SENIN pagi. Arung muncul di kampus dengan penampilan berbeda. Rambut panjangnya sudah tidak ada lagi. Ia menggunduli kepalanya kemarin sore setelah melihat dirinya di cermin tampak seperti Hakim Roda Emas—sosok penjahat botak dalam film Return of the Condor Heroes yang top di tahun 90-an.
Ketika bertemu Ilham di koridor lantai 1, sahabatnya itu langsung mengomentari penampilan barunya sambil memandanginya dengan ekspresi yang benar-benar sangat menjengkelkan. “Ternyata kamu lumayan gagah juga dengan kepala plontos. Harusnya sejak dulu penampilan kamu seperti ini, jadi kami tidak perlu mencemaskanmu. Terus terang, saya dan teman-teman sempat khawatir melihat kamu terus menerus menjomlo. Kami takut kamu akan menghabiskan masa tuamu seorang diri.”
Arung meringis mendengar celoteh Ilham. Teman-temannya cemas ia menjomlo? Omong kosong. Mereka malah senang dan mendoakannya terus menjomlo.
“Ini serius, Arung. Kami semua takut kamu benar-benar akan menjomlo seumur hidup. Coba bayangkan bagaimana kalau itu sampai terjadi. Siapa yang akan mengurus kamu saat sudah tua? Kami? Jangan mimpi, itu tidak mungkin, Sobat.”
“Mungkin memang sudah waktunya saya harus jujur kepadamu, Kawan. Dengar baik-baik, selama ini saya memang sengaja membuat diri saya tampak jelek dengan penampilan urakan. Itu saya lakukan karena saya tidak mau terlihat terlalu mempesona dan jadi rebutan gadis-gadis. Sekarang terbukti, kan? Saya hanya ke tukang cukur Madura dan kamu sudah terkagum-kagum melihat penampilan rupawanku. Setelah melihatku setampan ini, kamu pasti menyesal tidak terlahir sebagai perempuan. Iya kan? Tapi tidak perlu terlalu disesali, Bro. Karena kalaupun kamu lahir sebagai seorang perempuan, saya yakin kamu bukan tipeku.”
Ilham tertawa kecut.
“Kenapa tertawa?”
“Saya pikir setelah Fir’aun meninggal dunia, tidak ada lagi manusia sombong yang berkeliaran di muka bumi ini. Ternyata saya salah besar. Saya malah bersamanya setiap hari selama bertahun-tahun. Benar-benar seperti bunglon.”
“Kalau tidak ada lagi hal lain yang ingin kamu bicarakan selain Fi’raun, lebih baik kamu angkat kaki dari sini. Hari ini saya hanya ingin bersama Annie dan tidak mau diganggu siapa pun.”
“Mentang-mentang sudah punya pacar, teman lama langsung dicampakkan. Dasar tidak tahu berterima kasih.”
Tadi malam Arung sudah mengumumkan pada dunia lewat Ilham bahwa dia dan Annie telah menjadi sepasang kekasih. Annie sebenarnya sudah mewanti-wanti dia untuk merahasiakan hubungan mereka kepada orang lain untuk sementara waktu. Namun, nilai Bahasa Indonesia Arung “terlalu bagus” sehingga dia bisa menemukan celah untuk segera membagi kebahagiaannya. Ilham adalah sahabatnya. Dan bagi dia, sahabat bukanlah orang lain.
“Ngomong-ngomong kalian mau ke mana, sih?” tanya Ilham beberapa saat kemudian.
“Annie ingin ke perpustakaan. Sebagai kekasih siaga, saya harus menemani dia.”
“Aneh juga, ya?”
“Kenapa?”
“Tiba-tiba kalian sudah menjadi sepasang kekasih.”
“Saya kan sudah bilang sejak awal.”
“Tetapi saya masih belum percaya legenda La Mallo dan I Muna itu. Apalagi, kalau dipikir-pikir, kamu sebenarnya hanya sedang beruntung sehingga Annie bersedia menerima cintamu.”
“Kamu memang tidak pernah mempercayai daya tarik yang saya miliki, Kawan.”
“Puih! Daya tarik. Daya tarik apa? Kalau bukan karena preman-preman itu, kamu sekarang pasti masih di kamarmu yang gelap, meringkuk dan menangisi nasib. Kamu akan jomlo sampai sarjana.”
“Oe sahabatku Ilham, preman-preman itu tidak membantuku mendapatkan cinta Annie. Mereka ingin membunuhku. Lihat jahitan di kepalaku ini.” Arung melepas topinya. “Ini 17 jahitan. Tambah beberapa jahitan lagi, mungkin sekarang saya sudah di alam lain.”
“Akui saja.”
“Apanya yang harus saya akui?”
“Setidaknya preman-preman itu punya andil besar membuat Annie kasihan padamu.”
“Jadi kamu pikir Annie hanya kasihan kepadaku? Kamu salah besar kalau berpikir seperti itu, Bro. Yang sebenarnya terjadi, Annie baru sadar kalau dia sudah melakukan kesalahan dengan menolak cintaku sejak awal.”
“Katakan itu pada anak SD. Mereka pasti akan percaya.”
“Sepertinya kamu memang perlu diberi sedikit pelajaran.”
Arung siap-siap mencekik Ilham. Ia sudah berdiri sambil mengarahkan tangannya ke leher sahabatnya. Namun, suara halus dari arah belakang menghentikan gerakan tangannya.
“Eheemm.”
Arung duduk kembali setelah menoleh dan mendapati Annie sudah berdiri di belakangnya. Tapi perdebatan tak berbobot kedua sahabat itu belum berakhir.
“Kalau tidak percaya apa yang tadi saya katakan, silakan bertanya sendiri pada Annie.”
“Bertanya padaku?” Dahi Annie berkerut saat memandangi kekasih dan sahabatnya secara bergantian. “Ada apa?”
“Tidak usah diladeni. Tadi pagi kepalanya terbentur pintu toilet dan sekarang otaknya sedikit terganggu.”
Arung langsung berdiri lalu menarik tangan Annie dan pergi meninggalkan Ilham yang masih berusaha mengganggunya dengan celoteh-celoteh mengejek. Tidak sampai satu menit, mereka sudah menghilang di balik gedung Fakultas Sospol.
“Ilham tadi menyuruh kamu bertanya padaku soal apa?” tanya Annie saat mereka sudah menaiki tangga menuju ke perpusatakaan.
“Ah, dia cuma bercanda.”
“Memangnya dia bilang apa?” desak Annie.
“Katanya kamu hanya terpaksa menerima saya sebagai kekasihmu. Tidak mungkin, kan?”
“Kalau benar?”
Arung membelalak di ujung tangga sebelum akhirnya tersenyum kembali saat Annie menggapai tangannya dan menggenggamnya dengan mesra.
*******
Seperti biasa, hari itu, perpustakaan kampus sangat sepi. Hanya ada lima mahasiswa baru yang terlihat sedang berjalan di antara rak-rak buku di tengah ruangan. Sekarang ini, memang masih gampang mengenali para mahasiswa baru. Selain rambut yang masih pendek, ke mana-mana mereka juga selalu jalan bergerombol.
“Inilah potret suram perpustakaan kita. Mahasiswa datang ke sini hanya saat mereka masih mahasiswa baru. Setelah itu, mereka menghilang seakan-akan alergi dengan bau buku. Mereka baru muncul kembali dua-tiga atau bahkan empat tahun kemudian saat orangtuanya sudah mulai sering mengomel tentang wisuda. Yang rutin berkunjung hanya para kutu buku. Itu pun jumlahnya, yaaa, bisa dihitung jari. Sangat sedikit. Miris sekali.”
Sambil mengikuti Annie yang berjalan di antara rak-rak buku, Arung berceloteh tentang keprihatinannya pada kondisi perpustakaan saat ini. Lebih tepatnya, ia sedang membicarakan dirinya sendiri.
“Masih ada satu tipe mahasiswa yang kadang-kadang datang ke perpustakaan yang
belum kamu sebut, Arung.” Annie berhenti mendadak membuat Arung menabrak tubuhnya dari belakang.
“Tipe seperti apa?” tanya Arung ingin tahu.
“Seperti kamu,” jawab Annie.
“Saya?”
“Ya, golongan mahasiswa yang terpaksa ke perpustakaan untuk menemani pacarnya. Coba sekarang kamu jujur padaku, selama hampir empat tahun kuliah, berapa kali kamu menginjakkan kaki di perpustakaan ini?”
Arung hanya tersenyum mendengar pertanyaan Annie. Kekasihnya memang benar. Sejak lulus kuliah, ia baru tiga kali datang ke perpustakaan. Yang pertama saat masih mahasiswa baru. Itu kunjungan lazim maba yang pada minggu-minggu pertama kuliah berusaha menjauh dari seniornya. Bagi maba dan tentu saja Arung saat itu, tempat paling aman dari senior yang masih sok berkuasa setelah Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) adalah perpustakaan.
Kunjungan keduanya, ketika dia menemui Annie untuk memastikan gadis itu benar-benar sudah menolak cintanya. Dan yang ketiga, hari ini, saat dia menemani Annie yang telah menjadi kekasihnya.
Intinya, dari tiga kunjungannya ke perpustakaan, tidak ada yang berkaitan langsung dengan kuliahnya. Fakta yang sangat memalukan karena sebagai mahasiswa, ia semestinya menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan dan membaca buku sebanyak mungkin. Menyadari kebodohannya, Arung menertawai dirinya sendiri di belakang Annie yang sudah mengalihkan perhatiannya kembali ke rak buku.
Lima menit kemudian, Annie sudah menemukan buku yang dicarinya dan mengajak Arung ke meja baca di pojok perpustakaan.
Annie baru saja membuka buku itu saat menyadari Arung masih berdiri di depannya sambil tersenyum.
“Kok senyum-senyum begitu?” tanya Annie penasaran. “Ada yang lucu?”
Arung tidak langsung menjawab. Ia tetap berdiri sambil terus tersenyum.
“Arung, katakan padaku. Ayo .... cepat, cepat, cepat.”