PERPUSTAKAAN kampus masih sangat sepi siang itu. Arung yang baru saja muncul di pintu dengan segera bisa menemukan Annie yang sedang asyik membaca novel di kursi pojok meja baca.
Melihatnya sendiri, senyum Arung mengembang. Restu Tuhan bersamanya, pikirnya. Tanpa menunggu lagi, ia buru-buru menyimpan tasnya di lemari penitipan barang dan melangkah menghampiri gadis itu.
“Hai, Annie,” sapa Arung, berusaha membuat suaranya selembut mungkin. Ia ingin menunjukkan sosok dirinya yang sebenarnya; mahasiswa baik, lelaki yang lembut, bukan berandalan kampus seperti penilaian Annie.
“Arung?” Annie tampak terkejut melihat Arung tiba-tiba ada di hadapannya. Sejenak ia menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Ilham mana?”
“Biasa, aktifis, lagi rapat di fakultas.”
“Oh. Terus kamu kenapa ada di sini?” tanya Annie sambil menutup novel yang dipegangnya. “Atau jangan-jangan kamu memang sering ke perpustakaan, ya?”
“Ah tidak. Saya datang ke sini hanya saat ada yang benar-benar penting,” jawab Arung jujur.
“Kalau begitu, berarti hari ini ada yang penting dong?” pancing Annie.
Pertanyaan bernada menyelidik itu membuat Arung kikuk. Ketika Annie mulai menatap matanya, Arung bahkan merasakan dadanya berdebar tak karuan. Mata indah gadis itu benar-benar merontokkan seluruh kepercayaan dirinya.
Menyadari perubahan di wajah Arung, Annie mencoba berbasa-basi dengan mengomentari kaos yang dikenakannya. “Baju kamu bagus. Saya suka.”
Kaus hitam bertuliskan puisi Aku Ingin Jadi Peluru dan sketsa wajah Wiji Thukul itu memang terlihat menarik.
“Beli di mana?”
“Ini anugra.”
“Anugerah, maksudnya?”
“Anugra, anu gratis. Pemberian teman yang baru pulang dari Bandung,” jawab Arung.
Basa-basi Annie ternyata cukup ampuh. Arung tampak langsung rileks kembali.
Ia bahkan sudah bisa bercanda.
“Ngomong-ngomong ada apa, sih?” Annie mengulang pertanyaannya.
“Kamu tidak sedang sibuk, kan?” Arung balik bertanya.
“Tidak. Hanya ada sedikit tugas kuliah. Sepuluh menit juga selesai, kok. Tapi ada apa,
sih? Kok sepertinya penting sekali sampai harus bertanya saya sibuk atau tidak.”
“Begini Annie, saya minta waktu untuk mengobrol sebentar.”
“Arung, kita sudah bicara sejak tadi.”
Annie terkekeh pelan sementara Arung menggaruk kepalanya karena salah tingkah.
“Maksud saya, saya ingin bicara tentang kita.”
“Tentang kita? Saya tidak mengerti. Ada apa dengan kita?”
“Kemarin Ilham sudah bicara padamu, kan?”
Sejak tadi Annie berusaha bersikap baik. Dia mencoba melupakan kejadian di toilet dan parkiran. Namun, setelah Arung menyinggung pembicaraan antara dirinya dan Ilham kemarin sore di halte, wajahnya seketika berubah masam.
“Saya tidak mau membicarakan hal itu lagi. Kalau masih mau mengobrol dengan saya, kita bahas yang lain. Kalau tidak, pergi saja. Saya masih ada tugas kuliah yang harus diselesaikan,” tegas Annie. Dia kembali membuka novel yang dipegangnya. Membacanya lagi. Namun, baru tiga paragraf, Arung sudah kembali berbicara kepadanya.
“Tapi saya ingin mendengar langsung dari mulut kamu.”
Sudah telanjur basah, kata Arung dalam hati.
“Apa bedanya?”
Annie mengangkat wajahnya menatap Arung.
“Jelas akan berbeda.”
“Kalau begitu, coba jelaskan, apa bedanya?”
“Bisa saja ada sesuatu yang disembunyikan Ilham.”
“Saya yakin tidak ada. Dan saya pikir semuanya sudah jelas. Tapi baiklah kalau kamu memang ingin mendengarnya secara langsung, saya akan jawab sekarang.”
“Terima kasih.”
“Saya tidak bisa menerima cintamu. Saya tidak akan pernah mau menjadi kekasihmu. Puas dengan jawaban saya? Sekarang pergilah. Saya harus mengerjakan tugas kuliah saya sekarang.”
“Tapi.”
“Apa lagi?”
“Kamu mungkin ....”
“Tidak perlu dilanjutkan, saya tahu kok apa yang ingin kamu katakan. Dengar baik-baik, Ilham sudah menjelaskan siapa dan bagaimana kamu, Arung. Semuanya, dari A sampai Z. Kamu orang baik, begini, begitu, dan sebagainya. Kamu sempurna untuk dijadikan kekasih. Tapi itu versi sahabatmu. Sekali lagi, itu menurut Ilham dan itu tidak akan bisa mengubah penilaian saya terhadapmu. Setelah kejadian di toilet dan tempat parkir itu, bagi saya, kamu itu hanya preman kampus.”
“Itulah yang saya maksud, Annie. Kamu telah salah menilai saya.”