Bukit Sunyi ㅡ jam 05.00 pagi.
Adinda melangkah dengan cepat menembus kabut tipis yang melingkupi Bukit Sunyi, mengabaikan hawa dingin yang menusuk kulit. Di sebelahnya, Haidan berjalan dengan langkah hati-hati, menatap cemas ke segala arah. Mereka tahu risiko dari pertemuan subuh ini, namun tekad Adinda terlalu kuat untuk diabaikan. Ia harus tahu mengapa Lenting Ayu, wanita paruh baya yang selama ini ia hormati, ternyata bukanlah seperti yang selama ini ia bayangkan.
“Adinda, apakah kau yakin mau melakukan ini?” Haidan bertanya, mencoba memecah keheningan.
“Tidak ada pilihan lain. Aku harus tahu kebenarannya,” jawab Adinda tegas, meskipun di dalam hatinya ada rasa takut yang tak bisa ia enyahkan. Bayangan tentang Lenting Ayu yang dengan mudahnya mengatakan bahwa ia adalah ibu dari Bella masih membekas dalam benaknya. Dan sekarang ia mengetahui bahwa itu semua hanyalah kebohongan semata?
Mereka berdua akhirnya tiba di puncak bukit, dan di sana telah berdiri seorang wanita dengan tubuh tegap meski usianya yang sudah tak lagi muda. Lenting Ayu, sosok yang penuh kharisma, menatap mereka dengan senyum yang samar namun menusuk. Bahkan ketika hari masih sepagi buta ini wanita paruh baya itu sudah mengenakan gaun mengkilap dan dandanan yang amat elegan nan cantik. Meskipun begitu ada sesuatu di balik sorot matanya yang gelap, sesuatu yang membuat Adinda merasa jantungnya berdegup semakin cepat.
Adinda tidak terlalu memikirkan tentang bagaimana wanita itu mengiyakan ajakannya untuk segera bertemu pada waktu subuh ini. Yang ia inginkan hanyalah penjelasan dari mulut wanita itu sekarang juga.
“Adinda,” sapa Lenting Ayu dengan suara rendah.
“Mengapa kau meminta untuk bertemu pagi-pagi sekali? Bukankah kau seharusnya sedang bersiap-siap untuk acara karyawisata?”
Adinda menelan ludah, mengumpulkan seluruh keberaniannya demi menghadapi wanita itu.
“Aku ingin tahu kenapa kau berbohong tentang Bella Agnesia. Kenapa kau mengatakan pada semua orang bahwa dia adalah putrimu?”
Senyuman Lenting Ayu memudar untuk waktu sepersekian detik, sebelum akhirnya berubah menjadi kian melebar.
“Ah, jadi itu yang membuatmu datang kemari. Bukankah aku sudah bilang, Bella memang adalah putriku. Ia adalah anakku,” jawab wanita itu tanpa terlihat terbebani.
Haidan bergerak mendekat, matanya menatap tajam ke arah Lenting Ayu.
“Jangan berkilah lagi. Aku teringat saat kami menginap di rumahmu pada waktu itu. Aku memang melihat foto Bella ada di sana tapi hanya ada fotonya saat sudah dewasa. Tidak ada satupun foto kecil miliknya yang kau punya. Dan aku merasa bahwa itu adalah hal yang... ganjil. Karena penasaran aku menemui langsung pemilik kost tempat Bella meninggal kemarin dan ia mengatakan padaku bahwa keluarga Bella Agnesia ada di desa. Ayah dan ibunya sudah lama meninggal dan selama ini ia hanya hidup dan bisa berkuliah dari uang hasil kiriman kerabatnya yang berada di Malaysia. Aku juga mengecek dan menyelidiki langsung tentang dirimu. Lenting Ayu, kau tidak pernah melahirkan. Kau tidak pernah punya anak. Bagaimana bisa kau mengklaim bahwa Bella yang meninggal karena membakar briket di kamar kost pada waktu itu adalah putrimu?" tanya Haidan dengan nada menuntut menjabarkan segala penemuan dan hasil penyelidikannya terkait sosok Lenting Ayu yang mengganjal dirinya selama beberapa hari ini.
Mendengar itu, sebuah tawa lembut keluar dari bibir Lenting Ayu.
“Pandai sekali kalian ini. Tapi sayangnya, kepintaran kalian justru mungkin akan membawa kalian pada kesengsaraan.”