Tahun ajaran 2010-2011 baru saja dimulai. Satu cita-cita Eira terwujud. Melanjutkan sekolah ke sekolah impiannya bersama dengan sahabatnya. Namun, mereka tak lagi sekelas, bahkan mereka tak satu jurusan. Hal ini membuat Lastri khawatir terhadap sahabatnya itu. Ia tahu bahwa Eira cukup sulit untuk masuk ke dalam lingkungan baru. Lastri tak pernah lupa menyemangati Eira. Tetapi, tetap saja ini tak mudah untuk Eira. Berada di kelas yang sebagian besar adalah murid unggul semakin membuatnya tak percaya diri. Ia selalu menghabiskan sendirian waktunya saat di sekolah. Kecuali saat istirahat, ia akan ke kantin bersama Lastri dan Mira, teman Lastri.
Tak ada yang membantunya untuk membaur di dalam kelas. Sering kali ia tak mendapat kelompok saat ada tugas, akhirnya ia hanya mengerjakan semua tugas sendirian. Teman-teman di kelasnya menganggap ia sombong karena tak pernah mau menyapa temannya. Bukannya tak mau, ia tak berani melakukan hal itu. Jika ia bersuara, ia takut bukannya sambutan ramah yang ia dapat, tapi malah ejekan. Sesuatu yang tak ingin ia dengar lagi dari siapapun. Sesuatu yang awalnya ia dapat dari orang terdekatnya dan memberikan luka dalam hati dan pikirannya. Meski tak ingin hal itu terjadi, tapi itu tak bisa ia hindari.
“Hei kampung! Kau anak kampung kan? Anak kampung memang begitu ya? Sendirian terus, nggak punya teman ya? Memang anak kayak kamu nggak pantas sekolah disini! Hahaha..!”
Satria, anak dari pemegang salah satu perusahaan ternama di kota ini. Anak yang selalu semena-mena kepada siapapun, termasuk gurunya. Kabarnya, ia sampai tak naik kelas dua kali karena sikapnya itu. Dia juga sering memalak teman-temannya di kelas. Katanya, ia yang paling tua di kelas, jadi semua harus mematuhi perintahnya. Jika tidak, maka ia mengancam akan memukuli sampai babak belur. Untuk apa mematuhi perintah dari orang yang tak bermoral seperti itu, pikir Eira.
“Bisa-bisanya kau berkata begitu! Seharusnya kau yang tak pantas sekolah di sini! Sudah berapa kali kau tak naik kelas ha?!”
Seisi kelas terkejut mendengarnya. Anak laki-laki pendiam yang sama seperti Eira setelah sekian lama akhirnya ia buka suara. Kelas hening seketika. Satria yang tak terima langsung menghajar Andri. Terjadilah pertengkaran di jam istirahat. Tak ada yang yang menyangka jika anak pendiam itu jago juga berkelahi. Halaman kelas mendadak ramai dipenuhi anak-anak dari kelas lain yang penasaran. Tak lama kemudian, beberapa guru dan satpam menghampiri ke kelas. Mereka berdua pun dibawa ke ruang konseling. Setelah itu, halaman yang tadinya ramai menjadi lengang. Semua kembali melanjutkan aktivitasnya lagi.
Bel pertanda jam pelajaran telah usai berbunyi. Para murid buru-buru mengemasi barangnya dan saling berpencar entah kemana. Eira menghampiri Andri yang sedang piket.
“Terima kasih kau membelaku tadi. Tapi untuk apa kau melakukan itu? Tak perlu juga kan? Sampai lenganmu memar seperti itu. Maaf jika membuatmu sampai seperti itu.”
“Tidak perlu kau meminta maaf. Tak ada manusia tak bersalah yang pantas direndahkan oleh siapapun! Kenapa kau tak membela dirimu saat seperti itu? Bukankah kau punya hak untuk melawan yang seperti itu kan!”
Terkejut Eira mendengar jawaban Andri. Tak pernah menyangka bahwa anak pendiam ini ternyata juga menghargai hak orang lain. Pada saat yang bersamaan, Lastri daritadi menuggu Eira di gerbang dan tak kunjung muncul. Hingga akhirnya menjemput Eira ke kelasnya. Lastri melihat temannya sedang berbicang dengan seseorang. Ia hany amengamati dan menunggu si depan pintu sambil tersenyum. Eira yang menyadari hal itu langsung berpamitan kepada Andri.
“Hahaha..! Kau sudah punya teman rupanya, laki-laki pula,” kata Lastri, bercanda.