“TUHAN, ada apa ini?”
Arung mengucek matanya karena tidak yakin dengan penglihatannya. Ia bahkan mengulanginya hingga tiga kali. Dan setelah yang ketiga, ia akhirnya baru benar-benar yakin kalau Annie memang sedang tersenyum.
Itulah senyum pertama gadis itu kepadanya. Dan melengkapi keterkejutannya, Annie menyapanya dengan lembut saat mereka sudah berdiri berhadap-hadapan di tempat di mana ia selalu menunggunya setiap hari.
“Hei, Arung. Bagaimana kabarmu?”
“Eh, Annie,” kata Arung lalu bergumam, “tumben.”
“Ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Annie saat melihat bibir Arung bergerak seperti sedang mengatakan sesuatu.
“Oh, tidak. Tidak ada. Tidak ada apa-apa.”
Bukan hanya terkejut, Arung juga kikuk dengan perubahan sikap Annie. Ketika gadis itu kembali melemparkan senyum indahnya di tangga samping tempat parkir, Arung bahkan nyaris terjatuh. Melihat senyum manis gadis pujaannya, ia merasa seperti sedang melayang di udara. Beruntung Tuhan menolongnya. Sebelum jatuh—yang ia yakini akan membuatnya terguling-guling, mungkin pingsan dan langsung koma karena kepalanya terbentur dengan keras di aspal—Tuhan menyadarkannya dari lamunannya.
“Tuhan, jangan menggodaku,” ujar Arung pelan sehingga lebih mirip desahan napas.
“Kenapa Arung?” tanya Annie sambil terus tersenyum. Telinganya sempat menangkap kata ‘Tuhan’ yang diucapkan Arung.
“Oh tidak ada apa-apa. Tadi saya tersandung, hampir jatuh,” jawab Arung dengan wajah merona merah. Karena Annie tampak tidak percaya dengan jawabannya, Arung melanjutkan, “serius. Tidak ada apa-apa. Ayo kita jalan lagi. Sudah sore.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Namun, melihat Arung masih meringis kebingungan dan terus menggaruk kepalanya, Annie kembali berhenti di samping gedung rektorat.
“Ada apa, sih? Jujur dong.”
“Saya serius, tidak ada apa-apa.”
“Kamu heran dengan perubahan sikap saya, ya?”
Arung hanya mengangkat bahunya. Otaknya sedang berpikir keras dan untuk sesaat ia tidak mampu memikirkan jawaban yang tepat agar tidak terlihat semakin kebingungan.
Arung makin heran saat mereka tiba di halte. Selama ini, atau setidaknya sepanjang yang ia ingat, setelah tiba di halte, gadis itu akan langsung naik ke angkot pertama yang melintas. Annie seperti alergi dengan tempat duduk halte. Tapi sekarang, dia malah meletakkan tasnya dan duduk dengan santai tanpa menghiraukan suara klakson angkot yang bersahut-sahutan memanggilnya.
“Tuhan, jawablah? Ada apa ini?”
Arung bertanya dalam hati. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
“Hei!” Annie menepuk bahu Arung, membuat cowok itu tersentak. “Kok melamun, ada apa sih? Katakan padaku, apa yang sedang kamu pikirkan? Sebelum-sebelumnya kamu selalu mengajak saya duduk di halte ini, sekarang, giliran saya mau, eh kamu malah bengong. Atau kamu tidak suka ya kita duduk berlama-lama di sini? Kalau memang tidak suka, ayo antar saya pulang sekarang.”
Annie menarik tasnya, pura-pura akan berdiri sambil menghitung dalam hati, satu .. dua .. tiga ... Persis seperti prediksinya, Arung berdiri mencegahnya sebelum sampai pada hitungan kelima.
“Oh, tidak, bukan begitu. Kita di sini saja dulu. Saya senang kok kita bisa duduk berdua seperti ini. Malah sudah sejak lama saya menantikan momen-momen seperti ini.”
Saat ini Arung benar-benar bingung dengan perubahan sikap Annie. Ini seperti mimpi. Mimpi sore hari. Sangat jarang terjadi.
Arung tahu selama ini Annie sangat membencinya. Tidak perlu menyusun daftar perlakuan buruk Annie kepadanya karena itu pasti terlalu panjang. Cukuplah pertemuan terakhir mereka kemarin. Gadis itu mencak-mencak dan mengusirnya dengan kata-kata kasar saat ia mengatakan ingin berkenalan dengan teman-teman satu kosnya. Jadi, rasanya mustahil dia bisa berubah 180 derajat hanya dalam waktu beberapa jam saja.
Apa gadis ini sedang sakit?
Apa gadis ini semalam terjatuh di toilet, kepalanya terbentur dan bagian otaknya yang mengolah emosi dan perasaan sedikit bergeser sehingga dia kini tidak bisa lagi membenci siapa pun termasuk dirinya?
Atau, jangan-jangan ini sudah campur tangan Tuhan. Mungkin Tuhan kasihan kepadanya dan kini Sang Pengatur Jodoh sudah turun tangan membantunya dengan meniupkan cinta di hati Annie. Kalau Tuhan sudah ingin menyatukan hati mereka, apa lagi yang bisa dilakukan Annie selain menerima cintanya?
Atau ....
Kepala Arung penuh sesak dengan pertanyaan. Terlalu banyak keanehan yang terjadi sore ini.
Terlalu ....
“Kamu sungguh-sungguh mencintaiku, Arung?”
Otak Arung seperti langsung berhenti bekerja. Ia benar-benar kaget mendengar pertanyaan Annie. Selain itu, ia merasa Annie sebenarnya tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut. Kalau tidak ada perasaan cinta sebesar Gunung Rantemario di hatinya, ia tidak mungkin bisa begitu sabar menerima caci maki gadis itu setiap hari. Cintanya pada Annie seperti emas 24 karat. Murni.
“Apa kamu benar-benar mencintaiku?” Annie mengulangi pertanyaannya.
“Apa?” Arung balik bertanya, pura-pura tidak mendengar pertanyaan Annie.
“Sa-ya... ber-ta-nya...., apa-kah... ka-mu ...be-nar...be-nar.... men-cin-ta-i-ku?”
Annie mengeja pertanyaannya meskipun yakin Arung sudah mendengarnya sejak pertama kali dia bertanya. Jarak mereka sangat dekat dan tidak ada kendaraan yang melintas atau suara ribut apa pun di sekitar halte yang bisa mengganggu pendengaran Arung. Kecuali kalau Arung memang punya masalah pendengaran, berarti kegilaannya selama ini karena masalah yang satu itu.
“Ya.”
“Ya, apa?”
“Tentu saja saya menyukaimu.”
“Bukan suka, tapi cinta. Kamu mencintaiku?”
“Apa bedanya?”
“Tentu saja berbeda. Ketika kita mencintai seseorang, apapun akan kita lakukan untuknya. Ini bisa dibilang kasta tertinggi dari perasaan kita pada seseorang karena demi orang yang kita cintai, kita rela mengorbankan apa pun.”
“Begitu ya?”
“Yang pernah saya baca begitu.”
Arung belum menjawab pertanyaan Annie. Ia tampak berpikir sambil memandang atap gedung PKM. Dua ekor burung kutilang tampak bercengkrama riang di sana.
“Bagaimana?” desak Annie.
“Dua bulan saya seperti orang gila yang tanpa rasa malu mengantarmu pulang. Saya pikir itu sudah cukup membuktikan kalau saya memang mencintaimu.”