SEMBILAN jam berlalu, Arung belum juga sadarkan diri. Annie yang menungguinya bersama Ilham terpaksa bolos kuliah. Gadis itu hanya pulang sebentar untuk mandi karena badannya benar-benar sudah terasa sangat lengket oleh keringat. Tubuh Annie terakhir kali merasakan guyuran air saat akan berangkat ke kampus kemarin pagi.
Setelah mandi dan mencuci pakaiannya yang berlumuran darah, Annie langsung kembali ke rumah sakit. Ilham memintanya buru-buru karena ia harus masuk kampus. Katanya, ada tugas kuliah yang mesti ia setor ke dosennya sebelum sore.
Beberapa saat setelah Ilham pergi, Wina muncul dari pintu belakang. Kejadian yang menimpa Arung ramai dibicarakan di kampus dan gadis itu secara tidak sengaja mendengarnya saat melintas di Fakultas Sastra.
“Kamu tahu dari mana kalau saya di sini?”
“Saya dengar dari beberapa mahasiswa Sastra kalau Arung bersama seorang gadis diserang preman. Saya langsung yakin kalau gadis itu pasti kamu karena semalam kalian pulang bersama,” kata Wina sambil memeluk sahabatnya di kantin rumah sakit.
“Saya benar-benar jahat, Win. Arung sekarang koma karena saya.”
“Kita berdua jahat sama dia.”
“Arung sudah terluka parah saat itu, tapi ia tetap saja berusaha melindungiku. Ia bahkan mengorbankan dirinya untuk menahan anak panah yang diarahkan padaku,” ujar Annie lirih.
“Arung memang orang yang baik, Annie. Makanya, kita seharusnya tidak membohongi dia soal Dedi. Saya juga berutang budi padanya dan saya sangat menyesal harus bersandiwara soal lamaran itu,” ujar Wina.
Annie memandang Wina. “Kamu berutang budi padanya?”
“Ya. Itulah kebenarannya.”
“Jadi, kalian sebelumnya sudah saling kenal?”
Wina mengangguk pelan.
“Kalian kenal di mana?” Annie tampak bingung. Dia yakin Wina merahasiakan sesuatu darinya.
“Kamu ingat kejadian di acara konser musik Fakultas Ekonomi beberapa bulan lalu?”
“Konser musik?”
“Masa kamu lupa, sih. Itu, yang waktu saya bersama Uly diganggu preman sebelum kamu datang. Kamu ingat, kan?”
“Tunggu .. tunggu ... Maksud kamu, saat kalian ditolong seorang mahasiswa gondrong yang jago karate itu dan .... ” Annie menutup mulutnya dengan tangan. Dia seperti baru saja melihat kakek tua yang selama ini ia sangka pengemis turun dari mobil mewahnya dan membagi-bagikan uang kepada warga miskin di pemukiman kumuh. “Jadi, mahasiswa gondrong yang menolong kalian hari itu .... itu Arung?”
Wina mengangguk. Perasaan bersalah terlihat nyata di wajahnya.
“Tapi kenapa saat di kamarku kamu bilang tidak mengenal dia?”
“Iya, selama ini saya mengenalnya sebagai Arum bukan Arung,” potong Wina. “Selain itu, kami memang baru bertemu lagi tadi malam di Losari.”
“Astaga. Apa yang telah kita lakukan, Win?” Mata Annie seketika berkaca-kaca.
“Semalam saya sudah berusaha mengatakannya kepadamu. Ketika pertama kali melihat Arung, saya sudah mau bilang padamu supaya membatalkan rencana kita karena saya yakin dia bukan berandalan kampus seperti yang kamu kira. Tapi kamu tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskannya. Kamu malah terus memaksaku memulai sandiwara itu, jadi ya, saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginanmu.”
Wina mengangkat kedua bahunya. Wajahnya tampak dipenuhi penyesalan.
“Oh Tuhan, jadi kejadian di toilet sore itu juga masih rangkaian peristiwa di konser musik itu?”
“Toilet?”
“Preman-preman di toilet itu, kamu ingat, kan? Hari itu, setelah menonton konser kita sama-sama ke toilet lalu datang belasan preman. Mereka memaksa masuk tapi saya mencegatnya di pintu.”