Hilang

nawa
Chapter #6

Bagian 6

Sudah setengah tahun lebih Eira sekolah di sekolah impiannya ini. Awalnya tak mudah baginya, apa-apa harus sendirian, sering mendapat cibiran dari temannya. Kini, ia mulai mau berusaha membuka dirinya, membaur dengan teman sekelasnya. Tersenyum, menyapa, bahkan juga menlolong teman-temannya. Setiap hari ia jadi bersemangat untuk bersekolah. Tidak ada kehidupan yang sempurna meski pasti banyak orang yang menginginkan itu. Hari-hari Eira sangat terang di sekolah, tapi di rumah menjadi gelap gulita. Si Mbok belum kembali sejak dia pergi. Mama, kini masih saja melampiaskan emosinya pada Eira. Karena tidak ada Si Mbok di rumah, mama jadi kasar pula perbuatannya seperti ayah dulu. Sering Eira mandapat tamparan atau rambutnya dijambak. Sudah lama luka memar di tubuhnya pamit, kini mereka singgah lagi.

Mama jarang ada di rumah, jadi kekerasan itu tidak terjadi setiap hari. Tapi tetap saja Eira marah dan kesal karena perbuatannya itu. Ia mendapatkan perlakuan tak adil, terkena marah tanpa sebab yang jelas. Selama sekolahpun, Eira tak mendapat uang untuk jajan. Biasanya, ia mengambil uang di kamar mama. Mama tidak tahu itu karena ia bertransaksi dengan menggunakan kartunya. Di rumah sendirian tentu membuat Eira bosan. Sering ia mengajak Lastri ke rumah untuk belajar, bermain atau sekedar mengobrol. Pernah suatu saat mama pulang dan Lastri masih ada di rumah Eira. Lastri bersembunyi di halaman belakang sampai mama Eira pergi lagi dan hari mulai gelap.

Eira sangat tertekan dengan sikap mamanya. Tak ada tempat untuknya untuk mengeluarkan apa yang ia pendam. Memang ada Lastri, tapi ia tak mau menjadi beban untuk hidup temannya yang sudah bahagia itu. Tak ada siapapun yang tahu akan hal ini. Mau kabur sari rumah pun percuma, mau tinggal dimana nanti? Ia tak bisa marah saat mamanya juga marah. Itu tak mungkin, nanti mama akan menyakitinya lebih parah. Eira akan melampiaskan semuanya jika tidak ada orang di rumah. Barang-barang di kamarnya sudah mulai banyak yang tidak baik kondisinya. Bahkan, pintu kamarnya hampir jebol dibuatnya. Ada dendam yang tinggal dalam dirinya. Dendam yang terus tumbuh karena terus tersiram ketika mama melampiaskan semua pada Eira.

Belum lama ia berhasil membuat namanya menjadi baik di sekolah. Kini, itu sudah menjadi sejarah. Teman-temannya menjadi takut kepadanya. Eira tak bisa mengontrol emosinya. Ia bisa marah tiba-tiba jika ada yang mengajaknya mengobrol. Andri pun juga susah membujuknya agar ia mau mengobrol. Sekarang, teman-temannya melihat Eira dengan tatapan yang sama saat ia baru masuk sekolah. Andri membicarakan hal ini kepada Lastri. Sebenarnya, Lastri mengetahui ini sudah agak lama. Ia tak pernah lagi berangkat ke sekolah bersama Eira karena temannya itu selalu menolak. Dihubungi juga susah sekali. Lastri bilang ke Andri jika sepulang sekolah ia akan menemui Eira. 

Bel pulang sekolah berbunyi. Lastri buru-buru mengemasi barangnya agar ia bisa segera bertemu dengan Eira. Mira bingung melihat Lastri yang tak biasanya ia buru-buru seperti ini. Ia menanyakan pun sepertinya Lastri tidak dengar karena kelas yang tidak kondosif dan ia focus mengemasi barangnya. Tiba-tiba Lastri langsung berlari keluar kelas setelah selesai berberes. Mira yang tak tahu apa-apa segera mengikutinya. Ia terlambat, ia kehilangan jejak. Lastri ;ari begitu cepat dan tadi ia belum selesai berberes. Karena pulang sekolah, halaman menjadi ramai, membuat Mira semakin susah mencari Lastri.

“Mira!” Mira mendengar ada yang memanggilnya, tapi bukan Lastri. Ia mencari asal suara itu. Rupanya Andri yang memanggil dan sedang berlari ke arahnya.

“Kenapa bingung? Cari apa?” Andri memperhatikan Mira rupanya, sebelum ia memanggil tadi.

“Tadi Lastri buru-buru keluar kelas. Aku gatau kenapa. Aku tanya juga nggak dijawab. Tadi kukejar, tapi terlambat. Sekarang hilang deh.” Kepala Eira masih celingak-celinguk mencari Lastri.

Lihat selengkapnya