“ADA kuliah subuh, ya?”
“Astaga.”
Arung hampir terjungkal dari kursi. Ia benar-benar kaget Daeng Naba tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Saat baru datang beberapa menit lalu, ia melihat pegawai fakultas itu masih menyapu di depan ruang akademik.
“Tumben datang cepat,” kata Daeng Naba setelah menarik kursi dan duduk di depan Arung. Sama sekali tidak tampak perasaan bersalah di wajah Daeng Naba. Sebaliknya, ia terlihat senang sudah berhasil membuat Arung terkejut.
“Ada kuliah pagi Daeng Naba.”
“Kuliah apa sepagi ini?”
“Kebudayaan Maritim Indonesia.”
“Oh, ya?”
Arung mengangguk.
Dua alis Daeng Naba terangkat tinggi saat menatap mata Arung. Ia memang tidak tahu apa pun soal mata kuliah mahasiswa. Namun, sebagai pegawai kebersihan sekaligus pemegang kunci fakultas, ia tahu Arung berbohong kepadanya. Dari sejak rambutnya masih hitam hingga sekarang setelah hampir seluruhnya sudah memutih, jadwal kuliah pertama di kampus ini belum pernah berubah. Pukul 08.00 pagi. Dan pengalaman dia selama belasan tahun bekerja di Kampus Merah ini, mahasiswa rata-rata baru datang setengah jam sebelum perkuliahan dimulai. Kalau pun ada yang datang lebih awal, pastinya juga tidak sepagi ini.
Meskipun masih sangat penasaran, Daeng Naba tidak lagi melanjutkan pertanyaannya. Masih banyak pekerjaan yang jauh lebih penting yang mesti ia selesaikan ketimbang “menginterogasi” Arung.
“Saya lanjutkan pekerjaan dulu, Arung. Ruangan di lantai dua belum terbuka.”
“Silakan, silakan Daeng Naba.”
Daeng Naba langsung pergi setelah menarik sebatang rokok yang disodorkan Arung kepadanya. Tak sampai satu menit, ia sudah menghilang dari pandangan Arung.
Arung tersenyum. Untuk sementara aman, pikirnya.
Memang agak sulit bagi Arung menghindari pertanyaan dari orang-orang yang melihatnya pagi ini. Selain karena sekarang memang baru jam 06.45, hampir semua orang yang mengenalnya di fakultas—mulai teman seangkatan, juniornya, seniornya, hingga ibu-ibu pedagang kaki lima—tahu kalau mahasiswa semester tujuh itu punya masalah dengan bangun paginya. Kebiasaan begadang membuatnya sangat susah bertemu sinar matahari pertama. Untungnya, mata kuliah dosen yang tidak pernah mau berkompromi soal waktu semuanya terjadwal siang. Itulah yang menolongnya sehingga kuliahnya selama ini baik-baik saja.
Lima menit setelah Daeng Naba pergi, Mama Nur muncul. Dari jauh, mata Mama Nur sudah membelalak. Mulutnya terbuka lebar. Dia hampir tidak percaya melihat Arung sedang duduk di koridor lantai 1.
“Ini seperti mimpi. Benar-benar luar biasa,” kata Mama Nur sambil meletakkan termos air panas dan keranjang jualannya ke lantai. Matanya mengawasi Arung seperti seorang petugas kepolisian yang sedang menginterogasi tersangka pencuri ayam yang terus berusaha mengelak meski sudah tertangkap tangan bersama ayam curiannya.
“Ah, ini biasa.”
“Biasa bagaimana? Ini belum jam 7, Arung.”