda jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Mereka bisa merasakan beban yang dipikul temannya itu, dan meskipun mereka ingin membantu, mereka juga tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah.

Sementara itu, Adinda kembali tenggelam dalam pikirannya. Keputusan untuk tidak ikut karyawisata memang berat, tapi ia tahu ada hal yang lebih penting yang harus ia selesaikan. Mencari keberadaan Turminah Suryokusumo dan mengungkap misteri sekte yang terkait dengan tragedi Palm Green Residence mungkin adalah kunci untuk mengungkap kebenaran yang selama ini tersembunyi dari keluarganya.

Dan ia bertekad untuk menemukan jawabannya, lebih dari orang lain.

***

Adinda melangkah keluar dari mobil hitam yang berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya minimalis. Udara dingin sore itu merayapi kulitnya, membuatnya menarik jaket tipis yang dikenakannya lebih erat.

Di sebelahnya, Haidan, pengawal pribadi yang setia berdiri dengan tegap, mata tajamnya mengamati setiap sudut halaman rumah yang tampak sepi. Rumah itu milik Stefani Kenanga, istri ketiga dari ayahnya. Setelah beberapa hari yang lalu sempat berkunjung, mereka berdua kembali datang karena ada sesuatu yang mendesak di hati Adinda.

Ia masih ingin membicarakan tentang keberadaan sekte keluarga Suryokusumo dengan Stefani.

"Aku merasa ini aneh," gumam Adinda setelah kedua matanya tertuju pada jendela-jendela besar rumah yang tertutup rapat.

“Kenapa rumahnya seperti kosong?”

Haidan melirik ke arah pintu besar di depannya.

Lihat selengkapnya