Delapan tahun penuh ketakutan dan penderitaan itu pada akhirnya berakhir juga. Senja perlahan turun di halaman rumah keluarga Soeharso, menyelimuti pemandangan dengan warna-warna hangat yang entah mengapa membuat perasaan tentram dan damai setelah apa yang sudah terjadi selama ini.
Adinda duduk di beranda, memandangi pemandangan yang begitu melegakan dada. Ia merasakan kedamaian yang perlahan menyusup ke dalam jiwanya, sebuah perasaan yang telah ia nanti begitu lama.
Di sisinya, Haidan duduk diam sembari menjaga jarak dengan penuh kesetiaan yang sama. Ia tak pernah jauh dari Adinda, seperti bayangan yang terus setia menemani.
Adinda tersenyum kecil.
"Terima kasih, Haidan. Aku tak tahu bagaimana hidupku kalau kau tidak ada bersamaku dan melalui semuanya."
Haidan mengangguk sambil menatap lurus ke depan.
"Aku hanya menjalankan tugasku, Adinda. Tapi... jika aku boleh jujur, tugasku ini telah menjadi sesuatu yang lebih berharga dari sekadar kewajiban."
Adinda terkekeh pelan, menyadari makna dari ucapan Haidan. Sejenak, hening menyelimuti mereka seakan memberikan ruang untuk perasaan yang selama ini tersembunyi.
Adinda masih mengingat jelas bagaimana lelaki itu sempat mengecup bibirnya saat terkurung dalam peti kemarin. Apakah itu adalah bagian dari penjagaan juga? Apakah itu adalah cara untuk bertahan hidup dan memastikan bahwa dirinya tetap selamat dalam peti itu? Adinda ingin menyinggungnya, namun ia merasa masih terlalu malu.
"Apa kamu benar-benar yakin ingin terus bersamaku, Haidan?" bisik Adinda dengan nada ragu setelah cukup lama berpikir untuk memecah suasana yang mungkin saja terasa canggung.
Haidan menatapnya dengan dalam.
"Adinda, aku tak pernah merasa terikat. Aku memilih tetap di sini karena ingin berada di sini. Bukan karena kewajiban, tapi karena... mungkin aku benar tertarik padamu. Aku ingin berada di sisimu untuk selanjutnya."
Adinda tersenyum, menahan air mata haru.
"Kau mungkin tidak sadar betapa berharganya dirimu dalam hidupku sekarang. Setelah apa yang kita lalui selama ini, sulit untuk tidak menaruh harapan pada satu sama lain."
Dua insan itu saling bertukar pandang sejenak, lalu Haidan menundukkan kepalanya dengan lembut.
"Kehidupan kita sudah cukup sulit selama ini, Adinda. Saatnya untuk hidup yang lebih tenang, dengan segala kebenaran yang akhirnya terungkap. Kau bisa mengandalkanku dalam berbagai hal mulai dari sekarang, bukan hanya tentang penjagaan dan kewajiban tapi juga soal... perasaan," ujar lelaki itu sambil melangkah pelan mendekati Adinda dan pada akhirnya memberanikan diri untuk maju memeluk gadis itu, membawanya ke dalam pelukan terhangat yang dapat Adinda rasakan setelah sekian lama.
***
Di tempat dan waktu yang lain, Edmund berdiri di depan penjara dimana ayahnya ditahan, Edward Situmorang. Ia menatap gedung penjara itu dengan tatapan kosong, seakan mencoba menyelami kenangan yang pernah ada. Angin sore meniup pelan, menggoyangkan dedaunan di sekitar, menciptakan irama alami yang membuat suasana semakin hening.
“Ayah... meski banyak orang tak mengerti jalan hidupmu, aku bangga bisa menjadi anakmu,” ucap Edmund dengan suara berat.
“Meski keputusan ini menyakitkan, aku tahu bahwa kamu melakukannya demi kami.”
Kemarin, ia mendengar kabar bahwa ayahnya akan menjalani prosesi hukuman mati dalam beberapa minggu ke depan. Edmund tidak dapat melakukan apa-apa selain mengikhlaskan apa yang seharusnya terjadi. Setidaknya ia dapat mengikhlaskan ayahnya dalam keadaan tidak bertanya-tanya lagi akan masa lalu.
Mungkin... memang begitulah takdir yang harus ayahnya jalani di dunia ini.