Terima Kasih Sudah Menjadi Adik Perempuanku

Mario Matutu
Chapter #1

#1

GADIS itu menyebut namanya dan sekonyong-konyong aku merasa dadaku seperti tertikam belati. Ada rasa perih yang tiba-tiba menjalar ke relung hatiku. Nama yang disebut gadis itu adalah kenanganku yang paling menyakitkan. Mengenang nama itu hampir selalu membuatku menangis.

Untuk setidaknya sepuluh detik, aku hanya bisa memandangi gadis bermata bulat bening itu. Seandainya hanya nama depan, aku pasti tidak akan terkejut. Jutaan orang di muka bumi ini memiliki nama depan yang sama. Tapi kalau nama keluarga juga sama, rasanya sangat tidak masuk akal.

Ah, jangan-jangan Tuhan sedang mencandaiku.

“Ada apa, Kak?” Gadis itu balas menatapku dengan ekspresi keheranan.

“Serius namamu Rah-mah A-li-ah?”

Gadis itu mengangguk pelan.

“Memangnya kenapa, Kak?”

“Namamu sama seperti nama kakak perempuanku. Sayangnya dia sudah meninggal dunia.”

                                                           ***

Begitulah kisah ini dimulai. Saat itu, aku sedang menikmati pemandangan pesisir pantai Makassar dari jendela kamar Hotel Maroanging sambil memikirkan tunanganku, Wizy ketika mataku tanpa sengaja menemukan sosok Rahmah sedang berdiri seorang diri di tepi jalan. Awalnya, aku pikir dia pekerja THM yang sedang menunggu jemputan pulang. Makanya, aku hanya melihatnya sepintas lalu pandanganku kembali teralih ke tengah lautan.

Rahmah baru mengusik perhatianku ketika tiga remaja laki-laki yang baru saja turun dari mobil menghampirinya. Dan saat ketiga remaja itu mulai mengganggunya, aku langsung keluar dari kamar dan berlari turun ke bawah. Aku yakin ia membutuhkan pertolongan.

Dan benar saja. Ketika aku baru akan menyeberang jalan, ketiga remaja itu mulai memaksa Rahmah naik ke mobil. Rahmah menjerit. Ketakutan. Dia berusaha berontak sambil memohon agar mereka melepaskannya. Tetapi ketiga remaja itu sama sekali tak iba. Mereka terus menarik tangannya.

Gadis itu semakin panik saat melihat pintu mobil sudah terbuka di hadapannya. Dia mulai menangis. Tiga langkah lagi, dia mungkin akan mengalami malam yang paling buruk dalam hidupnya.

Darahku serasa mendidih. Saat itu aku seperti sedang melihat saudara perempuanku sendiri yang sedang dilecehkan di depan mataku. Aku mengumpat ketiga remaja itu lalu setengah berlari menyeberangi jalan.

“Lepaskan gadis itu!” bentakku.

Ketiga remaja itu menoleh kepadaku. Wajah mereka seketika berubah tegang, tampak marah, dan sepertinya ingin menantangku. Akan tetapi, sesuatu—yang kemungkinan besar insting hidup—membuat mereka mengurungkan niat. Ketiganya memandangiku sejenak kemudian saling lirik satu sama lain sebelum melepaskan tangan Rahmah dan kembali ke mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Kau tidak apa-apa?” tanyaku sesaat setelah mobil yang ditumpangi ketiga remaja itu pergi.

Rahmah mengangguk pelan.

“Terima kasih, Kak. Kau sudah menolongku.”

“Ah, itu bukan apa-apa. Aku hanya kebetulan saja melihat mereka mengganggumu,” ujarku. Kuperhatikan wajahnya, dia masih tampak ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah hampir jam dua malam. Sangat berbahaya bagi gadis sepertimu berdiri seorang diri di tempat seperti ini.”

Rahmah menceritakan musibah yang menimpanya. Lima jam lalu, dia dijambret dua pengendara motor di Jalan Haji Bau. Tasnya yang berisi dompet serta ponsel dibawa kabur para pelaku. Lantaran sudah tidak punya uang, dia akhirnya memutuskan ke Anjungan Pantai Losari.

“Aku berharap bertemu teman, keluarga, atau tetangga kos yang bisa membantuku. Tetapi selama berjam-jam berkeliling di anjungan, tidak satu pun orang yang kukenal. Aku juga tidak berani naik taksi,” tuturnya dengan raut wajah sedih.

“Memangnya kau tinggal sendirian?”

Dia menggeleng pelan. “Aku tinggal bersama temanku.”

“Lalu, kenapa kau mesti takut pulang? Mereka bisa membantumu membayar ongkos taksi setelah tiba di rumah. Kau tinggal meminta sopir menunggu sebentar. Ia pasti tidak akan keberatan kalau hanya beberapa menit. Kecuali kalau setelah masuk ke rumah kau langsung tidur, itu baru masalah.”

Rahmah tersipu malu. “Temanku pulang kampung sejak minggu lalu,” ujarnya. Dia kembali tersenyum lalu memegangi sikunya. 

“Sikumu kenapa? Apa kau terluka?”

Rahmah mengangguk. Perlahan-lahan dia mengangkat sikunya ke depan.

“Coba aku lihat.” Aku maju selangkah mendekatinya.

Awalnya Rahmah tampak ragu. Dia menatapku dari kepala hingga ke ujung kaki. Memperhatikan rambut kritingku, mataku, lututku, dan sendal yang aku kenakan. Setelah beberapa detik—mungkin setelah cukup yakin bahwa aku tidak memiliki aura penjahat—dia akhirnya menjulurkan tangan untuk memperlihatkan luka lecet di siku kanannya.

Darah di sekitar luka tersebut tampak sudah mengering. Itu pasti sangat perih. Saat masih remaja, aku sering sekali mendapat luka seperti itu ketika sedang bermain bola di sawah. Dan ketika luka seperti itu terkena air pertama kali, rasanya benar-benar luar biasa perih. 

“Bagaimana kau bisa sampai terluka seperti ini?”

“Aku sempat terseret di aspal saat mereka menarik tasku dari atas motor.”

“Usss!” ringisku. Aku bergidik membayangkan kejadian itu. “Kau beruntung tidak mengalami luka yang lebih serius.”

Rahmah tersenyum getir. Sepertinya dia memang sangat beruntung. Kalau saja dia terseret cukup jauh, bukan hanya siku, wajahnya juga pasti akan terluka.

“Kau percaya kepadaku?”

“Maksudnya?” Dia balik bertanya.

Lihat selengkapnya