ILHAM menyeruput kopi yang baru saja diletakkan Mama Nur di atas meja lalu menoleh pada Arung dan berkata, “Saya dengar dari teman-teman kamu berkelahi tadi siang.”
Mereka di MaceZone sejak lima menit lalu.
Ini tempat nongkrong Arung dan teman-temannya. Semacam lapak atau warung berjualan. Letaknya di lantai 2 gedung FIS V Fakultas Sastra. Mace dalam bahasa gaul Makassar berarti mama atau ibu. Jadi, MaceZone kurang lebih berarti area berjualan Mama Nur.
Akan tetapi, jangan membayangkan MaceZone seperti kantin kampus pada umumnya. Ini hanya koridor perbatasan antara fakultas Sastra dan Sospol. Sehari-hari, Mama Nur berjualan di tempat ini dengan sebuah meja kecil. Sementara Arung dan teman-temannya duduk di kursi fakultas yang sudah tidak terpakai lagi.
“Masalah apa sih, Arung?” tanya Ilham.
“Preman mabuk.”
“Mabuk?”
“Mereka memalak dua mahasiswa Sospol.”
“Mahasiswa atau mahasiswi?”
“Terserah kamu menyebutnya apa, yang pasti cewek. Saya tegur baik-baik, eh mereka malah menyerang saya,” jelas Arung.
Arung dan Ilham bersahabat sejak mahasiswa baru. Mereka pertama kali bertemu pada hari pertama kuliah dan langsung akrab. Sebenarnya, mereka sama-sama berasal dari Kabupaten Barru. Namun, sebelum kuliah mereka belum saling kenal. Di Unhas, Arung jurusan Ilmu Sejarah sedangkan Ilham Sastra Indonesia.
“Kamu harus berhati-hati Arung. Kamu tahu sendiri bukan preman dari kampung belakang seperti apa. Bulan lalu mereka mengeroyok sopir angkot sampai nyaris tewas.”
“Masalah itu sudah selesai, tidak perlu dibahas lagi,” kata Arung. “Oh ya, mana gitar yang kita pakai kemarin?”
Arung mengalihkan pembicaraan.
“Ada di ruang senat. Tapi saya bisa kok turun mengambilnya. Asalkan ....”
“Asalkan apa?”
Ilham melirik gelas kopinya sambil menggerakkan kedua alisnya.
“Dasar. Mama Nur, kopi mahasiswa kurang mampu ini saya yang bayar!” teriak Arung.
“Cerdas. Saya jalan dulu, Bos.”
Ilham baru saja menghilang di ujung koridor saat terdengar suara ribut-ribut dari lantai 1. Arung mencoba mengintip ke bawah. Namun, dari tempatnya berdiri ia hanya bisa melihat kaki orang-orang itu.
“Sebagian cari ke atas. Yang lain ikut saya.”
Salah satu dari pria itu terdengar memberi perintah dengan suara yang cukup keras sehingga Arung langsung mengetahui kalau mereka sedang mencari seseorang. Penasaran, Arung menyeberangi beton pembatas dan berjongkok untuk menguping pembicaraan mereka. Setelah hampir satu menit menguping dan tidak ada nama yang mereka sebut, Arung kembali ke tempat duduknya.
Arung baru saja menyesap tehnya ketika telinganya samar-samar mendengar salah satu dari pria itu menyebut ciri-ciri orang yang sedang mereka cari; gondrong, baju hitam, dan celana hitam robek-robek di kedua lututnya. Seketika Arung tersentak. Semua ciri-ciri itu menggambarkan dirinya.
Benar saja, ketika tiga orang pria muncul di ujung koridor, mata Arung langsung mengenali salah satu dari mereka. Pria yang berjalan paling depan adalah Si Pria Bertato yang berkelahi dengannya dua jam lalu.
“Itu orangnya!” teriak Si Pria Bertato menunjuk ke arah Arung.
Walaupun jarak mereka masih cukup jauh, Arung dengan jelas bisa melihat memar di wajah pria itu.
“Arung, mereka ....” Mama Nur tidak melanjutkan kalimatnya. Perempuan paruh baya tersebut tampak khawatir melihat ketiga pria itu mendekati Arung dengan wajah penuh amarah.
“Tenanglah, Mama Nur.”
Arung masih duduk dengan santai di kursinya. Sama sekali tidak tampak gurat ketakutan di wajahnya. Dia malah masih sempat menyesap tehnya dua kali sebelum berdiri dan menantang ketiga pria tersebut.
“Ternyata kamu belum kapok juga, ya. Baiklah, tambah satu orang tidak masalah. Majulah, kita selesaikan persoalan yang belum tuntas tadi siang.”
Tanpa bicara lagi, Si Pria Bertato menerjang Arung disusul dua temannya. Perkelahian tidak seimbang terjadi. Mendapat pukulan bertubi-tubi, Arung terdesak. Tiga pukulan mendarat di tubuhnya. Ia terhuyung-huyung. Satu pukulan bahkan membuat bibirnya berdarah. Inilah pelajaran penting bagi Arung atau siapa pun: jangan pernah meremehkan musuhmu meskipun kamu meninggalkan rumah dengan bekal sabuk hitam karate.
Ketiga pria itu terus menyerang Arung yang tampak kewalahan menangkis serangan-serangan mereka. Mama Nur semakin panik. Dia berteriak minta tolong. Namun, suasana di sekitar gedung FIS V saat itu sedang sepi. Suara Mama Nur langsung terbang ke langit tanpa seorang pun yang mendengarnya.
Untungnya, ketiga pria itu mendesak Arung ke arah sudut sehingga mereka tidak bisa lagi menyerang bersamaan. Itu membuat Arung mulai bisa memberi perlawanan. Bahkan dua menit kemudian, ketiga penyerangnya sudah tersungkur di lantai.
Tetapi perkelahian itu belum selesai. Saat Arung sedang memperbaiki rambutnya yang acak-acakan, lima pria lain yang bertampang lebih sangar muncul dari arah kantor akademik. Lalu, di belakang mereka menyusul pria berkacamata hitam dengan tubuh kekar.