“Kring… kringg…!” Bel pertanda masuk sekolah sudah berbunyi. Semester baru telah dimulai setelah libur selama dua minggu.
“Aduh! Ini Si Eira kemana lagi? Udah bel juga, tapi masih belum datang!”
Tiba-tiba saja Eira sudah ada di sebelah Lastri. Hari pertama masuk sekolah Eira malah bangun kesiangan. Jam beker nya mati, taka da orang di rumah. Si Mbok juga datang kesiangan hari ini. Jam setengah tujuh pagi baru bangun, buru-buru mandi dan siap-siap, tak sempat sarapan. Untung saja gurunya belum datang.
“Heh, Lastri! Kenapa tadi nggak jemput aku? Biasanya juga jemput aku dulu kan?”
“Ya maaf. Tadi aku juga kesiangan kok. Kan abis liburan jadi kebiasaan molor, hehe. Aku pikir kamu tadi udah di sekolah juga, jadi nggak aku jemput.
Tak ada yang berbeda di sekolah ini setelah liburan. Lapangan yang berlubang, kaca jendela yang pecah, tembok-tembok yang ditumbuhi lumut, masih sama saja seperti kemarin. Hanya ada satu tambahan kipas angin. Entah kemana perginya semua uang yang dibayarkan orang tua kami. Apakah uangnya digunakan untuk liburan kemarin? Atau dibagi dan dibelikan barang-barang limited edition? Atau dimakan rayap di tempat penyimpanannya? Misteri yang tak pernah ditemukan jawabannya.
Tahun ini tahun terakhir di sekolah ini. Cepat sekali! Seperti baru saja kemarin ikut kegiatan orientasi sekolah.Sama seperti semester sebelumnya, sifat jahil dalam diri Eira tak mau keluar. Kadang, ide untuk mengerjai guru juga didapat darinya. Bekerja sama dengan teman laki-lakinya dan didukung oleh teman sekelas. Meski begitu, Eira tetap saja manusia biasa yang pasti ada yang membencinya. Apalagi kalau bukan karena sifatnya yang usil. Tetapi tentu saja lebih banyak yang menyukainya karena dirinya yang periang dan mudah berteman dengan siapa saja. Ia juga sangat terkenal di kalangan guru. Sering kali dipanggil guru untuk bimbingan konseling karena sifatnya itu. Lastri yang pendiam di sekolah tentu tak bisa juga menegurnya, karena Eira lah yang sering membuatnya tertawa dan juga lebih dekat dengan teman-temannya.
Lastri merasa dirinya cukup menyedihkan. Hidupnya jauh lebih baik dipanding sahabatnya itu. Harusnya ialah yang bisa menghiburnya. Ia tak habis pikir dengan teman sepermainannya ini, seperti tisu yang diletakkan dalam air. Tak larut memang, tapi hancur. Luarnya begitu ceria tanpa beban, tapi Lastri tahu bagaimana isi hati dan pikirannya.