MINGGU pagi di Desa Matajang.
Arung sedang bersantai di serambi depan bersama Obet ketika Mail muncul dari ujung lorong dengan setengah berlari. Melihat mahasiswa Sospol itu tampak panik, keduanya serentak berdiri.
“Ada apa, Mail?” teriak Arung sebelum Mail sampai di depan posko.
“Kita harus ke kecamatan sekarang, Kawan,” kata Mail terengah-engah sambil memegangi pinggangnya di depan pagar.
“Keluar ke kecamatan? Untuk apa?” tanya Arung. “Ayo, naiklah dulu. Kita bicara di sini.”
“Ada apa?” Nahar yang keluar dari kamar dengan terburu-buru setelah mendengar suara ribut-ribut di serambi depan langsung ikut bertanya. Di belakangnya mengekor Devi dan Mitha dengan wajah kebingungan.
“Dua teman kita tenggelam di sungai,” jawab Mail sambil berusaha mengatur napasnya di anak tangga terakhir.
Suasana seketika berubah menjadi heboh.
“Tenang dulu teman-teman. Kabar ini belum tentu benar,” kata Arung.
“Ini benar, Arung,” ujar Mail masih ngos-ngosan.
“Kamu tahu dari mana kalau berita itu benar?”
“Semua warga yang baru pulang dari pasar membicarakannya. Mereka bilang pencarian korban sedang berlangsung sekarang dan teman-teman kita dari desa lain hampir semuanya sudah ada di sana,” jelas Mail.
“Kalau benar, lalu yang tenggelam siapa? Fakultas apa?” selidik Arung.
“Saya juga belum tahu. Tapi kalau ingin tahu siapa yang tenggelam dan memastikan berita itu benar atau tidak, kita lebih baik keluar ke kecamatan sekarang,” jawab Mail.
“Iya Arung. Siapa tahu informasi itu memang benar,” timpal Obet.
Arung menoleh sejenak ke temannya yang lain untuk meminta persetujuan. Melihat Devi dan Nahar mengangguk, ia berkata, “Baiklah. Kita berangkat sekarang.”
Mereka langsung masuk ke dalam rumah untuk mengambil rompi KKN masing-masing. Setelah minta ijin kepada istri kepala desa yang sedang memasak di dapur, mereka berenam langsung berangkat.
Untungnya mereka bergerak cepat. Saat tiba di jalan desa, mobil yang baru saja mengantar warga muncul dari lorong samping rumah sekretaris desa. Sebelum mobil angkutan desa itu benar-benar berhenti Arung dan teman-temannya sudah melompat naik.
“Kalian pasti mau ke tempat mahasiswa yang tenggelam itu, kan?” kata Sang Sopir saat mobil mulai bergerak.
“Jadi, memang benar ya, Pak?” tanya Arung.
“Iya, kejadiannya jam delapan pagi. Tadi sebelum ke sini saya juga sempat ke sana.”
Arung dan teman-temannya tampak sangat shock. Sepanjang perjalanan, mereka nyaris tidak berbicara satu sama lain.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di tempat kejadian. Seperti kata Mail, hampir semua teman kecamatan mereka sudah berkumpul di tempat itu. Mereka berbaur bersama ratusan warga menyaksikan proses pencarian.
Menurut warga, korban, Nining dan Ratih tenggelam ketika mereka tengah mencuci di tepi sungai ditemani Siti, seorang gadis desa yang tinggal di samping posko KKN. Nining saat itu sedang berenang di tepi sungai ketika ia tiba-tiba berteriak minta tolong karena ada yang menarik kakinya. Bermaksud menolong temannya, Ratih menjulurkan tangannya. Akan tetapi, bukannya menyelamatkan Nining, ia malah ikut terseret ke dalam air. Siti sempat berusaha menarik rambut Ratih. Namun dia memutuskan melepaskan pegangannya karena tubuhnya juga ikut tertarik masuk ke dalam air.
“Mereka diambil buaya penunggu sungai, Arung. Kemarin sore, salah seorang warga di sini, memang sempat melihat buaya itu muncul ke permukaan air. Menurut kepercayaan warga di sini, saat buaya itu menampakkan diri, itu berarti dia akan mengambil korban lagi. Sayangnya, warga lupa memberitahukan hal itu kepada teman-teman kita yang berposko di sini,” jelas Wina saat bertemu Arung. Mata gadis itu tampak bengkak karena menangis.
Hingga sore, kedua korban belum juga ditemukan. Bahkan setelah jam empat sore, pencarian sudah dihentikan. Tim SAR, aparat keamanan, dan warga hanya duduk mengobrol di tepi sungai. Wajah-wajah mereka tampak kelelahan setelah melakukan pencarian hampir sepanjang hari.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang teman-teman? Sungai ini sangat dalam dan berlumpur sehingga membutuhkan peralatan khusus untuk pencarian di dasar sungai. Tim SAR kampus yang punya peralatan lengkap sebenarnya sudah bergerak ke sini, tapi mereka baru meninggalkan Makassar sekitar satu jam yang lalu. Itu artinya mereka baru bisa melakukan operasi pencarian besok pagi. Untuk saat ini, yang bisa kita harapkan hanya penyelam pasir yang sudah dihubungi Pak Camat. Tapi mengingat sekarang sudah sore, saya tidak yakin mereka akan datang. Jadi, kalau keputusan diserahkan kepada saya selaku Koordinator Kecamatan, lebih baik pencarian dihentikan saja dulu,” kata Faisal yang mengumpulkan teman-temannya di pinggir sungai.
“Saya setuju. Kita juga harus mengerti kondisi Tim SAR dan warga yang sudah berjam-jam melakukan pencarian,” ujar Ridwan, Sekretaris Kecamatan yang duduk di sebelah Faisal.
“Bagaimana pendapat teman-teman yang lain?” tanya Faisal.
“Sekarang baru pukul empat sore. Saya pikir, masih ada waktu sekitar dua jam untuk melakukan pencarian. Setidaknya kita harus tetap berusaha dulu sambil menunggu penyelam pasir. Siapa tahu mereka sedang dalam perjalanan ke sini.”
Arung mengutarakan pendapatnya. Semua mata langsung tertuju kepadanya.
“Menurut kamu, apa yang mesti kita lakukan, Arung?” tanya Faisal.
“Kalau hanya duduk seperti ini di pinggir sungai, tentu tidak akan ada hasil. Kita harus tetap berusaha,” jawab Arung.
“Tapi kita tidak mungkin memaksa Tim SAR dan warga untuk kembali melakukan pencarian,” potong Ridwan.
“Kita memang tidak akan memaksa mereka. Kita sendiri yang harus turun menyelam,” tegas Arung.
“Wah, itu tidak mungkin Arung. Jangan lakukan itu teman-teman. Pak Camat sudah mewanti-wanti kita, tidak seorang pun mahasiswa yang boleh turun ke sungai. Itu sangat berisiko dan pemerintah sudah menegaskan mereka tidak akan bertanggung jawab kalau ada mahasiswa yang nekat turun ke sungai dan terjadi sesuatu yang buruk.”
“Tapi hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini. Saya yakin, kalau beberapa di antara kita turun, warga pasti akan ikut turun kembali ke sungai. Dan saya pikir, kalau kita turun beramai-ramai pasti akan aman.”