Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #13

Saya Menyerah, Tuhan

SETELAH dirawat beberapa hari di rumah sakit, kondisi kepala serta punggung Arung mulai membaik. Bahkan, sore itu, ditemani Ilham, ia sudah terlihat berjalan-jalan di sekitar gedung perawatan tempatnya dirawat setelah pindah dari ruang ICU.

“Besok saya sudah diperbolehkan pulang, Kawan.”

Mereka mengobrol di pinggir kolam ikan koi di samping gedung perawatan. Sesekali Arung melemparkan kerikil kecil ke dalam kolam yang membuat ikan berwarna warni indah tersebut langsung berhamburan menjauh. Setelah melihat kerikil melayang di air, ikan-ikan tersebut serentak mendekat lagi dan mengikuti batu itu hingga ke dasar kolam.

“Kenapa kamu harus buru-buru pulang. Tinggallah dulu satu atau dua minggu lagi.”

Sejak hari kelima, Arung sudah ngotot ingin pulang. Ia bosan berada di rumah sakit. Tetapi dokter tidak mengizinkannya karena ia kadang masih merasakan sakit di kepalanya. Setelah dokter memeriksanya kembali tadi pagi dan memastikan bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, ia akhirnya diperbolehkan pulang.

“Ini saja sudah lama sekali. Rasanya seperti berada di dalam penjara. Membosankan. Sepanjang hari hanya bisa menatap tembok kamar dan tidak bisa ke mana-mana.”

“Kalau bisa bebas, itu namanya tidak sakit, Pak Arung Mario.”

“Apa ada kabar soal para pelaku?” tanya Arung mengalihkan pembicaraan. Kemarin ia meminta Ilham ke kantor polisi untuk mencari tahu informasi tentang para pelaku yang mengeroyoknya.

“Semua sudah dipenjara. Polisi menangkap mereka satu hari setelah kejadian. Mereka awalnya membantah, tapi setelah dipertemukan dengan Annie, mereka akhirnya mengaku.”

“Syukurlah kalau mereka sudah tertangkap. Orang-orang seperti itu tidak boleh berkeliaran di luar. Mereka sangat berbahaya.”

“Kalau mendengar cerita Annie, sepertinya mereka sudah sering mencegat gadis-gadis yang pulang larut malam seorang diri. Saya bahkan curiga sebelumnya sudah ada korban yang mereka perkosa. Hanya saja korbannya mungkin malu atau takut sehingga tidak ada yang melapor ke polisi.”

“Di mana gadis itu?”

“Maksudmu para korban?”

“Bukan, Andi Ilham Manurung!”

“Lalu, gadis yang mana yang Bapak Arung Mario tanyakan?”

“Annie.”

“Oh, gadis bermata indah itu. Dia masih kuliah. Tapi sebentar lagi dia pasti akan datang karena saat kami bertemu di kampus tadi siang, dia bilang akan ke sini, sore ini.”

“Kira-kira jam berapa dia akan datang ke sini?”

“Bersabarlah sedikit, Kawan. Cepat atau lambat pemilik tulang rusukmu itu pasti akan datang.”

Arung tersenyum sejenak. Ingatannya kembali ke kejadian malam itu. Hampir saja nyawanya melayang. “Dia hampir membuatku terbunuh, Ilham. Kalau malam itu dia mau mendengarkan perkataanku, saya tidak perlu ada di rumah sakit ini,” kata Arung beberapa detik kemudian.

Ilham berdeham. “Risiko cinta, Bung.”

“Gadis itu benar-benar keras kepala.”

“Ada yang baru sadar rupanya,” sindir Ilham. “Makanya, lain kali, kalau sudah dilarang, dengarkan, jangan keras kepala. Kamu rasakan sendiri kan akibatnya sekarang? Bikin repot saja. Seandainya ....”

“Sst! Diam, diam.”

Arung memotong “ceramah” Ilham karena melihat Annie muncul dari pintu samping gedung perawatan bersama Wina.

“Ada apa?”

“Dia datang,” jawab Arung sambil menelengkan kepala ke arah Annie dan Wina.

“Wah, wah, wah. Baru dibicarakan, sudah muncul. Sepertinya kalian memang berjodoh,” celoteh  Ilham. “Lanjutkan perjuanganmu, Kawan.”

“Diamlah, Ilham!”

Beberapa detik berikutnya, kedua gadis itu sudah bergabung di pinggir kolam. Arung langsung menyapa mereka sambil mengawasi Ilham yang mulai memperlihatkan senyum mengejek.  

“Dia sudah menunggumu sejak tadi, Annie.”

Arung seperti ingin menerkam Ilham saat itu juga dan mencakar-cakar mulutnya yang cerewet. “Jangan percaya omongannya, Annie,” kata Arung sambil menatap Ilham dengan dongkol.

“Kenapa menatapku seperti itu? Mau saya ceritakan semua yang kita obrolkan tadi?”

“Saya menyerah,” Arung mengangkat tangannya. Ia tidak mau meladeni sahabatnya.

“Kalian kenapa?” tanya Annie.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Arung cepat.

Annie mengalihkan pandangannya ke Ilham karena tidak yakin dengan jawaban Arung. Tapi sebelum dia sempat bertanya, Ilham sudah bertanya lebih dulu.

“Itu apa, Annie?” tanya Ilham sembari melirik kantong plastik yang ditenteng gadis itu.

“Oh, ini roti. Tadi Wina membelinya di depan rumah sakit,” jawab Annie, sedikit kikuk.

“Wah, kok saya?” Wina langsung protes.

“Maksud saya, kami.”

Lihat selengkapnya