Hilang

nawa
Chapter #2

Bagian 2

“Hhh…hhh…hhh…! Gila, capek banget! Anjing siapa sih dilepas sembarangan!” keluh Eira.

Awan tebal menyelimuti langit siang itu. Bocah berusia 15 tahun berambut lurus itu bergegas pulang ke rumahnya. Berjalan santai melewati jalanan sibuk yang dipenuhi dengan pengendara motor. Menyingkirkan batu-batu yang terlempar ke bahu jalan. Memasuki halaman rumah dan segera melepaskan sepatunya tiba-tiba terdengar suara benturan keras dari dalam. Berlari kecil ke dalam rumah dengan sedikit rasa was-was. Langkahnya pun terhenti ketika mendengar suara teriakan ayahnya. Berubahlah ia berjalan mengendap-endap. Lama-lama, terdengar suara isak tangis mamanya. Ia pun menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar orang tuanya.

“Brakk…!!” Ayah membanting pintu dengan sangat keras. Eira yang sejak tadi berdiri di depan pintu terkejut bukan main. Hanya bisa terdiam kaku sembari melihat mamanya yang tersungkur di lantai. Sang ayah pun juga terkejut mendapati anaknya yang terdiam di depannya. Bergegas Eira menghampiri mamanya. Sedang ayahnya buru-buru keluar dari rumah. Padahal di luar, hujan mulai membasahi jalanan.

“Kamu mandilah, lalu makan!” perintah mama yang masih sedikit terisak.

Meninggalkan mamanya di kamar, mengambil handuk dan segera mandi. Sudah sejak lama Eira tahu sikap ayahnya yang seperti itu. Terkadang juga ia mendapati mamanya sedang bersedih. Selesai mandi ia makan sendirian di ruang makan seperti biasanya. Tidak ada ayah di rumah, ia merasa sedikit lega. Tak jarang Eira merasa canggung ketika ada ayahnya di rumah.

Hari begitu cepat berlalu. Hampir keseluruhan dari hari ini adalah kegelapan. Entah mengapa langit tak segera mennyudahi sedihnya. Menjelang malam ayah tak kunjung pulang. Eira tau jika tidak ayahnya ia akan lebih tenang di rumah, tetapi ia tetap saja khawatir.

Malam semakin larut dan rupanya awan mengijinkan bulan untuk menampakkan dirinya. Eira membuka jendela kamar dan mempersilakan angina untuk masuk ke kamarnya. Suasana yang selalu ditunggu-tunggu setiap hari. Menikmati malam ditemani lagi favoritnya. Berharap ayah dan mamanya tidak bertengkar lagi. Namun, apa daya ia hanya seorang anak yang tak bisa berbuat banyak. Sering berpikir ia, tentang apa yang akan terjadi esok hari. Juga sering bertanya-tanya jika orang tuanya selalu bertengkar seperti itu tidakkah lebih baik bagi mereka untuk berpisah saja. Untuk apa jika terus saja seperti ini. Meributkan masalah yang tak tahu kapan akah berakhir.

Banyak orang yang merindukan masa kecilnya, tapi jelas tidak dengan Eira. Melihat anak-anak lain pergi menikmati waktu bersama, terkadang membuatnya berpikir kapan ia bisa seperti mereka juga. Nyatanya, sampai sekarang pun hal itu tidak pernah terjadi dan Eira tak pernah mengharapkannya lagi.

Sedari tadi termenung memikirkan banyak hal, tak sadar ia jika ternyata ada suara langkah kaki mendekati kamarnya. Pasti itu mama. Segera Eira menutup jendela dan naik ke tempat tidur.

“Segeralah tidur, sudah malam!”

Mama memang orang yang cuek. Mungkin karena ia merasa bersalah karena kehidupannya yang berimbas kepada anak semata wayangnya. Tahu dengan keadaanya yang seperti itu, tak membuat Eira membenci orang tuanya. Tak lama ia termenung memikirkan semua itu, terlelaplah ia dalam kesunyian malam.

Malam singgah cepat sekali. Lagi-lagi matahari telah terbangun dan menyapa dunia. Menembus kaca-kaca jendela rumah dan juga membangunkan Eira.

“Ah, sial..! haruskah aku terbangun lagi?!”

Ingin rasanya hari untuknya cepat berakhir. Tak lagi merasakan menanggung beban mental yang ia dapat dari kedua orang tuanya.

Libur kenaikan kelasakan berakhir sekitar seminggu lagi. Seperti biasa, tak banyak hal yang Eira lakukan saat liburan. Paling-paling hanya bermain dengan sahabatnya, Lastri. Memang, Lastri orang Indonesia seratus persen. Orang tuanya keturunan Jawa asli. Berbeda dengan Eira yang memiliki darah Eropa dari kakekknya.  

Sejak kemarin, Lastri sudah kembali ke rumahnya setelah seminggu ia dan keluarganya pergi berlibur. Setelah sekian lama akhirnya Eira bisa bermain dengan sahabatnya lagi. Tak sabar, Eira buru-buru keluar kamar untuk mandi. Terlalu senang, ia baru sadar bahwa di rumah tak ada siapa-siapa, hanya ada Si Mbok, orang yang kadang-kadang ke rumah untuk membantu mama. Penasaran, Eira menghampiri Si Mbok.

“Mbok, ayah sama mama mana?”

“Kalo bapak, dari pagi saya ndak liat. Kalo ibuk tadi sih keluar, tapi ndak bilang mau kemana.”

Jawab Si Mbok dengan logat jawanya.

“Ohh… Sudah lama Mbok?”

“Kayaknya baru setengah jam yang lalu.”

Lihat selengkapnya