Wanita itu telah kembali, dengan rupa dan bentuk yang baru.
Suara hak sepatu yang khas terdengar mengiringi langkah wanita yang baru tiba di bandara dan menggiring kopernya dengan begitu elegan dan lemah lembut.
Di antara suara rintik hujan yang menyapu jalanan kota, Turminah Suryokusumo melangkah dengan tenang namun pasti, menyeret bayangan masa lalunya yang perlahan kembali merapat ke tubuhnya. Kini, ia telah berganti nama sebagai Lenting Ayu, wanita yang tampak penuh wibawa, memancarkan aura yang tenang namun kelam. Ia datang dengan satu tujuan yang terpatri kuat di dalam hatinya, menghidupkan kembali ajaran keluarga yang pernah membuat Suryokusumo disegani dan menjadi sumber kehidupan setelah sekian lamanya.
Ajaran itu disebut 'Terhimpit'. Mitos yang diwariskan dari leluhur Suryokusumo, mengajarkan bahwa penderitaan adalah kunci utama untuk mencapai kesejahteraan. Konsep ini bukan sekadar spiritualitas, tetapi doktrin yang terjalin kuat dengan praktik-praktik kelam. Setiap jiwa yang terhimpit, setiap nafas kesengsaraan, dianggap sebagai persembahan yang membawa keberuntungan dan kekayaan bagi keluarga besar mereka.
Setelah ajaran dan pemahaman itu sempat terputus karena pengkhianatan seorang menantu, jiwa Turminah seakan kosong lenyap bersama wafatnya ayahnya, sang pemimpin terdahulu yang mendekam dalam penjara karena kasus pembunuhan dan penghilangan nyawa. Namun, Lenting Ayu, begitulah bagaimana wanita itu sekarang dipanggil merasa perlu untuk membangkitkan kembali warisan itu. Warisan yang dianggapnya agung, sebuah takdir yang tak bisa dihindari.
'Terhimpit' harus bangkit kembali.
Perjalanan wanita itu berakhir di kaki bukit, tepat di hadapan bangunan tua yang usang dan sepi, panti asuhan yang dikelola oleh kakaknya. Dulunya bangunan itu adalah bekas gereja, entah bagaimana kakak lelakinya itu menyulap bangunan bekas gereja itu menjadi tempat panti asuhan terpencil untuk menampung beberapa anak terlantar dari segala rentang usia, mulai dari anak kecil sampai remaja.
Lelaki itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, yang ia percayai masih mengingat akar keluarganya, meski sepenuh hati melawannya. Dengan satu langkah terakhir, Lenting Ayu memasuki halaman panti asuhan itu. Tatapannya bertemu dengan wajah-wajah murung, anak-anak tanpa sanak saudara yang tak memahami bahwa hidup mereka sebentar lagi akan berubah drastis.
Kakaknya, Prabu Suryokusumo adalah orang pertama yang menyambutnya dengan ketegangan yang tersirat. Namun Lenting Ayu, dengan senyumannya yang samar, meyakinkan bahwa kehadirannya akan membawa perubahan besar bagi tempat ini. Malam itu, mereka duduk di ruang tamu panti, berbincang panjang.
"Turminah..."
"Jangan panggil aku lagi dengan nama itu. Turminah sudah lama mati," sanggah wanita itu dengan cepat yang membuat Prabu langsung menelan ludah.
"Baiklah. Lenting, apa yang sebenarnya kau cari di sini?" tanya Prabu, mencoba mencari arti di balik senyumannya yang tak sepenuhnya jujur.
Lenting Ayu menjawab dengan tegas dan sorot mata yang tajam.
"Aku ingin membangkitkan kembali apa yang pernah hilang. Kita adalah Suryokusumo, dan Suryokusumo adalah Terhimpit. Tidak peduli bagaimana dunia memandang, kita tidak boleh mengingkarinya."
Prabu terdiam, raut wajahnya mencerminkan ketidaknyamanan. Namun Lenting Ayu melanjutkan, tanpa peduli.
"Aku ingin memulai semuanya kembali di tempat ini. Mereka ini adalah anak-anak yang tak punya harapan, yang terbuang dari masyarakat. Mereka adalah sekumpulan jiwa yang siap dibentuk, diajarkan untuk mengabdi pada tujuan keluarga. Para penghuni di panti asuhan ini akan kusulap menjadi Suryokusumo kedua."
Hari demi hari, Lenting Ayu mulai memperkenalkan doktrin 'Terhimpit' kepada para penghuni di panti asuhan itu. Ia menyusun pengajaran yang dibungkus dengan ritual dan penjelasan yang penuh karisma. Menekankan bahwa dunia adalah tempat yang keras, dan melalui penderitaan, mereka akan memperoleh kekuatan yang lebih tinggi. Melalui ketundukan total, mereka akan mencapai keberuntungan. Dengan sabar, ia menanamkan konsep bahwa hanya mereka yang menyambut penderitaan yang mampu menjadi penghubung antara kesejahteraan dan pengorbanan.
Sebagian anak-anak mendengarkan dengan antusias, meski mereka tak sepenuhnya mengerti arti di balik kata-kata Lenting Ayu. Ada juga yang takut, merasa asing dengan ajaran itu. Namun ketakutan mereka tidak bertahan lama, karena Lenting Ayu tahu cara merayu mereka dengan janji-janji perlindungan, makanan yang cukup, dan tempat berlindung yang mereka rindukan. Ia menjadi figur ibu yang penuh kasih, namun dalam kasih itu tersembunyi tuntutan yang berat.
Doktrin-doktrin itu mulai menjadi rutinitas. Lenting Ayu melatih setiap anak untuk menahan rasa lapar, mengajar mereka bahwa perihnya perut kosong adalah anugerah, sebuah pengalaman yang akan menguatkan jiwa mereka. Ia memandu mereka dalam ritual-ritual malam di mana mereka harus menahan rasa sakit tanpa suara, menahan diri dari kenyamanan, membiarkan tubuh mereka 'terhimpit' oleh beban dunia yang tak terlihat.
Di samping itu, Lenting Ayu mulai mengenalkan konsep 'nafas sengsara'. Ia menjelaskan bahwa untuk mencapai kesejahteraan, mereka harus menyerap penderitaan dari dunia luar. Menjadi pembawa takdir yang bisa mengisap jiwa-jiwa sengsara dari orang-orang yang sudah putus asa, karena itulah inti dari ajaran miliknya. Melalui kepedihan orang lain, mereka akan memperoleh berkat, dan melalui itu pula, mereka akan membawa kesejahteraan pada panti dan keluarga besar mereka.
Dalam keheningan panti yang jauh dari dunia luar, ajaran ini terus berkembang. Lenting Ayu memilih beberapa anak yang tampak paling kuat, yang paling mudah tunduk pada pengaruhnya, untuk menjalani latihan yang lebih keras. Mereka harus berlatih memanipulasi, menghasut, dan jika perlu, membawa seseorang yang hidupnya sudah terpuruk untuk datang ke panti dan menjadi 'sumber kekuatan' bagi keluarga mereka.
Dan empat orang yang ia pilih dari panti asuhan itu sebagai kaki tangan sejatinya adalah Barry Hutagalung, Ali Sinaga, Edward Situmorang, dan Raol Vane. Mereka berempat adalah empat remaja di panti asuhan itu yang dulunya mencari tempat tinggal untuk bernaung dan bertemu Prabu Suryokusumo. Empat remaja yang selalu bersahabat dan bersama-sama itu menyerap dengan cepat berbagai ajaran dan pemahaman hidup yang Lenting Ayu berikan. Dan tanpa perlu waktu lama, jika Lenting Ayu menyuruh keempat pemuda remaja itu untuk melakukan sesuatu, maka mereka akan langsung melakukannya seakan hal tersebut adalah sebuah keharusan untuk keberlangsungan panti asuhan yang mereka cinta.