Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #11

Penyesalan Annie

SUARA sirene sayup-sayup terdengar dari kejauhan memecah keheningan malam di sekitar rumah sakit. Tiga perawat yang sedang bertugas di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) serentak berdiri dari kursi mereka dan mempersiapkan ranjang pasien.

Ketika suara sirene terdengar makin dekat, ketiga perawat tersebut langsung mendorong ranjang pasien keluar. Beberapa detik berikutnya, sebuah ambulans muncul dan berbelok masuk ke rumah sakit melalui pintu gerbang yang dijaga dua petugas keamanan.

Suasana seketika menjadi ramai. Keluarga pasien yang sejak beberapa menit lalu sudah berbaring di ruang tunggu bangun kembali. Mereka berlarian ke pelataran UGD dan mengerumuni ambulans yang baru saja berhenti. Beberapa orang tampak berusaha mengintip masuk lewat kaca jendela ambulans yang buram.

“Permisi, permisi, permisi,” teriak salah satu perawat meminta jalan saat kedua rekannya mendorong ranjang pasien turun ke pelataran. “Cepat turunkan. Awas, awas, beri jalan.”

“Hati-hati, ada dua anak panah menancap di punggungnya,” tegur sopir ambulans yang turun dengan terburu-buru untuk membantu memindahkan tubuh bersimbah darah Arung ke ranjang pasien.

Darah seketika berceceran di lantai.

Tubuh Arung baru saja menghilang di balik pintu UGD ketika Annie muncul. Tadinya gadis itu ingin ikut di ambulans, namun teman-teman satu kosnya meminta dia berganti pakaian terlebih dahulu karena celana dan bajunya berlumuran darah.

“Saya bisa masuk, Pak? Itu teman saya.”

Annie meminta ijin kepada security yang berjaga di depan pintu.

“Maaf, untuk sementara belum ada yang bisa masuk. Silakan tunggu di luar saja, biar dokter menanganinya terlebih dulu.”

Berselang lima belas menit, Ilham muncul bersama tiga temannya dan langsung menghampiri Annie yang masih berdiri di depan pintu sambil mengintip ke dalam ruang UGD melewati pundak security.

“Bagaimana keadaan Arung?”

“Dia terluka parah.”

Wajah Ilham tampak sangat cemas. Matanya bergerak liar mencoba mencari tahu keadaan sahabatnya di dalam ruang UGD dengan berjinjit di samping gadis itu. Tetapi pandangannya terhalang tirai-tirai berwarna hijau sehingga sama sekali tidak bisa melihat Arung.

“Sebenarnya, apa yang terjadi, Annie?”

Ilham menarik tangan Annie, mengajaknya menjauh dari pintu setelah usahanya mengintip ke dalam UGD lewat celah kaca pintu tak membuahkan hasil.

“Saya hampir diculik empat pemuda, Ilham. Lalu, Arung datang menolongku. Ia dikeroyok dan pingsan karena terkena anak panah dan balok kayu di kepalanya.”

Annie mulai menangis. Tubuhnya gemetar ketika menceritakan peristiwa yang menimpanya setengah jam lalu. Kengeriannya belum hilang. Bayangan utuh kejadian itu berkelebat di pikirannya bersama perasaan takut yang luar biasa.

“Ini semua salah saya, Ilham.”

“Tenanglah, Annie.’

“Ilham, bagaimana kalau Arung sampai meninggal?”

“Ssst, jangan katakan itu. Arung pasti bisa diselamatkan.”

Ilham mencoba menenangkan Annie sambil mengajaknya duduk di kursi ruang tunggu. Melihat Annie sudah sedikit lebih tenang, Ilham kembali bertanya. “Dokter bilang apa?”

 “Saya juga belum bertemu dokter. Tadi, saat saya tiba di sini, Arung baru saja dimasukkan ke ruang UGD,” jawab Annie. Matanya masih berkaca-kaca.

Suasana hening.

“Keluarga Arung Mario!”

Teriakan perawat di pintu masuk UGD membuyarkan lamunan mereka. Ilham dan Annie sesaat saling berpandangan sebelum berdiri dan melangkah mendekati perawat tersebut.

“Ada apa, Pak?” tanya Ilham.

“Kami mencari keluarga, Arung Mario,” jawab perawat itu sambil mengibas-ibaskan kartu mahasiswa Arung.

“Keluarganya belum datang, Pak. Tetapi kami semua temannya,” ujar Ilham sembari menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti sedang memperkenalkan Annie serta teman-temannya yang juga sudah bergabung bersama mereka di depan pintu.

“Begini, pasien kehilangan sangat banyak darah dan sekarang ia butuh beberapa kantong untuk transfusi karena harus segera dioperasi.”

“Operasi?” tanya Annie tertahan.

“Ya, dia harus dioperasi sekarang.”

Lihat selengkapnya