"Apa? Adinda dan pengawalnya tidak muncul saat kalian akan pergi karyawisata?" Edmund bertanya dengan tatapan menyipit saat mendengarkan cerita dan keluhan dua sahabat karib Adinda, Indri dan Barir. Ada hal yang ingin Edmund bicarakan dengan Adinda, jadi lelaki itu berniat mendatangi gadis itu di kampusnya namun yang ia dapati hanyalah sekelompok rombongan jurusan yang sedang panik karena salah satu anggota mereka belum menampakkan diri.
"Ini aneh banget. Padahal kemarin Adinda udah setuju buat ikut karyawisata ini. Dia juga udah exicted banget buat pergi sama kita semua," keluh Indri dengan wajah paniknya.
"Semalam Adinda juga masih ngasih kabar kalau dia packing buat acara karyawisata ini di grup kelas, tapi pas menjelang pagi dia udah lost contact sama kita," timpal Barir sambil menunjukkan ponselnya.
"Terus bagaimana sama orang tua Adinda?" tanya Edmund lagi dengan raut wajah penasaran.
"Ibu Adinda juga lagi mencari mereka. Kata pembantu rumah sih, mereka sempat melihat Adinda dan pengawalnya pergi subuh-subuh ke arah utara..."
Satu penuturan yang keluar dari mulut sahabat Adinda itu langsung membuat Edmund tersadar akan sesuatu.
Arah utara adalah arah menuju ke Bukit Sunyi.
Firasat Edmund langsung mulai mengatakan ada hal tidak beres yang sedang terjadi pada Adinda dan Haidan.
***
Di atas Bukit Sunyi, dua sosok tertidur dalam gelap, terkurung dalam peti sempit yang tertutup rapat. Suara pernapasan berat memenuhi ruang yang nyaris tak berudara. Adinda dan pengawalnya, Haidan, terkunci, ditakdirkan menjadi calon korban ritual keji yang direncanakan oleh Lenting Ayu, sang pemimpin sekte dengan watak licik.
Lenting Ayu, dengan tatapan dingin dan tanpa belas kasihan, memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat peti itu, membawa mereka menuruni bukit. Tujuannya jelas, daerah pegunungan tempat tinggal Prabu Suryokusumo, kakak laki-laki Lenting Ayu, yang akan menjadi saksi akhir hidup mereka. Wanita paruh baya itu sadar bahwa terlalu beresiko jika menghabisi nyawa dua anak ini di Bukit Sunyi apalagi setelah apa yang ia lakukan pada Stefani Kenanga kemarin. Maka dari itu, ia berniat untuk mengeksekusi Adinda dan Haidan di tempat lain yang tidak terlalu mencolok.
Perjalanan penuh kesunyian, hanya ada desah langkah kaki di tanah berdebu yang membasah oleh embun pagi. Sementara itu, di dalam peti Adinda nampak menggigit bibirnya, menahan ketakutan yang mengalir seperti air deras dalam tubuhnya. Dia bisa merasakan Haidan di sisinya, tetap tenang meski nyawa mereka sudah berada di ujung tanduk.
Haidan adalah pelindungnya yang setia, telah mengabdikan hidupnya untuk menjaga keselamatan Adinda. Dalam kegelapan dan kesunyian itu, ia menunggu, mendengarkan setiap gerakan di luar peti, berharap ada celah untuk melarikan diri sambil tetap berpegangan tangan satu sama lain.
Namun harapan terasa seperti debu yang beterbangan, tak terlihat, tak tergenggam. Adinda berusaha keras mengatur napas agar tak panik. Di luar sana, Lenting Ayu terus berjalan dengan kepercayaan diri yang dingin. Pikirannya tertuju pada tujuan akhir mereka, di mana Prabu Suryokusumo menunggu dengan persiapan matang untuk ritual yang sudah lama adik bungsunya itu tidak lakukan.