TUHAN sepertinya sedang tidak tertarik menghentikan Arung. Sesaat setelah menyelesaikan kuliah terakhirnya, Arung sudah berdiri di koridor lantai 1 untuk menunggu Annie. Dan saat gadis itu muncul dari arah Fakultas Sospol satu jam kemudian, ia langsung berdiri menyambutnya.
“Apa kabar Annie?”
Arung mencoba berbasa-basi sambil melemparkan senyum paling indahnya. Tapi alih-alih membalas senyum atau menjawab pertanyaan Arung, gadis itu malah memasang wajah kurang senang sambil mempercepat langkahnya.
Namun, tekad Arung sudah bulat. Wajah dongkol gadis itu tidak ampuh lagi untuk membuatnya membatalkan rencana yang sudah ia buat. Cinta memang terkadang membutuhkan sedikit rasa malu, tegasnya dalam hati.
Beberapa meter sebelum sampai di halte depan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Annie baru sadar kalau ternyata Arung mengikutinya. Tadinya dia cukup yakin wajah masamnya sudah membuat Arung kembali ke tempat duduknya. Apalagi, setelah melintasi tempat parkir, dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
“Kenapa kamu mengikutiku?”
“Saya hanya ingin mengantarmu pulang.”
“Saya bisa pulang sendiri, tidak perlu diantar.”
“Saya yang perlu.”
“Kamu kenapa, Arung?” Annie terdengar frustasi. “Saya harap kamu belum gila.”
“Amin.”
“Dasar gila.”
“Saya gila karena kamu.”
Darah Annie mendidih. Tetapi dia sadar percuma meladeni Arung. Makanya, dia kembali berjalan tanpa mempedulikan Arung yang terus mengekor di belakangnya. Tiba di halte Annie buru-buru naik ke angkot yang baru saja menurunkan penumpang. Annie benar-benar ingin segera menjauh dari Arung. Namun saat mengangkat wajahnya setelah duduk, dia mendapati Arung juga sudah duduk di hadapannya.
“Kamu?”
“Hmmm.”
“Setop dulu, Pak.”
Annie berteriak meminta sopir menghentikan angkotnya lalu mencoba berdiri. Karena angkot sudah telanjur bergerak, nyaris saja dia terjatuh. Untung Arung dengan sigap memegang kedua tangannya.
So sweet.
Kalau di film-film bergenre romantis, setelah adegan seperti ini, si gadis biasanya akan menatap mata sang cowok dengan kagum. Lalu, kisah selanjutnya, mereka menjadi sepasang kekasih. Tapi nasib Arung di angkot ini berbeda 180 derajat. Tidak ada tatapan penuh cinta di mata Annie. Gadis itu malah cemberut dan buru-buru menarik tangannya tanpa mengucapkan terima kasih. Namun, Arung sudah cukup bersyukur sebab Annie ternyata membatalkan niatnya turun dari angkot.
Berhasil melewati “rintangan” pertama, Arung mencoba membuka percakapan dengan pertanyaan basa-basi. Tentang kuliah. Perpustakaan. Kegiatan himpunan. Hingga jumlah SKS (Satuan Kredit Semester) yang sudah diselesaikan Annie. Tapi gadis itu bungkam. Itu membuat Arung tampak seperti orang sakit jiwa yang sedang berbicara dengan tiang listrik. Untungnya penampilan Arung sebelas-dua belas dengan preman terminal sehingga dua mahasiswi yang sejak tadi memperhatikan dia sambil berbisik-bisik tidak sampai menyilangkan tangan di jidat mereka.
Setelah setengah perjalanan, Annie bukan lagi sekadar diam. Dia mulai membuang muka. Seakan-akan Arung yang duduk di hadapannya adalah mahluk kotor menjijikkan yang baru keluar dari kubangan lumpur yang dipenuhi ikan busuk. Gadis itu baru memperbaiki posisi duduknya ketika gapura lorong masuk ke rumah kosnya sudah mulai terlihat. Pintu gerbang itu seolah-olah merupakan kunci pagar penjara yang akan memberinya kebebasan.
Tapi ketika angkot sudah berhenti di depan gapura, amarah Annie meledak lagi karena Arung ternyata ikut turun. Arung bahkan terus membuntutinya hingga ke depan pintu pagar rumah kosnya.
“Sudah Arung! Berhenti di sini!”
Annie berpaling dan membentak Arung. Wajahnya memerah. Gadis itu semakin emosi setelah menyadari ternyata beberapa temannya yang sedang duduk di halaman memperhatikan mereka.
“Kamu memang sudah gila. Tidak tahu malu. Pergi dari sini!” umpat Annie dengan suara tertahan dan gigi geregetan.