Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #4

Hati yang Terpenjara

MASALAH Arung dengan Si Tukang Parkir selesai setengah jam kemudian. Satpam rektorat yang turun tangan membuat ciut nyali Si Tukang Parkir. Ia akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Segera setelah urusannya di parkiran beres, Arung segera kembali ke MaceZone. Ia tampak terburu-buru ketika menaiki tangga menuju lantai 2. Dan saat melihat Ilham dari kejauhan, ia langsung berlari menghampirinya.

“Cepat, Kawan, temani saya. Gadis itu .... yang tempo hari saya ceritakan padamu, tadi saya bertemu dia di tempat parkir. Kita harus ke Fakultas Sospol sekarang juga. Hari ini, saya harus berkenalan dengannya.”

“Ada apa Arung Mario?”

Ilham yang satu bulan terakhir menjadi orang yang paling “tersiksa” mendengar ocehan Arung soal Annie, pura-pura tidak mengerti maksud sahabatnya.

“Gadis itu, Kawan. Dia sudah ....”

“Pesan teh dulu. Biasanya, gugup seseorang akan hilang setelah minum teh. Jangan khawatir, kali ini saya yang traktir.”

“Tidak perlu. Tadi pagi saya sudah minum teh dua gelas.”

Arung sudah tidak sabaran. Wajahnya terlihat sangat gembira seakan-akan baru saja menerima kiriman uang dari orangtuanya. Bagi mahasiswa yang hidup jauh dari keluarga seperti Arung, tidak ada lagi yang lebih menggembirakan daripada menerima kiriman uang. Apalagi kalau uang di dompet benar-benar hanya tinggal selembar dengan jumlah nol yang memprihatinkan.

“Siapa sebenarnya yang sedang kamu bicarakan?” tanya Ilham kembali sambil meletakkan gitar yang sejak tadi dipegangnya. Sungguh menyenangkan mengerjai sahabat yang sedang jatuh cinta, ucapnya dalam hati.

“Annie. Mahasiswa Sospol itu. Sudahlah, jangan pura-pura lupa. Tinggalkan gitar itu di sini dan habiskan kopimu. Saya harus bertemu gadis itu sebelum dia menghilang lagi,” desak Arung.

“Tunggu dulu, Arung. Coba kamu perhatikan baik-baik, kopi ini masih panas. Lihat asapnya, tidak mungkin saya menghabiskannya sekarang,” kata Ilham. Ia berusaha menahan dirinya agar tidak tertawa.

“Kopi masih bisa menunggumu di sini sampai sore, jadi simpan saja dulu.”

“Tidak bisa. Ini kopi pertama saya hari ini. Selain itu, mubazir kalau harus ditinggalkan.”

“Sini berikan gelas itu kepadaku.”

“Eh, kamu mau apa?”

“Biar saya yang habiskan.”

“Tidak usah, saya bisa menghabiskannya sendiri. Ayo, duduklah dulu dan atur napasmu. Kalau perlu kamu stretching dulu. Bertemu gadis idaman itu juga perlu pemanasan, Kawan.”

“Saya tak butuh pemanasan. Yang saya butuhkan sekarang bertemu gadis itu.”

Arung berhasil merampas gelas yang dipegang Ilham. Sekali teguk, gelas berisi kopi yang masih mengepulkan asap itu langsung kosong.

Mata Ilham melotot. Dahinya berkerut dalam. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Arung menghabiskan kopinya hanya dengan sekali teguk. Padahal, selain masih panas, kopi setahu dia adalah musuh utama lambung Arung. Mencicipi kopi sedikit saja Arung biasanya sudah langsung muntah. Tapi kali ini ia terlihat baik-baik saja. Arung bahkan sama sekali tidak mual.

“Efek jatuh cinta memang sangat dahsyat. Oh Tuhan, keanehan apa lagi yang akan Engkau perlihatkan kepadaku selanjutnya?” gumam Ilham.

“Tidak perlu membawa-bawa nama Tuhan. Cepat ikut saya.”

Meski tampak terpaksa, Ilham tidak berusaha menolak saat Arung mulai menarik tangannya. Ia langsung berdiri lalu mengikuti sahabatnya yang sudah berjalan ke arah Fakultas Sospol.

Malaikat cinta kali ini berdiri tepat di samping Arung. Baru saja menuruni tangga tempatnya terjatuh bulan lalu, matanya sudah menemukan sosok Annie. Gadis itu bersama seorang temannya sedang duduk di depan Himpunan Sosiologi. 

“Itu dia orangnya,” kata Arung setengah berbisik. Melihat Ilham melongo kebingungan, Arung melanjutkan, “itu yang duduk di depan Himpunan Sosiologi.”

“Yang mana? Di sana ada dua orang.”

“Yang rambutnya sebahu, baju biru, yang sedang membaca buku.”

“Oh itu, toh. Baiklah, tunggu apa lagi, kita ke sana sekarang.”

Giliran Ilham yang menarik tangan Arung.

“Sabar dulu, Kawan.”

Arung berusaha melepaskan tangannya. Ia agak kaget dengan reaksi sahabatnya yang tiba-tiba seperti ingin menyeretnya ke hadapan gadis itu.

“Kenapa berhenti?” tanya Ilham.

“Tunggu dulu, Kawan. Kita harus menyusun rencana dengan baik. Kalau kita tiba-tiba muncul di hadapannya, bagaimana kalau ternyata dia merasa tidak nyaman? Kita akan malu kalau dia sampai marah dan mengusir kita.”   

“Ah, itu urusan belakangan. Yang terpenting sekarang kita ke sana dulu. Demi memperjuangkan cinta sahabatku, saya bersedia menanggung malu. Saya ditampar juga tidak apa-apa.”

“Tapi ....”

“Tidak perlu tapi-tapi lagi.”

Arung berusaha berpegangan di sudut tembok, namun tarikan tangan Ilham terlalu kuat. Ia sekarang seperti kerbau yang dicolok hidungnya sehingga tak bisa berbuat apa pun lagi selain mengekor di belakang sahabatnya. Ketika jarak mereka semakin dekat, Ilham mempercepat langkahnya. Saat itu, perasaan Arung mulai tidak enak. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ini sudah di luar skenario.

“Berhenti dulu, Ilham!” Arung memohon dengan suara tertahan. “Setidaknya beri saya kesempatan berdoa atau mengatur napas dulu.”

“Tidak usah. Doa apa pun tidak akan membantu lagi kalau situasinya sudah seperti ini.”

Arung pasrah. Tidak ada lagi yang bisa ia perbuat. Dan setelah sampai di depan Annie, tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, Ilham langsung menepuk bahu gadis itu.

Jantung Arung yang tadinya hanya berdegup kencang seketika seperti sudah mau copot. Ia tidak menyangka Ilham tiba-tiba menepuk bahu gadis itu.

Dan ....

Lihat selengkapnya