Elena tidak tahu bahwa hari itu akan mengubah segalanya. Di balik layar komputernya yang menyala, nasib sedang mengetuk lewat dering ponsel.
Mata hazel Elena Olivia Johnson tidak pernah melepaskan fokus dari layar komputernya. Desain interior yang sedang ia kerjakan bukan sekadar proyek biasa—ini adalah pencapaian besar dalam kariernya.
Sebuah langkah penting yang akan menentukan masa depannya. Namun, di tengah konsentrasinya yang mendalam, suara dering ponsel tiba-tiba menggema di ruang kantor, mengusik ketenangan yang sudah susah payah ia bangun.
Tanpa mengalihkan pandangannya dacri layar, Elena meraih ponselnya dan menjawab panggilan itu. Suara rekan-rekan kerjanya yang mengobrol di sekitar seketika menghilang dari fokusnya.
"Halo?" suaranya terdengar datar, nyaris tanpa ekspresi. Jemarinya masih menari di atas keyboard, mengetik dengan ritme cepat dan teratur. Ia bahkan tak sempat melirik layar ponselnya untuk melihat siapa yang menelepon—entah itu urusan pribadi atau pekerjaan, ia tak begitu peduli saat ini.
"Selamat siang. Apa ini dengan Nona Elena?"
Nada suara di seberang sana terdengar dalam, terdengar ada getaran di dalam nada suaranya, tetapi anehnya terasa begitu familiar. Kening Elena sedikit berkerut.
"Ya, saya sendiri," jawabnya tanpa basa-basi. Seketika, ia menekan tombol ‘simpan’ di komputernya.
Ia sama sekali tak memiliki firasat buruk—tak ada pertanda, tak ada perubahan udara yang bisa memperingatkannya tentang apa yang akan terjadi. Tapi kemudian—
"Tuan Johnson..."
Elena terlonjak dari kursinya, hingga kursi tanpa dosa itu jatuh ke belakang membentur lantai. Dia terdiam. Tubuhnya mendadak kaku, seolah baru saja disambar petir.
Wajahnya kini tergantikan oleh ekspresi ketakutan yang mendalam. Rasanya seperti ada sebuah besi godam besar yang tengah memporak-porandakan detak jantungnya yang mulai tidak karuan. Rasa panik mulai menguasai dirinya.
Tak ada lagi ruang baginya untuk berdiam diri di sana. Dengan tangan gemetar, ia meraih tasnya dan bergegas keluar tanpa sepatah kata pun, mengabaikan pertanyaan dan tatapan khawatir dari rekan-rekan kerjanya.
Dia berlari sekencang degup jantungnya yang memburu bak genderang perang yang tengah ditabuh dengan kencang.
"Elena!" panggil Elvano, bosnya, yang baru saja dia tabrak tanpa sengaja. Seluruh tumpukan file yang dibawa oleh bos dan rekan kerjanya jatuh berantakan di lantai.
Biasanya, dia akan meminta maaf dan membantu merapikan semuanya jika dia melakukan kesalahan, tapi situasinya sekarang berbeda. Elena tengah berada dalam situasi genting yang memaksanya meninggalkan kantor secepatnya. Air matanya nyaris meleleh, namun dengan sekuat tenaga dia menahannya agar tidak jatuh.