Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #10

Preman

MEREKA meninggalkan Pantai Losari sekitar pukul sebelas malam. Awalnya, Annie sempat menolak untuk pulang bersama Arung. Dia bilang sudah tidak mau lagi berurusan dengan cowok itu. Namun, Wina yang khawatir dia pulang tengah malam seorang diri berhasil membujuknya.

Meski demikian, mood Annie sudah telanjur buruk. Sejak meninggalkan Losari, tak sekali pun dia melirik ke arah Arung apalagi berbicara dengannya di atas angkot. Arung sementara itu hanya termenung sepanjang jalan memikirkan nasib cintanya yang kandas dengan cara yang benar-benar membuatnya jera untuk jatuh cinta lagi.

Hampir satu jam mereka saling mendiamkan. Arung baru mulai membuka obrolan saat mobil kampus yang mereka tumpangi memutar di pintu II. “Kamu seharusnya bicara baik-baik kepadaku, tidak harus dengan cara seperti tadi,” keluh Arung sambil mengusap wajahnya yang masih terlihat terpukul.

“Salah kamu sendiri. Sejak awal saya sudah bilang kalau saya tidak suka padamu. Tapi kamu terus saja memaksa. Kamu bahkan membuatku malu,” ketus Annie dengan suara meninggi, membuat sopir angkot melirik mereka lewat kaca spion yang terpasang di dasbor mobilnya.

“Tetap saja kamu berlebihan, Annie. Saya memang menyukaimu, saya sangat mencintaimu, tapi saya tidak akan mengejer-ngejar kamu kalau tahu kamu sudah punya kekasih. Saya juga tidak mau merusak hubungan orang lain,” sesal Arung. Ia kecewa. Sakit hati. Malu. Dan lebih parah lagi, ia terpuruk.

“Semua sudah terjadi. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Sekarang kamu sudah tahu semuanya, jadi mulai besok, berhenti menggangguku. Kita akhiri semuanya malam ini. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Dan ... baiklah, saya meminta maaf. Mungkin yang saya lakukan tadi memang sedikit berlebihan, tapi kamu juga sudah membuatku malu. Jadi sekarang kita impas,” tegas Annie lalu berteriak, “berhenti di depan, Pak!”

Mobil mengerem mendadak.

“Kenapa kamu turun di sini, Annie?” Arung bertanya karena lorong masuk ke rumah kos Annie masih cukup jauh. Gapuranya bahkan belum terlihat dengan baik. Namun, Annie tak menggubrisnya. Gadis itu sudah melompat turun sebelum angkot benar-benar berhenti.

“Tolong tunggu sebentar, Pak.” Arung menyusul turun, mencoba membujuk Annie untuk naik kembali ke angkot. Sekarang sudah jam dua belas malam dan ia mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. “Ayolah Annie, naiklah kembali. Setidaknya ijinkan saya mengantarmu untuk yang terakhir kalinya.”

“Tidak.”

“Saya janji, ini yang terakhir,” kata Arung. Tadi dia sebenarnya sudah berniat turun di dalam kampus namun karena khawatir keselamatan Annie, ia membatalkan niatnya.

“Tidak perlu!.”

“Atau begini, biar saya turun juga di sini.”

“Kalau kamu tidak naik kembali ke mobil, saya akan teriak. Saya akan bilang ke orang-orang kalau kamu mencoba menggangguku,” ancam Annie.

Benar-benar gadis keras kepala. Arung mengumpat di dalam hati lalu naik kembali ke angkot. Sesaat setelah ia duduk kembali, mobil bergerak perlahan melewati Annie yang berjalan terburu-buru.

Setengah menit berikutnya, Arung turun di depan pintu I kampus. Setelah membayar ongkos angkotnya, ia langsung berlari menyeberang jalan. Ia baru melewati garis pembatas tengah jalan, ketika sopir angkot berteriak memanggilnya.

“Ada apa, Pak?”

“Teman kamu diganggu preman di depan ....”

Sebelum sang sopir menyelesaikan kalimatnya, Arung sudah menyeberang kembali lalu berlari ke arah Annie.

Suasana saat itu sangat sunyi. Sama sekali tidak ada kendaraan yang melintas. Mahasiswa yang biasanya masih hilir mudik di sekitar lorong masuk rumah kos Annie pada jam-jam seperti ini juga tak terlihat satu orang pun.

Dari kejauhan Arung bisa melihat Annie dikelilingi empat pemuda. Salah seorang di antaranya tampak memeluk Annie dari belakang dan berusaha mencium pipinya. Gadis itu meronta-ronta. Tetapi usahanya melepaskan diri dari pria bertubuh besar yang memeluknya sia-sia. Kekuatannya sama sekali tidak bisa mengimbangi pria itu.

Lihat selengkapnya