Terima Kasih Sudah Menjadi Adik Perempuanku

Mario Matutu
Chapter #3

#3

MUNGKIN aku salah. Terserah kalian. Tetapi menurutku cara terbaik merayakan sebuah hubungan istimewa di masa sekarang adalah dengan jalan-jalan. Kemana saja. Bisa ke mal, mengunjungi tempat wisata, berlibur keluar negeri, atau bagi sepasang kekasih yang memang sudah merasa cocok dan mendapat restu orangtua bisa langsung “jalan-jalan” ke pelaminan.

Dan itulah yang aku dan Rahmah akan lakukan.

Sehari setelah ikrar persaudaraan kami buat dan janji saling menyayangi terucap, kami sepakat untuk berlibur. Aku mengusulkan ke Taj Mahal di India, Sweet Heart Abbey, Skotlandia, Petit Trianon, Prancis, Mirabell Palace and Gardens, Austria, dan Kodai-ji Temple, Jepang. Yang pernah mencari daftar monumen atau bangunan dengan sejarah cinta paling populer di dunia pasti tahu tentang tempat-tempat ini. Sementara Rahmah, dia mengajukan Ngarai Fjaorargljufur di Islandia, jalan-jalan ke Hongdae di Korea, dan mengunjungi Kota Jinan di Provinsi Shandong, China.

“Yang di Islandia itu ngarai hijau yang sangat indah. Itu keren, Kak. Pernah muncul di salah satu video klipp Justin Bieber, I’ll Show You. Kalau Hongdae, itu terkenal di kalangan anak muda karena tempat itu adalah kawasan nongkrong anak muda,” jelas Rahmah bersemangat. Sesekali ia mengelap dahinya yang berkeringat. Satu mangkok coto dan tiga ketupat sudah ia sikat habis.

“Terus, yang di China?” Aku bertanya dengan kedua alis terangkat tinggi.

Rahmah tampak malu-malu saat aku menatapnya untuk meminta penjelasan.

“Jinan itu sangat instagrammable. Di sana ada Danau Daming, konon itu tempat paling romantis di China, Kak,” ujarnya. Jawabannya sudah menjelaskan apa yang ada di kepalanya dan kenapa ia terlihat agak malu-malu.

Aku tersenyum. Bagaimana dan dari mana Rahmah bisa tahu tempat-tempat itu? Aku sendiri baru mendengar nama-nama tempat itu sekarang. Tapi sudahlah. Tak perlu kalian pikirkan. Generasi Z terkadang memang sangat mengejutkan.

Karena niat awalku ingin membuat Rahmah bersenang-senang, aku coret seluruh tempat yang sudah aku usulkan. Semua keputusan aku serahkan kepadanya. Rahmah bebas memilih tempat yang ingin ia kunjungi. Boleh yang mana saja asal ia bahagia. Ia berpikir hampir setengah jam. Berkali-kali ia minta bantuan Google sebelum akhirnya membuat keputusan. China. Ia mau ke Kota Jinan.

Segala yang kami rencanakan berjalan lancar. Ibunya di luar dugaan begitu mudah luluh pada keinginan putrinya. Rahmah meneleponnya hari itu juga dari warung coto di samping flyover dan ibunya, Bu Halimah memberi izin. Pesannya hanya tiga. Salah satunya, jangan abaikan salat. Boleh bersenang-senang, tetapi ibadah tetap nomor satu. Itu tidak sulit bagi Rahmah. Guru agamanya sudah menanamkan pesan itu di otaknya sejak SD.

“Serius itu ibumu?” tanyaku beberapa saat setelah ia kembali duduk di hadapanku.

Rahmah menatapku dengan wajah kesal yang dibuat-buat.

“Kau tidak percaya padaku?”

“Hanya ingin memastikan. Takutnya setelah kita berangkat ke China, keesokan harinya sketsa wajahku sudah muncul di program kriminal dengan tuduhan membawa kabur anak gadis orang. Bisa-bisa ayahku mati mendadak karena malu.”

Rahmah cemberut.

Aku tersenyum.

Anak ini cemberut pun masih manis. Aku tidak bohong. Sumpah.

                                                           ***

Dan, hari ini, tibalah waktunya untuk jalan-jalan. Sore ini, kami sudah di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin. Pesawat tujuan Bali berangkat jam lima. Mulur setengah jam dari jadwal awal. Biasa. Indonesia. Maklumi saja.

Kok Bali? Daripada kalian bingung, aku akan jelaskan alasannya kenapa kami batal ke China.

Pertama, Rahmah tidak punya paspor. Kedua, pengurusan visa ribet. Ketiga, ia masuk dalam kepanitiaan inti penyambutan mahasiswa baru di fakultasnya. Keempat, ibunya berubah pikiran.

Aku jelaskan dulu tentang keputusan ibunya. Setelah berpikir semalaman, Bu Halimah mendadak khawatir. Katanya China terlalu jauh. Dia tak yakin masih bisa menemukan kembali putri semata wayangnya kalau ia hilang di sana. Bu Halimah tahu seluas apa negara komunis terbesar dunia tersebut. Rahmah sempat merajuk kembali. Ibunya melunak. Namun, ada syaratnya. Hanya boleh pergi satu hari. Aku seperti sedang digelitik enam tuyul saat Rahmah menceritakan syarat yang disebutkan ibunya. Ada-ada saja Bu Halimah. Itu mustahil. Waktu sehari hanya akan habis di perjalanan.

Kelima, aku ada rapat penting bersama Pak Sutikno. Keenam, Tuhan memang belum mengizinkan Rahmah jalan-jalan ke luar negeri.

Lalu, kenapa harus Bali?

Setelah batal berangkat ke China, kami mencocokkan selera kami soal tempat wisata di Indonesia dan akhirnya sepakat memilih Pulau Dewata. Sorry. Aku koreksi. Mencocokkan selera mungkin tidak terlalu tepat untuk menggambarkan bagaimana kemudian kami sepakat ke Bali. Dengan jaringan bisnis kafe, restoran, gym, dan segala macam usahaku yang bertebaran di hampir setiap provinsi, aku sudah mendatangi semua kota dan hampir seluruh tempat wisata di seluruh negeri ini. Dari Pantai Wisata Onggaya, Merauke hingga Gua Sarang di Sabang, kota paling barat dalam wilayah Indonesia. Secara otomatis aku punya banyak pilihan untuk dikunjungi. Sebaliknya, Rahmah seumur-umur hanya pernah ke Bali. Itupun dengan biaya pemerintah. Dua tahun lalu, ia menjadi anggota paskibraka provinsi. Setelah menjalankan tugas mengibarkan duplikat bendera pusaka pada acara 17-an ia dan teman-temannya mendapat hadiah berwisata ke Bali.

Sudah jelas, bukan?

Kami berangkat.

Kami tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai jam 6.30 petang dan segera ke mal. Kami hanya membawa selembar pakaian dan butuh beberapa lembar lagi untuk petualangan dua hari berikutnya di Pulau Dewata.

Selesai berbelanja di mal dan makan malam, aku mengajak Rahmah ke Pantai Kuta, berkeliling sejenak lalu ke Hotel Aryaduta. Tadi sore sebelum kami berangkat, aku sudah pesan kamar.

Sepanjang perjalanan menuju hotel, Rahmah tampak sangat bahagia. Sesekali ia menoleh ke arahku lalu tersenyum.

Lihat selengkapnya