Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #17

Obrolan Bamboo House

WAKTU seperti sedang berlari kencang. Tanpa terasa, hari ini hubungan Arung dan Annie sudah berjalan satu tahun.

“Rasanya baru kemarin, ya?”

Annie bertanya dari seberang meja. Wajahnya tampak bahagia. Sementara Arung yang duduk di hadapannya masih dengan wajah bosannya. Kalau ingin tahu seperti apa model wajah bosan versi Arung saat ini, ingat saja karakter alien dalam film Star Trek.

Siang ini, Annie mengajak Arung makan siang untuk merayakan dua belas bulan hubungan mereka. Tetapi jangan membayangkan ini seperti gaya perayaan para artis atau anak-anak kaum borjuis. Perayaan mereka tanpa lilin. Tidak ada kue yang harus dipotong. Dan, tidak ada musik romantis yang akan membuat salah satu dari mereka menutup mulut lalu menangis terharu karena tak menyangka akan mendapat kejutan.

Siang ini mereka di sudut Bambu House, kantin mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial yang ada di belakang Fakultas Hukum. Disaksikan ibu-ibu penjual bercelemek kusam serta diiringi lagu “Kesaksian” Iwan Fals, Annie dan Arung—yang terpaksa mengikuti keinginan kekasihnya—merayakan momen spesial mereka dengan semangkuk coto dan segelas jus jeruk.

“Mungkin inilah perayaan hari jadian paling menyedihkan se-dunia.”

Sambil mengunyah daging coto yang entah kenapa hari ini sepertinya lebih keras dari biasanya, Arung menggerutu. Sejak pagi dia sudah mengganggu Annie dengan berbagai komentar menyindir soal perayaan yang dibuat kekasihnya. Ia bilang Annie sok romantis, lebay, bertingkah seperti anak baru gede, dan sebagainya.

Namun, Annie tak peduli protes, keluhan, ledekan ataupun wajah memelas Arung. Dia ngotot. Dan kalau perempuan sudah ngotot, mengalah saja. Sebesar apapun usahamu untuk mencegahnya pasti akan berakhir sia-sia. Melunakkan hati mereka—apalagi yang mengetahui dirinya sangat dicintai—seperti mengasah batu cadas dengan meniupnya setiap hari. Sampai dower bibirmu, batunya tidak akan tajam.

“Saya pikir ini tidak pantas disebut perayaan hari jadian kita, Annie.”

 “Maksud kamu?” Annie akhirnya bereaksi. Kesabarannya sudah habis. Telinganya panas terus menerus mendengar celoteh kekasihnya.

“Ini hanya makan siang biasa. Kemarin kita juga makan siang dengan menu seperti ini. Dua hari lalu, tiga hari lalu, minggu lalu juga seperti ini. Tidak ada yang spesial.”

“Kamu menyindirku?”

“Mungkin.”

“Pokoknya, saya sudah memutuskan ini makan siang perayaan untuk satu tahun jadian kita. Titik. Kalau kamu tidak setuju, pergilah, tetapi tinggalkan hatimu di sini karena itu milikku.”

“Oh Tuhan, kenapa perempuan harus merasa hal seperti ini penting untuk mereka rayakan. Dan kenapa juga saya harus terperangkap di dalamnya Tuhan. Ini benar-benar hari yang buruk untukku.”

Arung berlagak seperti orang yang benar-benar teraniaya. Ia bahkan menyempurnakan akting terzoliminya dengan memegangi kepalanya.

“Kamu ini kenapa, sih? Kalau tidak suka, setidaknya hargai dong usaha saya. Ini spesial untukku, karena saya merayakan kebersamaanku dengan orang yang mencintaiku dan rela mati untukku. Dan itu kamu. Jadi seharusnya kamu senang dan berterima kasih kepadaku. Gadis lain belum tentu mau repot-repot melakukan ini.”

Arung tak berani lagi berkomentar karena Annie sudah mulai memasang wajah sewotnya. Dia yakin tangan Annie akan segera mendarat di pahanya kalau dia mengucapkan satu kalimat lagi untuk menentangnya.

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Annie melanjutkan makannya dengan wajah riang gembira. Sementara Arung memilih menikmati suara serak Iwan Fals sambil sesekali ikut bernyanyi.

“Akan seperti apa nanti?” tanya Annie beberapa menit kemudian setelah ia membersihkan bibirnya dengan selembar tisu yang disodorkan Arung.

“Apanya yang seperti apa?”

“Hubungan kita.”

“Kenapa dengan hubungan kita?”

Annie tidak berusaha menjelaskan maksud pertanyaannya. Setelah satu tahun berpacaran, ia sudah khatam soal sifat jahil dan kebiasaan berpura-pura kekasihnya. Ia yakin Arung akan menjawab pertanyaannya.

Tunggu saja.

“Kamu akan selalu menjadi kekasihku.”

“Hanya sebatas itu?”

“Memangnya harus sampai bagaimana, Annie?” Arung balik bertanya.

“Maksud saya, apakah kelak kita bisa menikah?”

“Sepanjang orangtuamu merestui hubungan kita dan mahar pernikahannya tidak mencekik leher bapakkku, kita pasti akan menikah. Bahkan kalau gratis, kita bisa langsung menikah sebentar malam.”

“Arung, saya serius! Dan satu hal lagi, saya ini gadis Bugis, sebentar lagi bakal jadi sarjana, ‘harga saya mahal’. Jadi jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan saya dengan uang panaik (mahar) seadanya apalagi gratis.”

“Begitu, ya?”

“Memang.”

“Kalau begitu, saya pikir-pikir dulu.”

“Arung, kamu bisa serius tidak?”

Mata Annie melotot. Dia suka kekasihnya punya selera humor tapi terkadang Arung memang sedikit keterlaluan dan membuatnya jengkel.

“Baiklah.”

“Baiklah apa?”

“Saya berjanji. Kita akan menikah. Kamu akan menjadi istriku. Istri yang akan saya sayangi sepanjang hidupku. Istri yang akan saya manjakan setiap hari seperti bidadari. Istri yang tidak akan pernah saya biarkan bersedih apalagi menangis. Tapi sayangnya sekarang belum waktunya kita membicarakan pernikahan. Kita masih hidup dari uang bulanan orangtua.”

“Kalau ternyata kita tidak berjodoh?” sambung Annie.

Gadis itu seperti tidak yakin dengan masa depan hubungan mereka. Hatinya memang sudah ia serahkan sepenuhnya kepada Arung. Cinta Arung juga ia yakini utuh dalam genggamannya. Tetapi seperti halnya kematian, manusia tidak bisa memastikan jodohnya. Itu rahasia Tuhan. Dan sayangnya, cinta saja terkadang tidak cukup membuat Tuhan berkenan mengikat dua hati dalam satu ikatan perkawinan.

“Kamu meragukan cintaku, Annie?” pancing Arung.

“Bukan begitu, Arung Mario! Saya percaya kamu mencintaiku. Tapi ini soal jodoh, jodoh, jodoh, Arung!”

Gigi Annie geregetan seperti ingin mengunyah Arung.

“Jodoh?”

“Jangan pura-pura bodoh. Kalau kita tidak ditakdirkan menikah, kita bisa apa?

Mau protes Tuhan? Kamu berani? Kalau berani, protes saja sendiri. Saya tidak akan ikut campur,” ketus Annie.

Lihat selengkapnya