“ANAKKU benar-benar sudah gadis sekarang.”
“Mama pasti ingat Kak Rahmah. Iya, kan?”
“Ssst! Kakakmu sudah di surga.”
“Tapi serius Mama tidak suka?”
Syamsiah mengangguk, tersenyum, lalu membelai kepala putra bungsunya dengan lembut.
KAMPUS MERAH
SEMINGGU KEMUDIAN
Arung menggerutu di depan panggung. Seluruh jurus mengibaskan rambut sudah ia keluarkan, namun tidak satu pun yang bisa membantunya. Setiap kali bergerak, gerahnya malah semakin menjadi-jadi.
Sekarang ia merasa seperti sedang berada di tengah-tengah Death Valley (Lembah Kematian) di California, Amerika Serikat yang diklaim sebagai tempat paling panas di bumi. Sekujur tubuhnya sudah basah oleh keringat. Kaus oblong yang ia kenakan bahkan tak ubahnya baju yang baru saja selesai dicuci dan ia pakai lagi sebelum sempat bertemu jemuran.
Saat Kabut Band baru saja menuntaskan lagu keempatnya, Arung benar-benar sudah tidak tahan lagi untuk tetap berdiri di depan panggung.
Matanya mulai berkunang-kunang.
Sebentar lagi akan muncul bintang-bintang di atas kepalanya seperti di film-film kartun.
Tak lama lagi pandangannya akan gelap.
Bumi akan segera berputar.
Dan prakkk!.
Gelap.
Arung meringis ngeri.
Itu pasti sangat memalukan.
Kalau sampai pingsan di depan panggung, semua orang akan menertawakannya. Selain rambut panjang sejak dulu dianggap simbol kekuatan seorang pria—bahkan para ksatria di zaman kerajaan hampir seluruhnya digambarkan sebagai sosok berambut panjang—saat ini ia juga mengenakan celana robek-robek. Rambut panjang dan celana robek-robek jelas perpaduan yang benar-benar diharamkan untuk pingsan dalam situasi apa pun. Itu seperti lelucon pria gondrong dilarang minum susu putih.
Arung tambah bergidik saat membayangkan reaksi teman-temannya. Kalau ia betul-betul pingsan, mereka pasti akan mengejeknya sepanjang tahun dan kian merendahkan kemampuannya memikat hati wanita. Teman-temannya mungkin akan berkata seperti ini: Bagaimana mungkin kamu bisa menaklukkan hati seorang gadis kalau gerah dan terik matahari saja sudah membuatmu terkapar?
Makanya, sebelum penglihatannya benar-benar gelap, Arung memutuskan segera menyingkir dari depan panggung. Ia memang sangat mengidolakan Kabut Band, tapi belum terlalu bodoh untuk mempertaruhkan harga dirinya.
Untuk sesaat, Arung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari tempat menonton yang nyaman. Dan setelah beberapa detik, ia memutuskan berteduh di bawah pohon mangga tak jauh dari panggung.
Dua orang gadis sudah lebih dulu berteduh di bawah pohon mangga tersebut. Tapi tentu saja bukan mereka yang menjadi alasannya memilih berteduh di sana. Dengan tubuh yang seluruhnya sudah basah oleh keringat, sekarang bukan saat yang tepat untuk menebar pesona.