“Ampun ayah… Ampun!” Anak perempuan berumur tujuh tahun itu terus menangis kesakitan. Ayahnya tak peduli dengan itu. Ia terus saja memukulinya dengan sabuk, melampiaskan amarahnya. Tak sampai disitu, ia menarik rambut anaknya lalu menghempaskan ke lantai. Kejam! Bukan salah sang anak jika ia ingin tahu tentang saklar yang ada di depannya tadi. Hal itu menyebabkan letupan kecil dan ada api kecil yang menyala. Sangat keterlaluan sikap ayah jika ia menghukumnya seperti itu. Bahkan, ia saja tak mengawasi anak itu bermain.
Ayahnya telah pergi keluar dari kamarnya. Anak itu hanya tersungkur di lantai. Merintih menahan sakit. Ada goresan luka di tangan dan kakinya. Punggungnya sepertinya lebam, membuat ia tak bisa segera bangkit. Lantainya basah penuh air matanya. Dadanya sesak, matanya agak sulit terbuka. Sangat payah kondisinya. Luka goresan tadi sudah mengering. Ia berusaha untuk bangun, mengendap-endap keluar kamar mencari kain lap. Lalu ia segera kembali dan membersihkan lantai kamarnya. Bajunya juga basah, ia harus segera menggantinya agar tak masuk angin. Dadanya masih sesak, hidungnya tersumbat, kepalanya sakit. Waktu mrnunjukkan pukul setengah satu siang. Kelelahan, ia pun tertidur.
Sore itu, bibi berkunjung ke rumah. Ternyata hanya ada pembantu di dalam. Mengetahui keponakannya ada di rumah juga, bibi langsung menuju kamarnya. Tak sampai hati ia melihat kondisi keponakannya. Matanya sembab, ada banyak luka lebam di kaki dan tangannya. Bibi tahu, anak ini tak boleh tinggal di sini lagi. Ia ingin membawanya untuk tinggal bersamanya, tapi orangtuanya tak pernah mengizinkannya. Tiba-tiba, anak itu terbangun. Terkejut ia melihat bibi ada di sampingnya.
“Kamu pasti belum makan. Ayo turun, kita makan! Bibi bawa mi pangsit kesukaanmu.”
“Tapi aku takut, ada ayah. Nanti aku dipukuli lagi.” Anak itu menjawab sambil merinding mengingatnya.